Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan dan mengelola pendidikan di Indonesia mengharuskan adanya pembagian dan distribusi wewenang, tanggung jawab, dan partisipasi dari pihak non-pemerintah (atau NGO, non-Goverment organization) dalam sistem pendidikan di Indonesia. Karenanya, wajar apabila keterlibatan masyarakat, swasta, dan investor asing dalam wajah pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Keterlibatan masyarakat, misalnya, muncul dalam bentuk pembiayaan rutin siswa karena pemerintah tidak dapat membiayai seluruh komponen pembiayaan pendidikan setiap siswa, sekalipun pemerintah mengembar-gemborkan "pendidikan gratis untuk rakyat". Realisasinya, pemerintah hanya membiayai dana rutin saja, sedangkan lainnya tetap ditanggungjawabi oleh masyarakat. Keterlibatan swasta sangat kentara dalam pendidikan di, baik dalam pendidikan formal maupun non-formal. Pesantren adalah salah satu contoh representatif keterlibatan lembaga non-pemerintah dalam pengelolaan pendidikan.
PENJELAJAHAN RECITAL, INTELEKTUAL, DAN SPIRITUAL TAK BERTEPI
Rabu, 07 Desember 2011
Pesantren, Milik Ummat dan Tidak ada Pesantren Plat Merah
Data Pesantren di Indonesia
Problem: Pesantren Masih dianggap Pinggiran
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pesantren adalah persepsi "pinggiran" yang ada pada masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pesantren masih dipandang sebelah mata oleh Pemerintah jika dibandingkan dengan perhatian Pemerintah terhadap lembaga pendidikan "Berflat Merah" alias Negeri. Sebagian indikatornya adalah keberadaan pesantren dalam Undang-Undang, yang masih tidak proporsional (dibanding sekolah [negeri] dan PTN), akses pesantren terhadap sistem pendidikan nasional, sertaalokasi dana negara (APBN) terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas pesantren.
Sebagai upayanya untuk menguatkan posisi pesantren (dan lembaga pendidikan Islam lainnya) [atau juga sekaligus untuk pencitraan politis], Menag secara implisit menyebutkan, "Jangan sampai ada pondok pesantren atau madrasah dipandang sebelah mata". Pernyataan ini, poada satu sisi, mengisyaratkan bahwa secara institusional, ponpes masih menghadapi kendala, yakni berada di pinggir atau dipinggirkan dalam konteks sistem dan proses pendidikan di Indonesia. Pada satu sisi, statemen ini juga merupakan upaya penyadaran kembali akan posisi pesantren--yang kini banyaknya di posisi "marginal" agar berupaya keras dapat bergeser ke posisi sentral. Salah satunya dengan integrasi dan adaptasi sistem pendidikan nasional.
Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2008, keseluruhan pesantren di Indonesia adalah berjumlah 25.785 pesantren. Berdasarkan sebaran geografisnya, pesantren-pesantren di Indonesia dapat didistribusikan sebagai berikut:
- Pulau Jawa : 77.8 persen
- Luar Jawa : 22.2 persen
Persentase di atas dapat dimaknai bahwa kebanyakan pesantren terdapat di Pulau Jawa, sedangkan selebihnya berada di luar Jawa. Hal ini terkait dengan aspek historis keberadaan pesantren di Nusantara, bahkan di dunia Islam. Secara antropologis, Pesantren dapat diposisikan sebagai "keunikan" dari lembaga pendidikan Islam karena memiliki kekhasan, yakni salah satunya berporos pada tradisi Jawa. Kekhasan ini tidak dapat ditemui sepenuhnya dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah-wilayah dunia Islam lainnya. Sekalipun demikian, terdapat hal yang perlu dimaknai juga, bahwa kini pesantren bukan lagi dicitrakan sebagai lembaga pendidikan khas Jawa, tetapi telah menjadi identitas nasional Indonesia. Pesantren telah diidentikkan dengan salah satu ciri khas pendidikan Islam Indonesia, atau terkait dengan identitas Islam Indonesia itu sendiri.
Berdasarkan kategori "Konsep dan Sistem Pendidikan Pesantren"nya, pesantren-pesantren tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yakni salafiyah (tradisional), 'ashriyyah (modern), dan campuran.
Berdasarkan kategori "Konsep dan Sistem Pendidikan Pesantren"nya, pesantren-pesantren tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yakni salafiyah (tradisional), 'ashriyyah (modern), dan campuran.
- Salafiyah : 41,5 persen
- Ashriyah/ Modern : 9,6 persen
- Campuran : 48,9 persen
Istilah salafiyah (tardisional) di atas perlu mendapatkan penjelasan, karena secara antopologis-sosiologis, istilah ini kini mengalami pembiasan. Istilah "salafiyah" jika diatributkan kepada pesantren berati pesantren yang menerapkan sistem pendidikan tradisional dalam proses pendidikannya, terutama kurikulum (pembelajaran)-nya, seperti menerapkan sistem sorogan dan bandongan. Istilah salafiyah juga digunakan oleh kalangan "Wahabiyah", yang dimaknai sebagai upaya kembali ke jalan salaf al-shalih dengan mengedepankan aspek pemurnian (puritanisme).
Tidak Ada Pesantren Plat Merah (Milik Pemerintah)
Kediri (Pinmas)--Menteri Agama RI Suryadharma Ali menegaskan
pentingnya Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai salah satu pilar
penyelenggaraan kegiatan pendidikan di Indonesia. Meski diakui Suryadharma,
mayoritas Madrasah dan Ponpes di Indonesia dikelola oleh swasta, namun tak
menghalangi kontribusi lembaga pendidikan ini dalam mencerdaskan masyarakat
Tanah Air. "Ponpes 100 persen swasta. Tidak Ada Ponpes plat merah alias
milik pemerintah. Sama halnya dengan madrasah 94 persen dikelola swasta yaitu
oleh para kyai dan ulama. Tapi keduanya berkontribusi besar bagi
Indonesia," ujar Menag saat mengunjungi Pondok Pesantren Al Falah, Desa
Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, Sabtu (3/12/2011).
Menag menyatakan, Kementerian Agama (Kemenag) RI secara
khusus mengapresiasi dan selalu mendukung secara kegiatan belajar mengajar yang
digelar oleh Ponpes maupun sarana pendidikan keagamaan lainya seperti madrasah.
"Hadirnya berbagai Madrasah dan Ponpes sejak puluhan tahun silam menjadi
semacam pintu masuk ilmu pengetahuan bagi bangsa Indonesia," tandasnya. Hal
tersebut tambahnya, tidak terlepas dari peran ulama yang secara tulus
mendedikasikan hidupnya untuk membangun Ponpes atau madrasah. "Saya salut
kepada alim ulama. Karena tanpa alim ulama, buta huruf latin dan Alquran masih
besar tapi dengan peran alim ulama melalui Ponpes atau Madrasah maka buta
aksara bisa menurun," kata Suryadharma.
Kunjungan Menteri Agama ke Ponpes Al Falah ini dalam rangka
memperingati khaul pendiri Ponpes Al Falah, K.H.Ahmad Djazuli. Menag
menilai, kontribusi kiai Ahmad Djazuli terhadap pendidikan Islam dalam bidang
Ponpes sangatlah besar. "Sungguh penghargaan luar biasa saya bisa
menghadiri acara khaul ini. Karena khaul membawa kita untuk mengenang Kiai
Ahmad Djazuli. Mengingat Apa yang telah dilakukanya selama ini sangat
bermanfaat," kata Suryadharma di hadapan pengurus dan santri. Kiai Ahmad
Djazuli mendirikan Ponpes Al Falah pada tahun 1925 silam. Dalam
perkembangannya, Al Falah menjadi salah satu Ponpes Salafi terkemuka di wilayah
Jawa Timur. Pesantren Salafi lainya yang cukup terkemuka yaitu Ponpes Lirboyo.
Suryadharma mengungkapkan, salah satu contoh kontribusi Kiai
Ahmad Djazuli tersebut yaitu berdirinya Ponpes Al Falah. Ia memandang, Ponpes
Al Falah telah menghasilkan alumni yang berprestasi yang tersebar di seluruh
Indonesia. Alumni Al Falah bersama lulusan Ponpes lainya di Tanah Air ini turut
menjaga keimanan umat Islam di Indonesia. "Kekuatan alumni menjaga agama
Islam dan umat Islam meningkatkan keimanan, hal ini tentu sangat luar
biasa," katanya.
Hal
tersebut tambahnya, tak terlepas dari peran alim ulama yang berada dalam
lingkungan Ponpes Al Falah dan alim ulama lainnya dalam membimbing umat tanpa
mengharapkan pamrih. "Saya juga kagum kepada alim ulama karena punya semangat
luar biasa bimbing umat. Ulama mempunyai kekayaan luar biasa tapi hatinya
didedikasikan dalam komitmen dan keikhlasan yang mendorong mengabdi kepada
umat," kata Menag Suryadharma Ali.
Problem: Pesantren Masih dianggap Pinggiran
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pesantren adalah persepsi "pinggiran" yang ada pada masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pesantren masih dipandang sebelah mata oleh Pemerintah jika dibandingkan dengan perhatian Pemerintah terhadap lembaga pendidikan "Berflat Merah" alias Negeri. Sebagian indikatornya adalah keberadaan pesantren dalam Undang-Undang, yang masih tidak proporsional (dibanding sekolah [negeri] dan PTN), akses pesantren terhadap sistem pendidikan nasional, sertaalokasi dana negara (APBN) terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas pesantren.
Sebagai upayanya untuk menguatkan posisi pesantren (dan lembaga pendidikan Islam lainnya) [atau juga sekaligus untuk pencitraan politis], Menag secara implisit menyebutkan, "Jangan sampai ada pondok pesantren atau madrasah dipandang sebelah mata". Pernyataan ini, poada satu sisi, mengisyaratkan bahwa secara institusional, ponpes masih menghadapi kendala, yakni berada di pinggir atau dipinggirkan dalam konteks sistem dan proses pendidikan di Indonesia. Pada satu sisi, statemen ini juga merupakan upaya penyadaran kembali akan posisi pesantren--yang kini banyaknya di posisi "marginal" agar berupaya keras dapat bergeser ke posisi sentral. Salah satunya dengan integrasi dan adaptasi sistem pendidikan nasional.
Sumber:
Langganan:
Postingan (Atom)