Anak adalah anugerah terindah dan terbaik yang dititipkan Allah kepada para orang tua. Ia lahir dalam keadaan fitrah (suci dan potensial), sebagaimana disebutkan dalam sebuh hadits bahwa Kullu Muludin Yuladu 'ala al-fitrah (setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah). Fitrah di sini dapat dimaknai suci atau potensial. Dimaknai suci, ini berarti bahwa setiap anak lahir dalam keadaan "tidak memiliki dosa apapun atau tidak menanggung dosa siapa pun". Sedangkan jika dimaknai potensial, hal ini bermakna bahwa setiap anak memiliki potensi yang sama dengan anak lainnya untuk tumbuh, berkembang, serta mencapai prestasi setinggi-tingginya.
Dalam hal spiritual, setiap anak memiliki potensi untuk "beragama" atau "tidak beragama", percaya kepada adanya Tuhan (iman) atau menyangkalnya (kafir). Pilihan ini sangat tergantung kepada pendidikan awal [dalam rumah, terutama orang tua], lingkungan masyarakat, dan pilihannya [kelak ketika ia telah mampu memilih, atau ketika baligh]. Dalam hal intelektual, setiap anak memiliki potensi untuk cerdas atau sebaliknya (bodoh); demikian pula dalam hal etika, estetika, dan lainnya. Artinya, setiap anak mempunyai potensi positif maupun negatif [wa nafsi wa ma sawwaha; faalhamaha pujuraha wa taqwaha).
Potensi ini selanjutnya sangat bergantung pada bagaimana orang tua dan masyarakat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikilogis anak. Karenanya, para orang tua hendaklah memelihara, menumbuhkembangkan, dan mendidik anak secara baik dan maksimal. Semaksimal mungkin pula, para orang tua harus menghindari berbagai kesalahan dalam memberikan pendidikan bagi anaknya. Tulisan di bawah ini coba dishare agar para pembaca mampu menghindari beberapa kesalahan dalam mendidikan anak.
Dalam hal spiritual, setiap anak memiliki potensi untuk "beragama" atau "tidak beragama", percaya kepada adanya Tuhan (iman) atau menyangkalnya (kafir). Pilihan ini sangat tergantung kepada pendidikan awal [dalam rumah, terutama orang tua], lingkungan masyarakat, dan pilihannya [kelak ketika ia telah mampu memilih, atau ketika baligh]. Dalam hal intelektual, setiap anak memiliki potensi untuk cerdas atau sebaliknya (bodoh); demikian pula dalam hal etika, estetika, dan lainnya. Artinya, setiap anak mempunyai potensi positif maupun negatif [wa nafsi wa ma sawwaha; faalhamaha pujuraha wa taqwaha).
Potensi ini selanjutnya sangat bergantung pada bagaimana orang tua dan masyarakat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikilogis anak. Karenanya, para orang tua hendaklah memelihara, menumbuhkembangkan, dan mendidik anak secara baik dan maksimal. Semaksimal mungkin pula, para orang tua harus menghindari berbagai kesalahan dalam memberikan pendidikan bagi anaknya. Tulisan di bawah ini coba dishare agar para pembaca mampu menghindari beberapa kesalahan dalam mendidikan anak.
Menjadi orang tua memang tidak mudah; butuh ilmu, keterampilan, kesabaran, dan materi dalam membesarkan dan mendidik anak. Ilmu dibutuhkan, karena bila para orang tua tidak memiliki ilmu untuk mendidik anak pada setiap fase perkembangan fisik dan psikologisnya, maka orang tua akan mendidiknya dengan kemauan, perasaan, dan pengalaman masa lalunya. Padahal apa yang ia alami pada masa lalu belum tentu cocok diterapkan bagi pendidikan anaknya untuk menjalani kehidupan pada zamannya dan masa yang akan datang. Karenanya pula, dengan ilmu, orang tua dapat mengambil metode dan strategi pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya.
Dengan kata lain, ilmu dapat meminimalisir kesalahan dan kekurangan dalam mendidik anak. jika cara orang tua dalam mendidikan anak salah, hal itu juga berakibat fatal dan buruk untuk masa depannya. Terkadang tanpa disadari para orang tua, sikap dan cara didik kepada anak justru membuat mereka stres. Kadangkala terlalu memanjakan mereka, itu juga tidak baik bagi perkembangkan mereka. Berikut ini ada beberapa cara mendidik anak yang dianggap kurang tepat, seperti di bawah ini: .
1. Sering Beralasan: Tidak ada waktu atau Sibuk
Sebagai orang tua, Anda
mungkin terlalu minim (bahkan jarang atau tidak pernah) menyediakan waktu (khusus) dengan anak-anak. Setidaknya, hal itu dilakukan untuk menanyakan
kegiatan mereka apa saja disekolah atau di rumah. Seringkali, para orang tua beralasan bahwa mereka (bapak atau ibu) memiliki kesibukan yang menyita waktu cukup banyak, atau dengan kata lain mereka beralasan bahwa diri mereka sibuk. padahal jika dihitung, waktu-waktu yang telah berlalu, begitu banyak waktu yang tidak berkualitas atau terbuang hanya untuk bercanda dengan teman, kolega, atau lainnya. Jika diingat lagi, waktu-waktu tersebut sebenarnya dapat dialihkan untuk menyapa, bercengkrama, dan mendidik anak. Dengan kemajuan teknologi, para orang tua dapat memanfaatkan berbagai media komunikasi (seperti HP, komputer, dll) untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, sekalipun pada tempat yang berbeda. Sisihkanlah waktu istirahat Anda atau di sela-sela istirahat di tempat kerja untuk menyapa atau bertanya kepada anak, tentang perihal anak anada,
Komunikasi dengan anak penting, karena jika mereka punya masalah, akan disampaikan ke Anda dan masalah itu bisa cepat diselesaikan. Selain itu, jika dipikirkan secara matang, para orang tua melakukan aktivitas di luar rumah tersebut pada dasarnya untuk menyiapkan anak-anaknya agar mendapatkan kebahagian dan kesuksesan. Lantas, apakah ketika kini anak-anaknya diterlantarkan atau tidak mendapatkan kebahagian, dengan alasan para orang tuanya sibuk, masihkan para orang tua akan terus mengabaikannya? tentu jawabannya "tidak", bukan? oleh karena itu, luangkanlah waktu untuk anak-anak. Utamakan kualitas pertemuan, jika secara kuantitas sulit dicapai.
Komunikasi dengan anak penting, karena jika mereka punya masalah, akan disampaikan ke Anda dan masalah itu bisa cepat diselesaikan. Selain itu, jika dipikirkan secara matang, para orang tua melakukan aktivitas di luar rumah tersebut pada dasarnya untuk menyiapkan anak-anaknya agar mendapatkan kebahagian dan kesuksesan. Lantas, apakah ketika kini anak-anaknya diterlantarkan atau tidak mendapatkan kebahagian, dengan alasan para orang tuanya sibuk, masihkan para orang tua akan terus mengabaikannya? tentu jawabannya "tidak", bukan? oleh karena itu, luangkanlah waktu untuk anak-anak. Utamakan kualitas pertemuan, jika secara kuantitas sulit dicapai.
2. Tidak Terlatih Memberi Pujian
Ketika seorang anak berbuat kebaikan atau membuat prestasi, terkadang orang tua tidak sensitif dan jarang memberi penghargaan, baik berupa pujian atau yang lebih dari pujian. Misalnya, ketika di sekolah, anak diajarkan untuk 1) mengetuk pintu, 2) mengucapkan salam dan 3) mencium tangan ibu dan bapaknya ketika pulang sekolah, dan anak berusaha melakukannya; tidak sedikit orang tua yang kemudian menyebutnya "Tumben kamu melakukan hal tersebut". Respon yang diberikan kepada anak bukannya pujian, melainkan "sindiran". Hal tersebut dapat melemahkan motovasi anak untuk melakukan kebaikan-kebaikan lainnya.
Misal lain, seorang Bapak bermaksud memotovasi anaknya agar rajin berlajar dengan mengatakan, "JIka kamu dapat ranking di kelas, maka Bapak akan membelikan sepeda buat kamu."... Sang anak pun rajin belajar dan mendapatkan ranking 3 di kelasnya, maka ia pun menagih janji pada bapaknya. Bapaknya hanya berkata, "Kamu kan baru ranking 3, Bapak bilang begitu kan kalau kamu ranking 1". Hal ini pun akan melemahkan motivasi berlajar anak, serta mengajarkan hal yang tidak baik pada anak, yakni mengajarkan bagaimana ngeles dari janji.
3. Terlalu royal memberi hadiah
Ketika seorang anak berbuat kebaikan atau membuat prestasi, terkadang orang tua tidak sensitif dan jarang memberi penghargaan, baik berupa pujian atau yang lebih dari pujian. Misalnya, ketika di sekolah, anak diajarkan untuk 1) mengetuk pintu, 2) mengucapkan salam dan 3) mencium tangan ibu dan bapaknya ketika pulang sekolah, dan anak berusaha melakukannya; tidak sedikit orang tua yang kemudian menyebutnya "Tumben kamu melakukan hal tersebut". Respon yang diberikan kepada anak bukannya pujian, melainkan "sindiran". Hal tersebut dapat melemahkan motovasi anak untuk melakukan kebaikan-kebaikan lainnya.
Misal lain, seorang Bapak bermaksud memotovasi anaknya agar rajin berlajar dengan mengatakan, "JIka kamu dapat ranking di kelas, maka Bapak akan membelikan sepeda buat kamu."... Sang anak pun rajin belajar dan mendapatkan ranking 3 di kelasnya, maka ia pun menagih janji pada bapaknya. Bapaknya hanya berkata, "Kamu kan baru ranking 3, Bapak bilang begitu kan kalau kamu ranking 1". Hal ini pun akan melemahkan motivasi berlajar anak, serta mengajarkan hal yang tidak baik pada anak, yakni mengajarkan bagaimana ngeles dari janji.
3. Terlalu royal memberi hadiah
Sebaiknya Anda tidak terlalu
mudah memberikan anak hadiah apalagi jika tidak didukung prestasi yang baik di
sekolah. Janganlah sekali-kali (atau terlalu sering) memberikan hadiah, hanya untuk menghindari kenakalan anak. Misalnya, ketika anak rewel, sang ayah berkata, "Jangan rewel aja, nanti ayah akan belikan mobil-mobilan!". Nantinya anak akan berpura-pura (terbiasa) rewel untuk mendapatkan kompensasi dari orang tua. Mungkin anak berpikir bahwa "rewel (akan) identik dengan hadiah dari ayah/ibu".
Anda boleh-boleh saja memberi mereka hadiah, tentunya dengan memberi pengertian apabila prestasi di sekolah bagus, minimal nilai pelajaran mereka baik. Pemberian hadiah juga dapat diberikan ketika mereka secara konsisten dapat berprilaku yang baik, misalnya, "Kamu akan dibelikan komputer (tablet) jika kamu dapat istiqomah (konsisten) melakukan shalat dhuha selama satu bulan ini", ujar ayah.
Anda boleh-boleh saja memberi mereka hadiah, tentunya dengan memberi pengertian apabila prestasi di sekolah bagus, minimal nilai pelajaran mereka baik. Pemberian hadiah juga dapat diberikan ketika mereka secara konsisten dapat berprilaku yang baik, misalnya, "Kamu akan dibelikan komputer (tablet) jika kamu dapat istiqomah (konsisten) melakukan shalat dhuha selama satu bulan ini", ujar ayah.
4. Membandingkan-bandingkan
Banyak orang tua yang
membandingkan anak mereka dengan orang lain, baik itu saudara, teman atau teman
sekelas. "Kamu itu harus seperti Abangmu; dia itu selalu menjadi ranking 1 di kelasnya!" kata ayah pada anaknya (yang kegemarannya main musik, dan seperti melalaikan pelajaran-pelajarannya di sekolah). Kondisi itu akan membuat mereka semakin merasa tidak layak atau merasa tidak dihargai, serta tidak dapat menjadi "dirinya sendiri" sebagaimana diinginkan sang anak.
Para orang tua harus tahu bahwa setiap anak memiliki kemampuan berbeda, jadi lebih baik Anda memberi motivasi dan dukungan terhadap potensi yang ada padanya. Adalah wajar keinginan para orang tua bahwa anaknya harus berprestasi pada segala bidang, terutama terkait dengan kecerdasan intelektualnya, namun para orang tua juga harus sadar bahwa anak memiliki sejumlah keterbatasan dan hanya memiliki satu/dua kelebihan dibanding anak-anak lainnya [atau saudaranya]. Para orang tua selayaknya mampu menyadari sedari dini terkait kelebihan dan kelemahan dari anak-anaknya, agar anak tidak dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tuanya, pada sang anak tidak mampu atau mempunyai keinginan positif yang berbeda dengan orang tuanya.
Para orang tua harus tahu bahwa setiap anak memiliki kemampuan berbeda, jadi lebih baik Anda memberi motivasi dan dukungan terhadap potensi yang ada padanya. Adalah wajar keinginan para orang tua bahwa anaknya harus berprestasi pada segala bidang, terutama terkait dengan kecerdasan intelektualnya, namun para orang tua juga harus sadar bahwa anak memiliki sejumlah keterbatasan dan hanya memiliki satu/dua kelebihan dibanding anak-anak lainnya [atau saudaranya]. Para orang tua selayaknya mampu menyadari sedari dini terkait kelebihan dan kelemahan dari anak-anaknya, agar anak tidak dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tuanya, pada sang anak tidak mampu atau mempunyai keinginan positif yang berbeda dengan orang tuanya.
5. Terlalu dibebani
Anak juga butuh istirahat dan
dicharge. Ibarat badan yang butuh asupan gizi dan istirahat. Ibarat
baterai yang perlu dicharge ketika lowbattery. Berbagai kegiatan anak yang padat setelah sekolah seperti les, kursus, dan lainnya
sudah cukup membebani mereka. Jadi, berilah mereka waktu menyalurkan hobi,
apakah olahraga, mendengarkan musik atau bahkan tidur.
6. Terlalu menuntut
Ujian adalah saat-saat paling
tidak menyenangkan bahkan menjadi beban bagi anak-anak. Semakin terbebani
karena Anda menuntut nilai yang bagus, kondisi ini bisa membuat mereka semakin
stres. Seharusnya, yakinkan anak Anda dan motivasi mereka bahwa nilai jelek
bukan akhir dari semuanya, karena masih ada kesempatan lain.
Selayaknya,
para orang tua juga tidak memberi target dan beban yang terlalu tinggi
kepada anaknya, "Pokoknya ibu tidak mau tahu, kamu harus mampu mencapat
nilai 10 dalam ulangan-ulangan kamu. titik. Percuma dong ibu memberikan
les untuk kamu, kalo kamu tidak bisa itu!", ujar seorang ibu pada
anaknya. "hugh", anaknya menyela. Kasus lain, "Kamu harus jadi
juara kelas tahun ini, kalo tidak Bapak akan mengurangi les sepak bola",
ujar seorang ayah pada anaknya.
Sumber:
Sebagian dikutip dari Times of India,
Jumat (10/2/2012); http://id.she.yahoo.com/5-cara-salah-mendidik-anak-073540886.html;
diunduh tanggal 13 Pebruari 2012; jam 07.05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar