INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Selasa, 20 Desember 2011

Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning

By: Martin van Bruinessen

       One of Indonesia's great traditions is that of Muslim religious learning as embodied in the Javanese pesantren and similar institutions in the outer islands and the Malay peninsula. The raison d'ĂȘtre of these institutions is the transmission of traditional Islam as laid down in scripture, i.e., classical texts of the various Islamic disciplines, together with commentaries, glosses and supercommentaries on these basic texts written over the ages. These works are collectively known, in Indonesia, as kitab kuning, "yellow books", a name that they owe to the tinted paper on which the first Middle Eastern editions reaching Indonesia were printed. The corpus of classical texts accepted in the pesantren tradition is - in theory at least - conceptually closed; the relevant knowledge is thought to be a finite and bounded body. Although new works within the tradition continue to be written, these have to remain within strict boundaries and cannot pretend to offer more than summaries, explications or rearrangements of the same, unchangeable, body of knowledge. Even radical reinterpreta­tions of the classical texts are not acceptable. The supposed rigidity of this tradition has come in for much criticism, both from unsympathetic foreign observers and from reformist and modernist Muslims themselves. In practice, however, the tradition appears to be much more flexible than the above sketch would suggest.

Jihad, ‘pesantren’ and terrorist encounters


By: Muhammad Adlin Sila* 
Canberra, Sun, 08/14/2011 7:00 AM

The Jakarta Post recently reported that the bombing in Umar bin Khattab Islamic boarding school (pesantren) in Sonolo, near the West Nusa Tenggara town of Bima, was related to Umar Patek, a wanted terrorist suspect arrested in Pakistan (The Jakarta Post, July 25, 2011).  Bima came to the police’s attention late last June, when a 16-year-old student was arrested for allegedly stabbing a policeman to death. The police believe the young boy was a member of an Islamic militant group and that the boy insisted he killed the officer as a reprisal for the police manhunt for jihadists. 

Rabu, 14 Desember 2011

Kurikulum Pendidikan Islam Tidak Mengajarkan Radikalisme

    
www.hurriyet.com.tr 
     
         Jauh-jauh hari, pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika dan sekutu-sekutunya dengan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, Samuel Huntington memprediksi (bahkan mendesain) adanya "benturan peradaban" antara Barat dan Timur. Salah satunya adalah benturan peradaban antara Barat (baca: Amerika dan Eropa Barat) dengan Negara-Negara Muslim. Tesis-tesinya tentang hal itu diformulasikan dalam The Clash of Sivilization and Remaking of World Order (1998). Bukunya ini, dilengkapi dengan buku-buku sejenis dari penulis Barat lainnya, menjadi world view (pandangan dunia) politik Barat, yang memosisikan Timur (terutama dunia Islam) sebagai "kawan dalam pertikaian" (lawan) dari peradaban Barat. Karenanya, kemudian Barat berusaha untuk menghegemoni dunia Muslim, dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Selasa, 13 Desember 2011

PENDIDIKAN ISLAM UNTUK PERBAIKAN MORAL BANGSA

Islam adalah "ajaran" (teaching) dan nilai ilahiyyah (divinity values) yang akan membawa manusia ke jalan keselamatan (salima= selamat, damai). Karenanya, mengajarkan Islam sama halnya dengan mengajarkan dan membumikan nilai-nilai keselamatan dan kedamaian. Kesalamatan dan kedamaian dari Islam ini adalah bersumber dari ketaatan kepada sang Khalik (Allah Swt) dan aktualisasi dari pemeluk Islam untuk menyebarkan kasih sayang dan anugerah dari Allah swt untuk semulia-mulianya kehidupan.  Wajar apabila dikatakan bahwa keagungan Islam terletak pada keluhuran budi dan akhlaknya, sebagaimana Rasulullah bersabda bahwa "Tidaklah Aku di utus [ke muka bumi ini], terkecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia". Dapat dikatakan pula bahwa inti ajaran Islam adalah "akhlak", yakni akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, dan akhlak kepada alam.

Rabu, 07 Desember 2011

Menag Persilahkan Donatur Asing Bangun Lembaga Pendidikan di Indonesia

          Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan dan mengelola pendidikan di Indonesia mengharuskan adanya pembagian dan distribusi wewenang, tanggung jawab, dan partisipasi dari pihak non-pemerintah (atau NGO, non-Goverment organization) dalam sistem pendidikan di Indonesia. Karenanya, wajar apabila keterlibatan masyarakat, swasta, dan investor asing dalam wajah pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam.  Keterlibatan masyarakat, misalnya, muncul dalam bentuk pembiayaan rutin siswa karena pemerintah tidak dapat membiayai seluruh komponen pembiayaan pendidikan setiap siswa, sekalipun pemerintah mengembar-gemborkan "pendidikan gratis untuk rakyat". Realisasinya, pemerintah hanya membiayai dana rutin saja, sedangkan lainnya tetap ditanggungjawabi oleh masyarakat. Keterlibatan swasta sangat kentara dalam pendidikan di, baik  dalam pendidikan formal maupun non-formal. Pesantren adalah salah satu contoh representatif keterlibatan lembaga non-pemerintah dalam pengelolaan pendidikan. 

Pesantren, Milik Ummat dan Tidak ada Pesantren Plat Merah

Data Pesantren di Indonesia  
         Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2008,  keseluruhan pesantren di Indonesia adalah berjumlah  25.785 pesantren. Berdasarkan sebaran geografisnya, pesantren-pesantren di Indonesia dapat didistribusikan sebagai berikut:
  1. Pulau Jawa : 77.8 persen
  2. Luar Jawa : 22.2 persen

       Persentase di atas dapat dimaknai bahwa kebanyakan pesantren terdapat di Pulau Jawa, sedangkan selebihnya berada di luar Jawa.  Hal ini terkait dengan aspek historis keberadaan pesantren di Nusantara, bahkan di dunia Islam. Secara antropologis, Pesantren dapat diposisikan sebagai "keunikan" dari lembaga pendidikan Islam karena memiliki kekhasan, yakni salah satunya berporos pada tradisi Jawa. Kekhasan ini tidak dapat ditemui sepenuhnya dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah-wilayah dunia Islam lainnya. Sekalipun demikian, terdapat hal yang perlu dimaknai juga, bahwa kini pesantren bukan lagi dicitrakan sebagai lembaga pendidikan khas Jawa, tetapi telah menjadi identitas nasional Indonesia. Pesantren telah diidentikkan dengan salah satu ciri khas pendidikan Islam Indonesia, atau terkait dengan identitas Islam Indonesia itu sendiri.      
    Berdasarkan kategori "Konsep dan Sistem Pendidikan Pesantren"nya, pesantren-pesantren tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yakni salafiyah (tradisional), 'ashriyyah (modern), dan campuran.
  1. Salafiyah : 41,5 persen
  2. Ashriyah/ Modern : 9,6 persen
  3. Campuran  : 48,9 persen
      Istilah salafiyah (tardisional) di atas perlu mendapatkan penjelasan, karena secara antopologis-sosiologis, istilah ini kini mengalami pembiasan. Istilah "salafiyah" jika diatributkan kepada pesantren berati pesantren yang menerapkan sistem pendidikan tradisional dalam proses pendidikannya, terutama kurikulum (pembelajaran)-nya, seperti menerapkan sistem sorogan dan bandongan. Istilah salafiyah juga digunakan oleh kalangan "Wahabiyah", yang dimaknai sebagai upaya kembali ke jalan salaf al-shalih dengan mengedepankan aspek pemurnian (puritanisme).

Tidak Ada Pesantren Plat Merah (Milik Pemerintah)
Kediri (Pinmas)--Menteri Agama RI Suryadharma Ali menegaskan pentingnya Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai salah satu pilar penyelenggaraan kegiatan pendidikan di Indonesia. Meski diakui Suryadharma, mayoritas Madrasah dan Ponpes di Indonesia dikelola oleh swasta, namun tak menghalangi kontribusi lembaga pendidikan ini dalam mencerdaskan masyarakat Tanah Air. "Ponpes 100 persen swasta. Tidak Ada Ponpes plat merah alias milik pemerintah. Sama halnya dengan madrasah 94 persen dikelola swasta yaitu oleh para kyai dan ulama. Tapi keduanya berkontribusi besar bagi Indonesia," ujar Menag saat mengunjungi Pondok Pesantren Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, Sabtu (3/12/2011).
Menag menyatakan, Kementerian Agama (Kemenag) RI secara khusus mengapresiasi dan selalu mendukung secara kegiatan belajar mengajar yang digelar oleh Ponpes maupun sarana pendidikan keagamaan lainya seperti madrasah. "Hadirnya berbagai Madrasah dan Ponpes sejak puluhan tahun silam menjadi semacam pintu masuk ilmu pengetahuan bagi bangsa Indonesia," tandasnya. Hal tersebut tambahnya, tidak terlepas dari peran ulama yang secara tulus mendedikasikan hidupnya untuk membangun Ponpes atau madrasah. "Saya salut kepada alim ulama. Karena tanpa alim ulama, buta huruf latin dan Alquran masih besar tapi dengan peran alim ulama melalui Ponpes atau Madrasah maka buta aksara bisa menurun," kata Suryadharma.
Kunjungan Menteri Agama ke Ponpes Al Falah ini dalam rangka memperingati khaul pendiri Ponpes Al Falah, K.H.Ahmad Djazuli. Menag menilai, kontribusi kiai Ahmad Djazuli terhadap pendidikan Islam dalam bidang Ponpes sangatlah besar. "Sungguh penghargaan luar biasa saya bisa menghadiri acara khaul ini. Karena khaul membawa kita untuk mengenang Kiai Ahmad Djazuli. Mengingat Apa yang telah dilakukanya selama ini sangat bermanfaat," kata Suryadharma di hadapan pengurus dan santri. Kiai Ahmad Djazuli mendirikan Ponpes Al Falah pada tahun 1925 silam. Dalam perkembangannya, Al Falah menjadi salah satu Ponpes Salafi terkemuka di wilayah Jawa Timur. Pesantren Salafi lainya yang cukup terkemuka yaitu Ponpes Lirboyo.
Suryadharma mengungkapkan, salah satu contoh kontribusi Kiai Ahmad Djazuli tersebut yaitu berdirinya Ponpes Al Falah. Ia memandang, Ponpes Al Falah telah menghasilkan alumni yang berprestasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Alumni Al Falah bersama lulusan Ponpes lainya di Tanah Air ini turut menjaga keimanan umat Islam di Indonesia. "Kekuatan alumni menjaga agama Islam dan umat Islam meningkatkan keimanan, hal ini tentu sangat luar biasa," katanya.
Hal tersebut tambahnya, tak terlepas dari peran alim ulama yang berada dalam lingkungan Ponpes Al Falah dan alim ulama lainnya dalam membimbing umat tanpa mengharapkan pamrih. "Saya juga kagum kepada alim ulama karena punya semangat luar biasa bimbing umat. Ulama mempunyai kekayaan luar biasa tapi hatinya didedikasikan dalam komitmen dan keikhlasan yang mendorong mengabdi kepada umat," kata Menag Suryadharma Ali.

Problem: Pesantren Masih dianggap Pinggiran
      Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pesantren adalah persepsi "pinggiran" yang ada pada masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pesantren masih dipandang sebelah mata oleh Pemerintah jika dibandingkan dengan perhatian Pemerintah terhadap lembaga pendidikan "Berflat Merah" alias Negeri. Sebagian indikatornya adalah keberadaan pesantren dalam Undang-Undang, yang masih tidak proporsional (dibanding sekolah [negeri] dan PTN), akses pesantren terhadap sistem pendidikan nasional, sertaalokasi dana negara (APBN) terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas pesantren.
    Sebagai upayanya untuk menguatkan posisi pesantren (dan lembaga pendidikan Islam lainnya) [atau juga sekaligus untuk pencitraan politis], Menag secara implisit menyebutkan, "Jangan sampai ada pondok pesantren atau madrasah dipandang sebelah mata". Pernyataan ini, poada satu sisi, mengisyaratkan bahwa secara institusional, ponpes masih menghadapi kendala, yakni berada di pinggir atau dipinggirkan dalam konteks sistem dan proses pendidikan di Indonesia. Pada satu sisi, statemen ini juga merupakan upaya penyadaran kembali akan posisi pesantren--yang kini banyaknya di posisi "marginal" agar berupaya keras dapat bergeser ke posisi sentral. Salah satunya dengan integrasi dan adaptasi sistem pendidikan nasional.

Sumber:

  1. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=8851
  2. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7849

Jumat, 02 Desember 2011

Pendidikan Islam di Eropa: Jerman


          Pencarian pengakuan dan identitas dari para imigran Muslim, terutama Turki Muslim, di Jerman dan negara Eropa lainnya terus berproses. Upaya integrasi yang dilakukan oleh pemerintah, kaum muslim, dan lainnya terus dilakukan, agar eksistensi kaum muslim di sana dapat sejajar dengan penduduk Jerman lainnya. Upaya tersebut, sedikit demi sedikit membuahkan hasil, di antaranya "Masuknya studi Islam di berbagai lembaga kajian dan pendidikan'" di Jerman, bahkan Islam menjadi bagian dari kurikulum pendidikan bagi kalangan Muslim di Jerman, sebagaimana digambarkan dalam beberapa tulisan bagian awal. Pada bagian kedua, beberapa tulisan menggambarkan pro-kontra dari para petinggi Jerman mengenai Islam dan muslim dalam konteks eksistensi, integrasi, dan kontribusi kaum Muslim terhadap "kebangsaan dan peradaban" Jerman.    Tulisan-tulisan ini dikumpulkan dari situs http://www.republika.co.id, sebagaimana disebutkan dalam sumber (tulisan di bagian akhir), dengan beberapa modifikasi.