Sebuah tulisan yang cukup bagus dan sangat perlu untuk dibaca oleh siapa pun terutama bagi kalangan pendidikan dan pemerhati pendidikan. Tulisan di bawah ini berusaha menunjukkan diferensiasi (perbedaan) antara guru di desa (terlebih di daerah pedalaman) dan di kota. Sekalipun berprofesi yang sama, namun status dan pendapatan jelas ada perbedaan; waupun terkadang "kecukupan" hanyalah persepsi dan sangkaan belaka (fatamorgana).
-------
Oleh M
As'adi
Enaknya menjadi guru di Ibu Kota Jakarta karena mendapat tunjangan
dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang besarnya bisa mencapai Rp 2-4 juta
per bulan. Namun, apakah memang seenak itu menjadi guru di kota besar? Guru
Pendidikan Kewarganegaraan SMAN 6 Jakarta Rusyanto (48 tahun) mengatakan, guru
di Jakarta harus bekerja penuh waktu. Dari pukul 06.00 WIB sudah harus sampai
di sekolah dan baru pulang pukul 15.00 WIB.
Selain itu, jabatannya sebagai wakil kepala sekolah menuntutnya
untuk meninjau kegiatan siswa hingga pukul 18.00 WIB. Karena itu, Rusyanto
menilai layak diberikannya tunjangan kinerja daerah (TKD) kepada para guru.
Rusyanto mendapatkan TKD Rp 3,4 juta yang dinaikkan secara berkala setiap dua
tahun. Awal tahun ini, TKD yang ia terima meningkat drastis dari TKD sebelumnya
Rp 2,3 juta.
Kenaikan TKD dilihat dari kinerja seperti kehadiran dan jam kerja.
Jika sering terlambat dan cepat pulang berarti kinerjanya buruk. Di luar TKD,
guru di Jakarta juga mendapatkan tunjangan profesi setiap enam bulan yang
besarnya sama dengan gaji pokok, yakni Rp 3 juta. Ini untuk membantu guru yang
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. ''Tuntutan zaman sekarang
berbeda. Guru SD zaman sekarang harus lulusan S1, berarti guru SMA harus lebih
tinggi lagi,'' ujar pemegang gelar S2 dari Universitas Hamka itu. Rusyanto pun
masih berharap pemerintah dapat memberikan dispensasi pada guru untuk
bersekolah lagi.
Jadi, enak apa tidak menjadi guru di Jakarta? Walau mendapat
berbagai fasilitas tunjangan, menurut Rusyanto, menjadi guru di daerah banyak
waktu luangnya sehingga bisa menambah nafkah dengan bekerja sambilan. ''Di
daerah, guru bisa pulang jam 12 atau jam 1. Terus bisa kerja sampingan kayak
garap sawah,'' kata Rusyanto enteng.
Benar juga pendapat Rusyanto mengenai guru daerah yang bisa
bekerja sambilan itu. Tengok saja apa yang dilakukan Okta (30) yang setiap hari
bangun pukul 04.30 WIB untuk memberi makan seribu burung puyuh yang dipelihara
di belakang rumahnya di Jorong Taratak Nagari Kubang, Kecamatan Guguak,
Kabupaten Limopuluah Koto, Sumatra Barat.
Setelah memberi makan puyuh, Okta menunaikan shalat Shubuh, lalu
bersiap-siap menaiki motornya ke SMPN 5 Guguak, tempat dia mengajarkan mata
pelajaran Teknologi Informasi Komputer. Jarak sekolahnya cuma tujuh kilometer,
namun lokasinya terpencil dan jalannya sulit, penuh tanjakan curam di
perbukitan. Jangan tanya apa jalannya sudah diaspal.
Okta sudah mengajar sejak sekolah itu berdiri pertengahan 2009
silam. Karena masih baru, sekolah itu menerima banyak tenaga honorer dan bahkan
hingga kini hampir seluruh gurunya masih berstatus tenaga tidak tetap. Jangan
tanya soal gaji atau tunjangan guru honorer di sekolah itu. ''Rata-rata setiap
bulan saya menerima Rp 75 ribu,'' ucap Okta. Itu belum termasuk potongan
sebesar Rp 2.500 untuk iuran sosial.
Penghasilan dari mengajar ini pun sumbernya bukan dari pemerintah
daerah, melainkan sebagian kecil dari dana bantuan operasional sekolah (BOS)
yang seharusnya bukan untuk honor guru bantu. Jumlah itu jelas tidak akan cukup
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan tak cukup untuk membeli bensin
motornya.
Jadi, guru seperti Okta terpaksa bekerja sambilan bukan hanya
untuk menambah penghasilan, tapi bertahan hidup. Bahkan menilik dari rupiah
yang didapat, profesi guru justru adalah sambilannya. Sementara, beternak puyuh
menjadi penopang napas utama.
Meski enggan menyebutkan keuntungan yang diperoleh, Okta mengaku
bersyukur usaha ternaknya itu masih mampu menyambung hidup bersama sang istri.
''Sementara saya mendengar ada guru-guru yang sudah sertifikasi, tapi masih
mengeluh. Padahal penghasilan mereka sudah di atas lima juta,'' ujarnya.
Kerja sambilan juga dilakoni oleh Darmono (35), guru honorer atau
bahasa kerennya wiyata bakti di SDN Tegalroso, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah. Istrinya, Nur Ulfa (27), juga guru honorer di SDN
Campursalam, Parakan. Masing-masing hanya menerima honor Rp 100 ribu per bulan,
satu persen dari gaji yang bisa diterima seorang guru yang sudah berstatus PNS
yang bersertifikasi.
Apa akal untuk menyambung hidup? Darmono membantu usaha penganan
rengginang milik sang mertua dengan menjadi tenaga pemasar. Kalau kebetulan
petani Temanggung panen tembakau, Darmono alih profesi menjadi pengepul daun
tembakau kering yang biasa dibuat cerutu. ''Meski kembang kempis, setidaknya
kami bisa memenuhi kebutuhan hidup kami. Saya tidak tahu, secara matematis kami
mestinya tak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami,'' kata Darmono.
Meski 'gaji' minim, jam mengajar Darmono sama dengan guru PNS,
yakni 24 jam sepekan. Bahkan acap kali disampiri pekerjaan administrasi BOS
atau administrasi sekolah karena tak ada tenaga tata usaha. Jika ada ujian,
para guru honorer ini menjadi yang paling sibuk. ''Karena kamilah guru paling
enthengan ketika kepala sekolah minta bantuan. Memang kadang ada honornya, tapi
lebih banyak kerja bakti,'' kata Darmono. Di Kabupaten Temanggung, saat ini ada
1.300 GTT yang mengajar di SD. Berbagai kiat mereka lakukan untuk bertahan
hidup. Eko Danang yang menjadi guru tidak tetap SDN 1 Parakan membuka les
bahasa Inggris di rumahnya. Pramono yang mengajar di SMPN Kandangan membuka
koperasi simpan pinjam.
Sedangkan Ummi, guru SDN Bejen, Kecamatan Bejen, Temanggung,
bersama teman-teman senasib dalam Forum Guru Tidak Tetap (Forgutt) merintis
usaha membuat dodol dan sirup jambu biji. ''Kebetulan daerah kami sentra jambu
biji. Untuk menambah penghasilan, kami tengah merintis usaha ini,'' katanya. Waktu
luang bagi guru honorer di daerah berarti waktu untuk mencari pengganjal hidup,
bukan mencari sertifikasi atau melanjutkan sekolah lagi, seperti sejawat mereka
yang sudah menjadi PNS, terutama di kota besar. Peran mereka juga mulai
tergusur dengan masuknya tenaga guru PNS muda. ''Kalau kita jujur, dedikasinya
acap kali justru lebih bagus guru tidak tetap dibandingkan guru PNS. Tuntutan
kami tidak berlebihan. Coba bandingkan dengan buruh yang punya standar penggajian,
sementara guru tidak ada. Meski tidak jadi PNS, harapan kami setidaknya
memiliki penghasilan layak,'' tambah Darmono.c27/c04/c29 ed: rahmad budi harto
Sumber: http://koran.republika.co.id/koran/14/148778/Fatamorgana_Guru_
Desa_dan_Kota; Selasa, 29 November 2011 pukul 08:52:00