INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Senin, 28 November 2011

Fatamorgana Guru Desa dan Kota

     Sebuah tulisan yang cukup bagus dan sangat perlu untuk dibaca oleh siapa pun terutama bagi kalangan pendidikan dan pemerhati pendidikan. Tulisan di bawah ini berusaha menunjukkan diferensiasi (perbedaan) antara guru di desa (terlebih di daerah pedalaman) dan di kota. Sekalipun berprofesi yang sama, namun status dan pendapatan jelas ada perbedaan; waupun terkadang "kecukupan" hanyalah persepsi dan sangkaan belaka (fatamorgana).

-------

Oleh M As'adi


Enaknya menjadi guru di Ibu Kota Jakarta karena mendapat tunjangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang besarnya bisa mencapai Rp 2-4 juta per bulan. Namun, apakah memang seenak itu menjadi guru di kota besar?  Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMAN 6 Jakarta Rusyanto (48 tahun) mengatakan, guru di Jakarta harus bekerja penuh waktu. Dari pukul 06.00 WIB sudah harus sampai di sekolah dan baru pulang pukul 15.00 WIB. 
Selain itu, jabatannya sebagai wakil kepala sekolah menuntutnya untuk meninjau kegiatan siswa hingga pukul 18.00 WIB. Karena itu, Rusyanto menilai layak diberikannya tunjangan kinerja daerah (TKD) kepada para guru. Rusyanto mendapatkan TKD Rp 3,4 juta yang dinaikkan secara berkala setiap dua tahun. Awal tahun ini, TKD yang ia terima meningkat drastis dari TKD sebelumnya Rp 2,3 juta.
Kenaikan TKD dilihat dari kinerja seperti kehadiran dan jam kerja. Jika sering terlambat dan cepat pulang berarti kinerjanya buruk. Di luar TKD, guru di Jakarta juga mendapatkan tunjangan profesi setiap enam bulan yang besarnya sama dengan gaji pokok, yakni Rp 3 juta. Ini untuk membantu guru yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. ''Tuntutan zaman sekarang berbeda. Guru SD zaman sekarang harus lulusan S1, berarti guru SMA harus lebih tinggi lagi,'' ujar pemegang gelar S2 dari Universitas Hamka itu. Rusyanto pun masih berharap pemerintah dapat memberikan dispensasi pada guru untuk bersekolah lagi. 
Jadi, enak apa tidak menjadi guru di Jakarta? Walau mendapat berbagai fasilitas tunjangan, menurut Rusyanto, menjadi guru di daerah banyak waktu luangnya sehingga bisa menambah nafkah dengan bekerja sambilan. ''Di daerah, guru bisa pulang jam 12 atau jam 1. Terus bisa kerja sampingan kayak garap sawah,'' kata Rusyanto enteng.
Benar juga pendapat Rusyanto mengenai guru daerah yang bisa bekerja sambilan itu. Tengok saja apa yang dilakukan Okta (30) yang setiap hari bangun pukul 04.30 WIB untuk memberi makan seribu burung puyuh yang dipelihara di belakang rumahnya di Jorong Taratak Nagari Kubang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limopuluah Koto, Sumatra Barat. 
Setelah memberi makan puyuh, Okta menunaikan shalat Shubuh, lalu bersiap-siap menaiki motornya ke SMPN 5 Guguak, tempat dia mengajarkan mata pelajaran Teknologi Informasi Komputer. Jarak sekolahnya cuma tujuh kilometer, namun lokasinya terpencil dan jalannya sulit, penuh tanjakan curam di perbukitan. Jangan tanya apa jalannya sudah diaspal.
Okta sudah mengajar sejak sekolah itu berdiri pertengahan 2009 silam. Karena masih baru, sekolah itu menerima banyak tenaga honorer dan bahkan hingga kini hampir seluruh gurunya masih berstatus tenaga tidak tetap. Jangan tanya soal gaji atau tunjangan guru honorer di sekolah itu. ''Rata-rata setiap bulan saya menerima Rp 75 ribu,'' ucap Okta. Itu belum termasuk potongan sebesar Rp 2.500 untuk iuran sosial. 
Penghasilan dari mengajar ini pun sumbernya bukan dari pemerintah daerah, melainkan sebagian kecil dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang seharusnya bukan untuk honor guru bantu. Jumlah itu jelas tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan tak cukup untuk membeli bensin motornya.
Jadi, guru seperti Okta terpaksa bekerja sambilan bukan hanya untuk menambah penghasilan, tapi bertahan hidup. Bahkan menilik dari rupiah yang didapat, profesi guru justru adalah sambilannya. Sementara, beternak puyuh menjadi penopang napas utama.
Meski enggan menyebutkan keuntungan yang diperoleh, Okta mengaku bersyukur usaha ternaknya itu masih mampu menyambung hidup bersama sang istri. ''Sementara saya mendengar ada guru-guru yang sudah sertifikasi, tapi masih mengeluh. Padahal penghasilan mereka sudah di atas lima juta,'' ujarnya.
Kerja sambilan juga dilakoni oleh Darmono (35), guru honorer atau bahasa kerennya wiyata bakti di SDN Tegalroso, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Istrinya, Nur Ulfa (27), juga guru honorer di SDN Campursalam, Parakan. Masing-masing hanya menerima honor Rp 100 ribu per bulan, satu persen dari gaji yang bisa diterima seorang guru yang sudah berstatus PNS yang bersertifikasi.
Apa akal untuk menyambung hidup? Darmono membantu usaha penganan rengginang milik sang mertua dengan menjadi tenaga pemasar. Kalau kebetulan petani Temanggung panen tembakau, Darmono alih profesi menjadi pengepul daun tembakau kering yang biasa dibuat cerutu. ''Meski kembang kempis, setidaknya kami bisa memenuhi kebutuhan hidup kami. Saya tidak tahu, secara matematis kami mestinya tak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami,'' kata Darmono.
Meski 'gaji' minim, jam mengajar Darmono sama dengan guru PNS, yakni 24 jam sepekan. Bahkan acap kali disampiri pekerjaan administrasi BOS atau administrasi sekolah karena tak ada tenaga tata usaha. Jika ada ujian, para guru honorer ini menjadi yang paling sibuk. ''Karena kamilah guru paling enthengan ketika kepala sekolah minta bantuan. Memang kadang ada honornya, tapi lebih banyak kerja bakti,'' kata Darmono. Di Kabupaten Temanggung, saat ini ada 1.300 GTT yang mengajar di SD. Berbagai kiat mereka lakukan untuk bertahan hidup. Eko Danang yang menjadi guru tidak tetap SDN 1 Parakan membuka les bahasa Inggris di rumahnya. Pramono yang mengajar di SMPN Kandangan membuka koperasi simpan pinjam. 
Sedangkan Ummi, guru SDN Bejen, Kecamatan Bejen, Temanggung, bersama teman-teman senasib dalam Forum Guru Tidak Tetap (Forgutt) merintis usaha membuat dodol dan sirup jambu biji. ''Kebetulan daerah kami sentra jambu biji. Untuk menambah penghasilan, kami tengah merintis usaha ini,'' katanya. Waktu luang bagi guru honorer di daerah berarti waktu untuk mencari pengganjal hidup, bukan mencari sertifikasi atau melanjutkan sekolah lagi, seperti sejawat mereka yang sudah menjadi PNS, terutama di kota besar. Peran mereka juga mulai tergusur dengan masuknya tenaga guru PNS muda. ''Kalau kita jujur, dedikasinya acap kali justru lebih bagus guru tidak tetap dibandingkan guru PNS. Tuntutan kami tidak berlebihan. Coba bandingkan dengan buruh yang punya standar penggajian, sementara guru tidak ada. Meski tidak jadi PNS, harapan kami setidaknya memiliki penghasilan layak,'' tambah Darmono.c27/c04/c29 ed: rahmad budi harto

Masih Adakah Pungli di Sekolah????


Pendidikan Membutuhkan Pembiayaan!
Untuk mengenyam pendidikan formal, dan juga non-formal, pastinya membutuhkan biaya; Itu adalah sebuah kepastian. Sekecil apa pun kegiatan dalam upaya pembelajaran dan pendidikan, baik untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa, pasti membutuhkan biaya. Untuk mengajarkan anak makan, minum, dan berpakaian, misalnya, pasti membutuhkan media, dan media pastinya harus di”ada”kan (dihadirkan), dengan cara apapun (umumnya membeli), dan pasti hal tersebut membutuhkan biaya untuk meng”ada”kannya”. Selain itu juga perlu adanya pendidik, hanya saja dalam pembelajaran seperti ini orang tua lebih banyak berperan, dan orang tua tidak perlu mengeluarkan pembiayaan untuk orang lain.
Contoh lain, misalnya, seorang anak yang ingin belajar bersepeda, pasti ia membutuhkan sepeda, sebagai media pembelajaran. Untuk dapat mengendarai sepeda, tidak mungkin hanya dengan belajar teoritis saja, tapi harus praktek. Nah, untuk menghadirkan sepeda, pasti membutuhkan biaya, baik mengahdirkan sepedanya itu dengan cara membeli, menyewa, ataupun meminjam (gratis). Membeli dan menyewa berarti orang tua harus mengeluarkan uang untuk membeli atau menyewanya; sedangkan meminjam, pada hakikatnya, ada yang mengeluarkan pembiayaan, yakni si pemberi pinjaman. Intinya, sekedar menegaskan, tidak ada satu pun aktivitas pembelajaran dan pendidikan yang tidak melibatkan unsure pembiayaan. Hanya saja kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa setiap aktivitas pembelajaran, pasti membutuhkan pembiayaan, sekecil apa pun.

Skill dan Riset Perkaya Program Pesantren

     Dua tulisan di bawah ini menunjukkan program pengayaan pesantren. Tulisan pertama ditulis oleh Nashih Nashrullah dalam http://koran.republika.co.id/koran/14/148774/ Perkaya_Program_PesantrenSelasa, 29 November 2011 pukul 08:32:00. Sedangkan tulisan kedua merupakan reportase pendapat Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir dalam http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=1968

Selain agama, santri dibekali keterampilan
Diversifikasi program pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia akan menjadi fokus perhatian. Tujuannya, untuk meningkatkan daya saing pesantren. Ini berarti, para santri tak hanya berkutat pada pendalaman agama tetapi mereka juga didorong untuk menguasai keterampilan yang dapat diandalkan.  Nantinya, tak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat diminta ikut bergerak.