INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Senin, 25 April 2011

UN dan Politisasi Standar Mutu


Oleh Masyhuri AM
Sekretaris Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan
Pendididkan Agama Islam, MP3A)

Ujian Nasional (UN) sesungguhnya hanya salah satu sarana untuk melakukan penilaian serta untukmengetahui apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum dapat dicapai atau tidak. Ibarat sebuah produk, UN dapat dikategorikan sebagai tools untuk mengukur mutu produk (standard of quality assurance). Ukuran tersebut harus bisa berlaku umum. Jadi, ujian merupakan penerapan quality control management dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini UN tidak hanya berfungsi un¬tuk menentukan standar kelulusan, tetapi juga untuk mengukur mutu pendidikan secara merata di tingkat nasional. Selain itu, UN juga dapat menjadi instrumen evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan secara menyeluruh terhadap sekolah, guru, siswa, serta sarana/prasarana, termasuk rancang bangun kurikulum.

Sabtu, 23 April 2011

SISWA MADRASAH HADAPI UN

Pelaksanaan UN
     Berdasarkan sumber Kementrian Agama Republik Indonesia (www.kemenag.go.id), Sebanyak 1.566.498 siswa madrasah dari berbagai tingkatan akan ikut Ujian Nasional (UN) 2011 dan diharapkan dari jumlah siswa tersebut tak menemui kendala. "UN akan segera digelar di seluruh Indonesia dan pada 18-21 April 2011 akan diikuti siswa SLTA, SMK dan Madrasah tingkat Aliyah (MA)," kata Dirjen Pendidikan Islam, Prof Mohammad Ali, di Jakarta, Rabu (12/04/2011)

Jumat, 22 April 2011

MADRASAH DI INDONESIA: SEKOLAH TERBAIK

      Kalau para orang tua ditanya tentang "apakah mereka (orang tua) menginginkan anaknya dididik supaya a) cerdas saja, atau b) baik (shaleh) saja, atau  c) cedas dan baik (shaleh)." Maka hampir dapat dipastikan jawaban para orang tua akan memilih jawaban c, yakni menginginkan anaknya dapat dididik supaya menjadi anak shaleh yang cerdas. Jika jawabannya demikian, maka ekspektasi (harapan) para orang tua tersebut merupakan kesempatan dan tantangan bagi "madrasah" untuk menjadi lembaga yang dapat memfasilitasi dan memediasi anak untuk menjelma menjadi anak yang cerdas dan sekaligus shaleh. Mengapa demikian? setidaknya, secara tentatif, hanya madrasahlah yang saat ini menjadikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang secara eksplisit mempunyai tujuan tersebut.
    Pendidikan umum (sekolah) umumnya cenderung hanya mengejar kecerdasan intelektual, yang ujung-ujungnya kecerdasan anak dinilai hanya dengan hasil test (ujian) bidang studi tertentu. Sementara, keshalehan akhlak, umumnya, tidak menjadi penilaian utama dan cenderung diabaikan. Seolah-olah ada adagium, "biarlah nakal, asal pintar". Pendidikan dalam bidang ilmu-ilmu dasar/ sains, seperti matematika dan IPA menjadi standar primadona dari ukuran kecerdasan, artinya kalau nilai-nilai yang diperoleh siswa dalam matpel matematika dan IPA (plus bahasa Inggris) tinggi (8-10), maka anak dianggap pintar dan berprestasi. Sedangkan kalau anak tersebut memperoleh nilai baik dalam bidang agama, olah raga, sejarah, ekonomi, seni, dll maka anak akan digolongkan biasa-biasa saja. Atmosfer akademik ini telah mengondisikan anak, pihak sekolah, birokrat pendidikan, dan masyarakat untuk hanya mengejar pencapaian kecerdasan intelektual saja. Sedangkan pengembangan akhlak (karakter) baik sering terabaikan.
      Di sinilah, madrasah muncul sebagai lembaga pendidikan yang berusaha membangun paradigma dan sistem pendidikan yang integrasi pencapaian kompetensi intelektual dan kompetensi akhlak karimah. Hanya persoalannya kemudian, apakah implementasi tujuan integratif tersebut telah dilaksanakan oleh setiap pengelola madrasah secara efektif, efisien, dan standard atau masih bersifat konseptual saja? Masyarakat pada saat ini belum bisa melihat keberhasilan output dari sistem pendidikan madrasah, karenanya wajar apabila public trust (kepercayaan publik) terhadap madrasah masih belum signifikan.    Namun, sebagaimana dikatakan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat, sistem dan pola pendidikan madrasah (dan pesantren), akhir-akhir ini, cenderung berubah signifikan ke arah yang lebih baik; hal ini memungkinkan alumni madrasah mampu berkompetisi dengan alumni lainnya dalam hal studi lanjut, memasuki dunia kerja, dan keberterimaan masyarakat.     


Madrasah: Tradisi Panjang Pendidikan Islam
      Virginia Hooker menyebutkan bahwa berabad-abad sebelum Negara-bangsa (nation-state) menjadi model bagi sebagian besar kekuatan politik modern, masyarakat muslim dengan model khilafah Islamiyyahnya sebagai kesatuan kekuatan politik  telah mengembangkan model pendidikan formalnya untuk anak-anak mereka. Salah satunya adalah madrasah, yang umumnya dipimpin oleh seorang ulama karismatik, diakui otoritas keilmuan, pengetahuan, dan teladan positif perilaku kesahariannya. Sistem pendidikan ini dibangun, umumnya, di atas swadaya dan swadana masyarakat muslim, melalui wakaf, hibah, dan dana sumbangan wali murid dan komunitas lokal di sekitarnya. 
Madrasah inilah yang umumnya menjadi model pendidikan masyarakat muslim dari zaman ke zaman, termasuk di Indonesia. Dengan demikian, secara kelembagaan, madrasah yang ada di Indonesia merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan Islam klasik dan pertengahan. Kajian dari George Makdisi (1981), Jonathan Berkey (1992), dan Michael Chamberlain (1994) menunjukkan kesinambungan dan perubahan kelembagan dan kurikulum madrasah dari zaman ke zaman. Berkey bahkan menyebutkan bahwa, bagi umat Islam, madrasah tidak hanya merupakan lembaga pendidikan saja, tetapi memaikan peran signifikan bagi identitas muslim.