Mendiang K.H. Ahmad Wahid
Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy'ari dinilai sebagai
pembaharu sistem pendidikan di dunia pesantren. "Dulu, pesantren
digambarkan sebagai lembaga pendidikan tradisional tanpa pengelolaan
memadai," kata Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Dr.
Noor Achmad, di Semarang, Selasa (19/4/2011) dalam seminar 'Visi Pendidikan dan
Kebangsaan K.H. Abdul Wahid Hasyim' di Unwahas.
Lebih lanjut, Noor Achmad
menjelaskan, ia menjelaskan sistem pengajaran di pesantren ketika itu berjalan
tidak teratur. Tidak ada jadwal penyelenggaraan yang tetap, kata dia, santri
diperbolehkan setiap saat keluar masuk pesantren, ada yang mengaji seminggu,
dua minggu, satu bulan, ada pula yang lebih. "Usia santri yang belajar di
pesantren beragam, mulai tujuh tahun, 25 tahun, ada pula yang usianya 50-60
tahun dan pola belajar pesantren saat itu juga tidak sistematis," katanya.
Namun, kata dia, ayah
K.H. Abdurrahman Wahid itu memelopori pengajaran pesantren dengan model klasikal
tutorial dalam bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis dibanding
sebelumnya. "Pembelajaran di pesantren mulai diperkaya dengan diskusi dan
tanya jawab dan buku rujukan tidak hanya terpaku 'kitab kuning', melainkan
beragam literatur keilmuan kontemporer," katanya.
Awalnya, kata dia, K.H.
Hasyim Asy'ari tidak setuju dengan putranya itu, namun mengizinkannya
mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan kurikulum pelajaran umum sebesar 70
persen. Ia mengatakan Madrasah Nizhamiyah hanya berumur empat tahun dan ditutup
saat Wahid Hasyim mulai sibuk dan harus pindah ke Jakarta, namun pemikirannya
ternyata terus belanjut. "Pada 1950, beliau melakukan reorganisasi
Madrasah Tebuireng dengan pola yang kemudian menjadi standar pendidikan
madrasah secara nasional, mulai madrasah ibtidaiyah (MI) hingga madrasah aliyah
(MA)," kata Noor Achmad.
Direktur Dialoque Centre
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nur Kholis Setiawan
menjelaskan terobosan yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan kesadaran tantangan
zaman yang selalu berkembang. "Perubahan sosial dan peradaban merupakan
keniscayaan, Wahid Hasyim menginginkan para santri dibekali dengan kesiapan
wawasan dan pengetahuan untuk menghadapinya," kata Nur Kholis.
Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara