Salah satu pertanyaan yang seringkali dilontarkan banyak pengamat pendidikan Islam, “Mengapa Pesantren dapat bertahan dari zaman ke zaman”. Pertanyaan ini tidaklah berlebihan, karena jika dibanding dengan lembaga pendidikan Islam lainnya di Indonesia, seperti Dayah, Rangkang, Meunasah, dan Surau, pesantren jauh lebih mampu bertahan, berurat-akar, dan berkembang di tengah-tengah terpaan modernisasi, globalisasi, dan dominasi pendidikan umum—untuk tidak menyebut pendidikan “sekuler”--. Pertanyaan di atas dapat dikatakan cukup simple, tetapi jawaban terhadapnya sangatlah kompleks atau tidak sederhana. Hal ini karena pesantren merupakan realitas komplek, oleh karena itu memerlukan perspektif yang kompleks juga atau multi-perspektif untuk mengkajinya.
Terkait dengan keberlangsungan dan perubahan (continuity and change) pesantren, Azyumardi Azra (Pendidikan Islam, 1995:95) menyatakan:
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim, tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi pendudukan umum—untuk tidak menyebut pendidikan “sekuler”; atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum; atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum.
Keberadaan pesantren terus menjadi fenomenal dan menarik perhatian para pengamat. Bahkan, Robert W. Hefner (dalam Making Modern Muslims, The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 2009:1) menyebutkan bahwa pada dasawarsa terakhir dunia internasional, terutama Amerika dan Eropa, sangat menaruh perhatian terhadap lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya, yakni madrasah dan sekolah “Islam”. Ia mengatakan, “Since 9/11 attacks in the United States and Ocktober 2002 Bali bombings in Indonesia, Islamic Schools in Southeast Asia have been the focus of international attention. ” Hal serupa juga disampaikan oleh Martin van Bruinessen, terutama dalam konteks keberadaan Pesantren tradisional berbasis “Jama’ah Islamiah [JI]” di Indonesia serta keterkaitannya dengan isu terorisme. Karenanya, popularitas pesantren, dengan segala dimensi dan aspeknya, pun akhirnya ikut didongkrak oleh keberadaan sejumlah buku, penelitian, dan publikasi lainnya.
Lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren, nampaknya, sedang menapaki momentum kebangkitan atau setidaknya menemukan “popularitas” baru. Secara kuantitatif, jumlah pesantren terus meningkat, bukan hanya fenomena Jawa, tetapi juga muncul di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Begitu juga, pesantren tidak lagi identik sebagai “fenomena desa”, tetapi juga menjadi fenomena masyarakat “urban” dan “kota”, seperti Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Misalnya, pesantren yang cukup fenomenal adalah Pesantren Darul Muttaqin di Parung dan Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka di kota Padang.
Perubahan perhatian dunia internasional terhadap lembaga pendidikan Islam, terutama madrasah dan pesantren, tidak lepas dari perubahan internal pada institusi pendidikan Islam ini. Menurut Azyumardi Azra, pesantren [dan madrasah] merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang mengalami perubahan yang cepat dan luas, setidaknya pada dua dasawarsa terakhir. Perubahan tersebut manyangkut kelembagaan dan substansi keilmuan. Menurutnya, meskipun perubahan tersebut nampaknya merupakan keniscayaan, dampak dan konsekuensinya bagi pendidikan Islam atau bahkan dinamika Islam di Indonesia tidak selalu menggembirakan.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren tidak dapat hanya berbangga hati dan puas karena sekedar mampu bertahan, tanpa menghasilkan produk unggul dan kompetitif, khususnya untuk peningkatan kualitas sistem pendidikan yang didesain dan ditawarkan kepada khalayak. Sebaliknya pesantren dituntut menjawab tantangan modernitas dengan memasuki ruang kontestasi dengan instiusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel internasional, menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang ketat itu memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikan agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini menuntut pesantren untuk terus melakukan pembenahan internal dan inovasi agar tetap mampu meningkatkan kualitas pendidikannya.
Perubahan pesantren tidaklah dapat dijelaskan dalam dimensi tunggal dan linear, tetapi menampakkan wajahnya yang multi-kompleks. Kekompleksitasan dinamika perubahan ini harus dijelaskan melalui perspektif yang kompleks juga. Sudut pandang yang terbatas atau dibatasi berdampak pada simplikasi [penyedehanaan dan pendangkalan] informasi dan analisis dari realitas kompleks pesantren.