INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Minggu, 31 Juli 2011

KH Hasyim Muzadi: Pesantren tak Ajarkan Rakit Bom


REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa pengajaran di pondok-pondok pesantren tidak mengajari santrinya merakit bom atau pun aksi terorisme. "Pesantren merupakan institusi Islam yang selalu mengajarkan kedamaian. Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi sampai mengajari santri merakit bom," kata Hasyim Muzadi di Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/7/2011). Pernyataan Hasyim Muzadi disampaikan dalam "stadium general" dengan tema "Peran Islam Moderat Bagi Ketahanan Bangsa dan NKRI." Kegiatan tersebut dihelat secara bersama oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bogor, Pesantren Al-Ghazaly, dan Pemkot Bogor, yang dipusatkan di kompleks Al-Ghazaly, Kotaparis, Kota Bogor.

Senin, 18 Juli 2011

Pesantren Tidak Kebal Terorisme


Minggu, 17 Juli 2011 , 16:58:00 WIB
Laporan: Soemitro

       RMOL. Peristiwa bom  meledak di Pondok Pesantren Umar bin Khattab di Desa Sonolo, Kec Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu bukti lemahnya kurikulum pendidikan agama. Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional, harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

Kamis, 14 Juli 2011

Nyai Ahmad Dahlan, Melawan Arus, Berdayakan Perempuan

      Lintasan sejarah Indonesia diwarnai oleh kiprahdan peran kaum perempuan dalam memperjuangkan upayanya memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai bidang, dan kontribusi mereka pada saatnya ikut mengkumulasi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Adalah Cut Nyak Dien, Kartini, dan Dewi Sartika adalah nama-nama yang tidak asing lagi bagi kita dari sekian banyak srikandi Indonesia yang telah mengharumkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dari sekian srikandi Indonesia yang namanya dan kiprahnya perlu diteladani adalah Nyai Ahmad Dahlan. 

Kiprah Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan adalah puteri Kyai Haji Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Nyayogyokarto Hadiningrat (nama Yogyakarta waktu itu). Nama kecilnya adalah Siti Walidah. Ia dilahirkan pada tahun 1872 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Sebagai anak seorang ulama yang disegani oleh masyarakat, lebih-lebih menjabat Penghulu Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, ia menjadi puteri 'pingitan'. Pergaulannya sangat terbatas dan ia tidak belajar di sekolah formal. Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu.

Kamis, 07 Juli 2011

KH Ahmad wahid Hasyim: Reformasi Pendidikan Islam

Mendiang K.H. Ahmad Wahid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy'ari dinilai sebagai pembaharu sistem pendidikan di dunia pesantren. "Dulu, pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan tradisional tanpa pengelolaan memadai," kata Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Dr. Noor Achmad, di Semarang, Selasa (19/4/2011) dalam seminar 'Visi Pendidikan dan Kebangsaan K.H. Abdul Wahid Hasyim' di Unwahas.
Lebih lanjut, Noor Achmad menjelaskan, ia menjelaskan sistem pengajaran di pesantren ketika itu berjalan tidak teratur. Tidak ada jadwal penyelenggaraan yang tetap, kata dia, santri diperbolehkan setiap saat keluar masuk pesantren, ada yang mengaji seminggu, dua minggu, satu bulan, ada pula yang lebih. "Usia santri yang belajar di pesantren beragam, mulai tujuh tahun, 25 tahun, ada pula yang usianya 50-60 tahun dan pola belajar pesantren saat itu juga tidak sistematis," katanya.
Namun, kata dia, ayah K.H. Abdurrahman Wahid itu memelopori pengajaran pesantren dengan model klasikal tutorial dalam bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis dibanding sebelumnya. "Pembelajaran di pesantren mulai diperkaya dengan diskusi dan tanya jawab dan buku rujukan tidak hanya terpaku 'kitab kuning', melainkan beragam literatur keilmuan kontemporer," katanya.
Awalnya, kata dia, K.H. Hasyim Asy'ari tidak setuju dengan putranya itu, namun mengizinkannya mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan kurikulum pelajaran umum sebesar 70 persen. Ia mengatakan Madrasah Nizhamiyah hanya berumur empat tahun dan ditutup saat Wahid Hasyim mulai sibuk dan harus pindah ke Jakarta, namun pemikirannya ternyata terus belanjut. "Pada 1950, beliau melakukan reorganisasi Madrasah Tebuireng dengan pola yang kemudian menjadi standar pendidikan madrasah secara nasional, mulai madrasah ibtidaiyah (MI) hingga madrasah aliyah (MA)," kata Noor Achmad.
Direktur Dialoque Centre Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nur Kholis Setiawan menjelaskan terobosan yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan kesadaran tantangan zaman yang selalu berkembang. "Perubahan sosial dan peradaban merupakan keniscayaan, Wahid Hasyim menginginkan para santri dibekali dengan kesiapan wawasan dan pengetahuan untuk menghadapinya," kata Nur Kholis.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara