Dadan Rusmana
Perlu diakui bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan. Beberapa tulisan di bawah ini menunjukkan bahwa setidaknya ada beberapa kelemahan wajah pendidikan kita, yakni 1) Kecerdasan Terlalu diutamakan, Pengabaian terhadap Pendidikan Akhlak, 2) orientasi pada dunia kerja yang berlebihan, namun tidak memiliki standar komptensi kerja, atau tidak memiliki link and match, 3) Pengembangan pendidikan kita tidak didasarkan pada riset yang proporsional, 4) desentralisasi atau otonomi daerah yang tidak berjalan sesuai dengan standar, dan 5) Kesenjangan antara regulasi dan implementasi.
----
'Kecerdasan Diangungkan, Pendidikan Akhlak Diabaikan
Pada tulisan sebelumnya disebutkan bahwa ukuran keberhasilan pendidikan terdiri dari beberapa hal, yakni 1) peningkatan kualitas hidup peserta didik, 2) Keberterimaan masyarakat karena perilaku individual dan sosial peserta didik yang sesuai norma dan bermanfaat, serta menjadi warganegara yang baik, 3) kemampuan untuk mengantarkan peserta didik untuk melakukan studi lanjut karena prestasi akademik yang proporsional, 4) kemampuan untuk mengantarkan peserta didik untuk beradaptasi dan mengakrabi dunia kerja karena memiliki skill yang proporsional, 5) mendapatkan kebahagiaan hakiki.
Melihat pada indikator keberhasilan pendidikan di atas, pendidikan di Indonesia baru memberikan kontribusi pada aspek nomor 3 dan 4. Sedangkan aspek-aspek lainnya terabaikan atau mendapatkan proporsi yang sedikit. Pada realitasnya, pendidikan di Indonesia lebih mengorientasikan pada pendidikan pada aspek kepintaran atau kecerdasan intelektual saja. Indikatornya adalah kecerdasan siswa banyak diukur pada upayanya untuk menghapal dan menguasai berbagai pengetahuan, terutama pada ilmu-ilmu eksakta, atau lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Hal ini melanda semua tingkatan pendidikan di Indonesia dari mulai pendidikan dasar (SD/MI) hingga perguruan tinggi. Di SD, SMP, dan SMU, misalnya, pendidikan (transmisi dan internalisasi nilai-nilai) cenderung diabaikan dan lebih mengutamakan pembelajaran (transfer of knowledge). Dari sekian pembelajaran, pembelajaran berbasis IQ, seperti Mafikibi (Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi), Bahasa Asing (terutama Bahasa Inggris) atau mata-mata pelajaran yang akan di UN-kan dijadikan indikator dominan untuk mengukur keberhasilan pendidikan lembaga-lempaga penyelenggara dan pelaksana pendidikan.
Tidak jarang, lembaga pendidikan mengambil jalan pintas untuk menggapai pencapaian di atas dengan melakukan berbagai "falsifikasi pendidikan", dari mulai menyiasati pemecahan soal-soal ujian hingga melakukan berbagai kecurangan agar siswa-siswanya mendapat nilai besar--nyaris sempurna-- dan lulus 100%. Usaha ini seringkali diikuti oleh upaya untuk "membunuh" kejujuran, kemandirian, kreatifitas, dan kesucian jiwa dari peserta didik dan pendidik.
Sedangkan aspek aplikasi atau afektif dan psikomotor diabaikan. Hal lain yang diabaikan adalah aspek pembentukan karakter (akhlak) peserta didik. Karenanya, dapat dikatakan, bahwa pendidikan formal di Indonesia, telah berupaya untuk melakukan "fabrikasi orang-orang cerdas", dibanding pembentukan "orang-orang baik yang cerdas".
Melihat pada indikator keberhasilan pendidikan di atas, pendidikan di Indonesia baru memberikan kontribusi pada aspek nomor 3 dan 4. Sedangkan aspek-aspek lainnya terabaikan atau mendapatkan proporsi yang sedikit. Pada realitasnya, pendidikan di Indonesia lebih mengorientasikan pada pendidikan pada aspek kepintaran atau kecerdasan intelektual saja. Indikatornya adalah kecerdasan siswa banyak diukur pada upayanya untuk menghapal dan menguasai berbagai pengetahuan, terutama pada ilmu-ilmu eksakta, atau lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Hal ini melanda semua tingkatan pendidikan di Indonesia dari mulai pendidikan dasar (SD/MI) hingga perguruan tinggi. Di SD, SMP, dan SMU, misalnya, pendidikan (transmisi dan internalisasi nilai-nilai) cenderung diabaikan dan lebih mengutamakan pembelajaran (transfer of knowledge). Dari sekian pembelajaran, pembelajaran berbasis IQ, seperti Mafikibi (Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi), Bahasa Asing (terutama Bahasa Inggris) atau mata-mata pelajaran yang akan di UN-kan dijadikan indikator dominan untuk mengukur keberhasilan pendidikan lembaga-lempaga penyelenggara dan pelaksana pendidikan.
Tidak jarang, lembaga pendidikan mengambil jalan pintas untuk menggapai pencapaian di atas dengan melakukan berbagai "falsifikasi pendidikan", dari mulai menyiasati pemecahan soal-soal ujian hingga melakukan berbagai kecurangan agar siswa-siswanya mendapat nilai besar--nyaris sempurna-- dan lulus 100%. Usaha ini seringkali diikuti oleh upaya untuk "membunuh" kejujuran, kemandirian, kreatifitas, dan kesucian jiwa dari peserta didik dan pendidik.
Sedangkan aspek aplikasi atau afektif dan psikomotor diabaikan. Hal lain yang diabaikan adalah aspek pembentukan karakter (akhlak) peserta didik. Karenanya, dapat dikatakan, bahwa pendidikan formal di Indonesia, telah berupaya untuk melakukan "fabrikasi orang-orang cerdas", dibanding pembentukan "orang-orang baik yang cerdas".
"Dunia Pendidikan Butuh Standar Kompetensi Kerja"
Adalah kenyataan bahwa salah satu ideologi laten dari "developmentalisme" (pembanguna) yang diarusutamakan oleh kapitalisme melalui Pemerintah Orde Baru--Masa Suharto-- adalah menjadikan "materi" sebagai ukuran keberhasilan. Karenanya, keberhasilan lembaga pendidikan, terutama SMU dan Perguruan Tinggi, adalah keberterimaan dunia kerja terhadap lulusan SMU dan PT. Motivasi "mencari ilmu" equivalen dengan "membuka peluang mencari kerja". pada sisi lain, terdapat pula persepsi, bahwa dengan belajar di SMU favorit atau kuliah di prodi/jurusan favorit berati juga membuka peluang untuk kaya (sukses secara materi).
Bahkan, pada satu sisi, dunia kerja pun tersimplikasi menjadi PNS, BUMN, atau instansi-instansi bonafit. Tidak sedikit siswa/mahasiswa yang belajar pada ujung-ujungnya berharap menjadi PNS. Menjadi pegawai swasta atau lalu bekerja mandiri merupakan jalan terakhir. Karenanya, dapat dimengerti, mengapa ratus ribuan orang bersaing untuk dapat menjadi PNS, yang terkadang pada segelintir orang menggunakan cara-cara yang tidak fair. Intinya adalah bersekolah disamakan dengan membuka peluang bekerja.
Namun demikian, sudah menjadi kenyataan pula jika terdapat kesenjangan yang sangat besar antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Akibatnya, apa yang menjadi kebutuhan dunia kerja (industri) seringkali tidak dapat dipenuhi dunia pendidikan. "Link and match dunia pendidikan dengan dunia kerja bisa terjadi jika terdapat sebuah jembatan bernama standar kompetensi kerja," ujar Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Adjat Daradjat, Kamis (22/9/2011). Negara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2004 telah membentuk BNSP sebagai satu-satunya lembaga independen yang diberikan otoritas penuh untuk melaksanakan proses sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Salah satu di antara sejumlah misi BNSP adalah mempercepat pelaksanaan sertifikasi di berbagai sektor industri di Indonesia seperti manufaktur, pariwista, konstruksi, kesehatan, perbankan, keuangan, perdagangan, distribusi, perhutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, perhubungan, pertambangan, dan jasa-jasa.
Bahkan, pada satu sisi, dunia kerja pun tersimplikasi menjadi PNS, BUMN, atau instansi-instansi bonafit. Tidak sedikit siswa/mahasiswa yang belajar pada ujung-ujungnya berharap menjadi PNS. Menjadi pegawai swasta atau lalu bekerja mandiri merupakan jalan terakhir. Karenanya, dapat dimengerti, mengapa ratus ribuan orang bersaing untuk dapat menjadi PNS, yang terkadang pada segelintir orang menggunakan cara-cara yang tidak fair. Intinya adalah bersekolah disamakan dengan membuka peluang bekerja.
Namun demikian, sudah menjadi kenyataan pula jika terdapat kesenjangan yang sangat besar antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Akibatnya, apa yang menjadi kebutuhan dunia kerja (industri) seringkali tidak dapat dipenuhi dunia pendidikan. "Link and match dunia pendidikan dengan dunia kerja bisa terjadi jika terdapat sebuah jembatan bernama standar kompetensi kerja," ujar Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Adjat Daradjat, Kamis (22/9/2011). Negara, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2004 telah membentuk BNSP sebagai satu-satunya lembaga independen yang diberikan otoritas penuh untuk melaksanakan proses sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Salah satu di antara sejumlah misi BNSP adalah mempercepat pelaksanaan sertifikasi di berbagai sektor industri di Indonesia seperti manufaktur, pariwista, konstruksi, kesehatan, perbankan, keuangan, perdagangan, distribusi, perhutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, perhubungan, pertambangan, dan jasa-jasa.
Menurut Adjat, perkembangan dunia pendidikan tidak mungkin mengimbangi
perkembangan dunia kerja karena kebutuhan pasar kerja sangat
radikal. "Meskipun saat ini dunia pendidikan sudah menerapkan
kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja tidak akan bisa mengimbangi dinamika
dunia kerja. Lagipula dunia pendidikan itu tidak menghasilkan lulusan yang siap
kerja, melainkan lulusan siap latih," kata Adjat.
BNSP, kata Adjat,
sejauh ini sudah melakukan beberapa tindakan proaktif dengan cara masuk ke
perguruan-perguruan tinggi. "Kami sudah memberikan sejumlah kurikulum
tambahan di beberapa perguruan tinggi. Hasilnya kami telah memberikan
sertifikasi kepada lebih dari satu juta orang," katanya. Ia mengatakan,
satu juta memang bukan angka yang sedikit, akan tetapi dengan jumlah tenaga
kerja di Indonesia yang berjumlah 116 juta orang tentu masih jauh panggang dari
api jika ingin memberikan sertifikasi kerja kepada seluruh tenaga kerja
tersebut.
Maka dari itu,
lanjut Adjat, dalam melakukan proses sertifikasi tersebut BNSP bekerjasama
dengan berbagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dibentuknya, beragam
asosiasi industri atau organisasi pengguna SDM yang ada di tanah air, sejumlah
organisasi kemasyarakatan yang peduli dengan pengemabangan kualitas SDM, serta
segenap pemangku kepentingan lainnya. Adjat menargetkan di masa depan, para
lulusan sekolah, baik perguruan tinggi maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yang hendak bekerja memiliki double degree, yakni jazah pendidikan terakhir dan
sertifikat kompetensi.
Sebagai bentuk
apresiasi terhadap berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
telah membantu BNSP dalam menjalankan misi dan tugas utamanya, secara berkala
BNSP melaksanakan sebuah program yang bernama BNSP Competency Award. Tahun ini
penganugerahan tersebut akan dilaksanakan pada 25 November nanti dengan bentuk
penghargaan berupa penobatan menjadi Duta Kompetensi Kerja
Indonesia.
PKS: Pantas Pendidikan tidak Maju-Maju, Kebijakan tidak Berdasarkan
Riset
Anggota Komisi X
(Pendidikan, Olahraga dan Kebudayaan) Fraksi PKS Rohmani mengatakan, pemerintah
terkesan coba-coba dalam setiap kebijakan, salah satu contohnya adalah
penyaluran dana bantuan operasional sekolah yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional. "Sejak adanya dana bantuan operasional sekolah (BOS)
pemerintah kerapkali mengubah tata cara penyaluran dana BOS itu," katanya
dalam penjelasan melalui surat elektronik di Jakarta, Jumat (19/8/2011). Rohmani
mengatakan bahwa hal tersebut adalah bukti bila kebijakan Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemdiknas) masih coba-coba. Ia mengemukakan bahwa
seringkali kebijakan yang menyangkut kepentingan jutaan generasi bangsa
dilakukan dengan coba-coba.
Pemerintah
dinilainya tidak serius memikirkan setiap kebijakan yang hendak dikeluarkan.
"Seharusnya pemerintah dalam membuat setiap kebijakan harus
mempertimbangkan dampak negatifnya, dan juga harus mempertimbangkan kondisi
sosologis dan tata aturan perundang-undangan," katanya. "Kebijakan
pemerintah belum berdasarkan hasil riset. Bukan kajian yang matang, ini yang
membuat pendidikan kita tidak maju-maju. Dari dulu, begitu-begitu saja. Bisa
jadi, malah mundur. Karena pemangku kebijakan tidak serius bekerja,"
tambah Rohmani.
Menurut dia,
penyaluran dana BOS sejak 2005-2010 yang dilakukan melalui Kemdiknas ke
rekening sekolah-sekolah. Kemudian, pada yahun 2011 penyalurannya langsung dari
bendahara negara Kementerian Keuangan ke kas umum kabupaten/kota melalui APBD. Namun,
pada pelaksanaannya terjadi masalah dalam pencairan, sehingga terjadi
keterlambatan pencairan. Sedangkan tahun 2012, katanya, pemerintah berencana
akan melakukan pencairan melalui pemerintah provinsi. "Jika tahun depan
diubah lagi, maka pemerintah sudah tiga kali mengubah prosedur pencairan dana
BOS. Jika gagal lagi, maka pemerintah terbukti coba-coba mengurus
pendidikan," katanya. "Kita tidak mempermasalahkan pemerintah
mengubah kebijakannya, yang menjadi perhatian kita adalah jangan sampai
kebijakan yang dibuat tanpa pertimbangan dan kajian yang matang. Jika ini yang
terjadi pengelola sekolah bingung, belum paham kebijakan yang satu sudah
terjadi perubahan lagi. Idealnya kebijakan yang baik itu harus bersifat jangka
panjang," kata Rohmani.
Kualitas Pendidikan Turun Gara-gara Otonomi Daerah?
Popong Otje
Djundjunan merujuk pada data yang dilansir oleh UNESCO pada akhir 2007 atau
enam tahun setelah diberlakukannya UU otonomi daerah, peringkat Indonesia di
bidang pendidikan turun dari peringkat 58 menjadi 62 dari 130 negara di dunia. "Enam
tahun setelah otonomi daerah diberlakukan, Indonesia mengalami penurunan hingga
empat peringkat di bidang pendidikan," tutur wanita asal Kota Bandung ini.
Popong mengungkapkan, indeks pembangunan pendidikan Indonesia hanya 0,935 di
bawah Malaysia (0,945), dan Brunei Darussalam (0,965).
Sementara itu,
indeks permbangunan manusia menyebutkan bahwa Indonesia saat ini berada masih
pada posisi 110 dari 175 negara di dunia. "Rendahnya mutu pendidikan tidak
dipengaruhi faktor tunggal. Ada sejumlah variabel yang saling terkait dan
berhubungan. Salah satunya desentralisasi pendidikan. Karena itu perlu
dilakukan kajian menyeluruh untuk mengatasi berbagai hambatan yang menyebabkan
penurunan mutu pendidikan kita," ujarnya. Popong menegaskan, secara
prinsip dirinya sangat setuju dengan konsep desentralisasi pendidikan, karena
ada banyak harapan perbaikan dan peningkatan mutu yang bisa dikejar.
Namun mengingat
banyaknya hambatan dan persoalan yang berkembang, desentralisasi perlu dikaji
ulang, agar bisa dilakukan perbaikan demi kemajuan pendidikan ke
depan."Perlu adanya pembagian tugas dan peran yang jelas antara kewenangan
pusat dengan daerah di bidang pendidikan. Desentralisasi perlu disempurnakan
dengan mengadopsi hal-hal positif dari konsep sentralisasi," terangnya.
Terkait dengan
evaluasi otonomi daerah, nada serupa disampaikan pula oleh Mantan Menteri Otonomi Daerah Prof
Ryaas Rasyid menegaskan, setelah 11 tahun otonomi daerah dilaksanakan di
Indonesia harus dilakukan evaluasi sejauh mana efektivitas penerapannya selama
ini. "Otonomi daerah (Otda) ini memang perlu dievaluasi karena janji saya
dulu ke DPR bahwa setelah 10 tahun, perlu evaluasi kembali sejauh mana
efektifitas dari penerapannya," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/11/2011).
Pada evaluasi itu, menurut dia, perlu dilihat dimana saja kekurangan implementasi
otda dan mana yang masih perlu dikembangkan lagi agar otda mampu mempercepat
pembangunan daerah atau memberi kesejahteraan pada rakyat.
Sebelumnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki
Alie, menilai, penerapan otonomi daerah memicu politisasi sektor pendidikan
yang mengakibatkan pendidikan di daerah sulit berkembang. "Sebenarnya ada
dua aspek otonomi daerah yang memengaruhi sektor pendidikan yakni aspek
politis, seringnya tenaga guru menjadi korban politisasi elite di daerah, dan
aspek teknis," katanya di Semarang, Selasa (12/7/2011). Hal itu
diungkapkannya usai seminar bertema 'Mampukah Otonomi Pendidikan Mendorong
Peningkatan Daya Saing Bangsa Pada Era Globalisasi' yang diprakarsai Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang. Ia mengemukakan, politisasi
pendidikan di daerah memang tidak bisa terhindarkan dalam penerapan otonomi
daerah, terutama saat pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadikan
pendidikan sebagai objek politik di daerah.
Ia mencontohkan, penetapan kepala Dinas Pendidikan oleh
kepala daerah yang seringkali tanpa didasarkan kapabilitas seseorang, namun
hanya karena memiliki kedekatan secara politik dengan elite di daerah.
"Akibatnya, pendidikan dikelola secara sembarangan karena orang yang
berada di pucuk pimpinan bukan orang yang memahami tugasnya, penerimaan guru
dengan kolusi dianggap umum, dan akreditasinya tidak jelas," katanya. Secara
teknis, katanya, dampak otonomi daerah juga menjadikan sektor pendidikan tak
berkembang, sebab pemerintah daerah bisa saja tidak memenuhi tanggung jawab dalam
pengalokasian dana pendidikan secara tepat. "Anggaran pendidikan 20 persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akhirnya belum dapat
diimplementasikan secara seimbang dan tepat di daerah," kata Marzuki yang
juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.
Karena itu, katanya, muncul gagasan sentralisasi
pendidikan di tengah kebijakan otonomi daerah sekarang ini, atau setidaknya
sentralisasi atas tenaga pengajar untuk menghindari politisasi pendidikan di
daerah. "Namun, kalau pendidikan disentralisasi ke pusat, maka kemungkinan
terjadi politisasi dalam tataran lebih tinggi bisa saja terjadi. Ini juga
nantinya tidak baik bagi perkembangan sektor pendidikan," katanya. Ia
mengemukakan, solusi terbaik dalam mencegah politisasi dalam sektor pendidikan
di daerah sebenarnya tidak perlu dengan sentralisasi pendidikan ke pusat,
karena pendidikan cukup ditangani di tingkat daerah. "Akan tetapi, kepala
daerah jangan dipilih secara langsung, namun dipilih melalui DPRD. Kalau
otonomi pendidikan diiringi dengan sistem pilkada langsung, sama saja,
politisasi tetap akan terjadi," katanya.
Pakar pendidikan H.A.R. Tilaar yang juga menjadi pembicara
seminar itu mengatakan, manajemen pendidikan nasional saat ini cenderung
mengikuti paham neoliberalisme yang jelas bertentangan dengan UUD 1945.
"Manajemen pendidikan nasional perlu membuka diri atas perubahan-perubahan
global, namun harus tetap berpijak pada kepentingan rakyat, yakni meningkatkan
taraf hidup dan mencerdaskan kehidupannya," katanya.
Pertama, dilihat dari segi dasarnya, pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dasar ini mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi amat ideal dn luhur. Namun, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang dasar tersebut sekarang ini tidak lagi efektif, bahkan masyarakat enggan untuk menyebutnya. Hal ini ini antara lain disebabkan trauma masa lalu, dimana Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 ditempatkan pada doktrin politik yang hanya ditafsirkan mennurut versi dan kemauan penguasa. Hak bicara masyarakat tersumbat, dan nyaris tidak memiliki kebebasan, sampai kemudian datang gelombang reformasi yang memberikan kebebasan hampir tanpa batas kepada masyarakat untuk berbicara apa saja. Masyarakat ternyata semakin tidak beradab, yang terlihat dalam berbagai fenomena perilaku yang menyimpang dan tidak manusiawi, seperti penjarahan, penganiayaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Masyarakat kini tengah mencari dasar pendidikan alternatif yang dapat diterima dan terasa pengaruhnya secara efektif. Dasar tersebut antara lain melalui penerapan konsep masyarakat madani. Konsep masyarakat madani sudah masuk ke dalam salah satu butir konsideran dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemantapan konsep madani dalam pendidikan lebih diperkuat pula melalui Mata Kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Berhasilkah konsep masyarakat madani ini diterapkan sebagai dasar pendidikan Islam? Tampak belum terjawab.
Kedua, dilihat dari segi fungsinya pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Fungsi pendidikan yang demikian itu masih belum terlihat hasilnya secara aktual.Keadaan menunjukkan bahwa mutu kehidupan dan martabat manusia di Indonesia didunia internasional terpuruk. Daya saing kualitas sumber daya manusia d negara di kawasan Asia Tenggara. Demikian pula citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional tampil dalam sosoknya sebagai bangsa yang kejam, sadis, bengis dan menakutkan.
Ketiga, dilihat dari segi tujuannya, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memilki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Namun demikian, dalam kenyataan masih terdapat kesenjangan antara tujuan pendidikan yang diharapkan dengan realitas lulusan pendidikan. Lulusan pendidikan saat ini cenderung bersikap sekuler, materialistik, rasionalistik, hedonistik, yaitu manusia yang cerdas intelektualnya dan terampil fisiknya, namun kurang terbina mental spiritualnya, dan kurang memiliki kecerdasan emosional. Akibatnya, kini banyak sekali pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan kriminal, pencurian penodongan, penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya.
Keempat, dilihat dari kesempatan yang diberikan, dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Namun dalam kenyataan masih banyak warga negara Indonesia yang belum mengenyam pendidikan sebagai akibat dari ketidakmampuan dalam bidang ekonomi. Pendidikan saat ini, khususnya pendidikan yang bermutu hanya dapat dimonopoli oleh segelintir orang yang mampu saja. Sedangkan masyarakat pada umumnya hany mendapatkan pendidikan yang kurang menjanjikan masa depannya.
Kelima, dilihat dari segi penyelenggaraannya, pendidikan dilaksanakan melalui 2 ( dua jalur), yaitu jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Sedang pendidikan di luar sekolah tidak secara berjenjang dan berkesinambungan. Keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Namun prakteknya perhatian pemerintah selama ini hanya diberikan terhadap jalur pendidikan sekolah. Sedangkan pendidikan luar sekolah kurang diperhatikan, sehingga kurang berperan sebagaimana diharapkan.Hal ini semakin diperparah lagi adanya pengaruh global yang menerpa kehidupan keluarga yang selanjutnya merubah orintasi dan pola hidup. Yaitu pola hidup yang lebih mengutamakan material tanpa diimbangi dengan dimensi spiritual. Akhirnya rumah tangga sebagai benteng pertahanan moral dan akhlak keluarga terbawa hanyut arus global tersebut.
Keenam, dilihat dari segi tenaga pendidikan, Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, bahwa tenaga kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemilik, pengawas, peneliti dan pengembangan di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi belajar. Tenaga pengajar adalah tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar menengah disebut guru dan pada jenjang perguruan disebut dosen.
Secara kuantitatif dan kualitatif tenaga-tenaga kependidikan tersebut di atas, tampak belum memadai untuk keperluan berbagai lembaga pendidikan yang ada. Hal ini disebabkan karena keterbatan kemampuan pemerintahan untuk mengadakan tenaga –tenaga kependidikan tersebut. Keadaan tersebut diperparah lagi dengan tutupnya tenaga-tenaga pendidikan yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan keguruan untuk tingkat dasar, menengah dan tinggi. Sekolah Pendidikan Keguruan (SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA), Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan semacamnya kini tidak ada lagi. Akibatnya tugas mendidik dilakukan oleh tenaga pendidikan yang tidak profesional.
Ketujuh, dilihat dari segi kurikulum, Sistem Pendidikan Nasional mengatakan, bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing –masing satuan pendidikan. Kenyataannya menunjukkan masih terdapat sejumlah pengetahuan yang diberikan diperguruan tinggi yang tidak ada lagi relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, sehingga lembaga pendidikan ikut andil memperbanyak jumlah pengangguran intelektual. Selain itu masalah dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum masih mewarnai kurikulum pendidikan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah ini perlu segera dilakukan integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum, Islamisai atau spiritualisasi ilmu pengetahuan umum.
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/30/lvheiq-kualitas-pendidikan-turun-garagara-otonomi-daerah
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/15/luoynu-perlu-evaluasi-menyeluruh-implementasi-otonomi-daerah
- http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/07/12/lo7ziu-ketua-dpr-otonomi-daerah-picu-politisasi-pendidikan
- http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/08/19/lq60p0-pks-pantas-pendidikan-tidak-majumaju-kebijakan-tidak-berdasarkan-riset
- http://sabriwahabsoppeng.wordpress.com/2011/05/09/kelemahan-pendidikan-di-indonesia/
ijin share di blog ane gan....
BalasHapusmampir di blog ane gan
4guss.blogspot.com