Sayyid Quthb dan Mohammad Arkoun berpandangan yang sama bahwa salah satu titik pusaran pendidikan Islam adalah pembangunan kesadaran dan pembebasan manusia dari berbagai belenggu yang menghambat kemajuan manusia untuk bertauhid, berkehidupan yang layak, memiliki kehidupan yang "bebas", dan berbahagia. Pendidikan Islam haruslah mampu menyentuh aspek kesadaran manusia, yakni 1) manusia menyadari bahwa dirinya memiliki kesadaran (karena ia bukan mesin atau hewan), 2) manusia memiliki sisi spiritualitas atau sisi ilahiyyah, yang memungkinkannya, jika dimaksimalkan, ia akan memiliki sifat-sifat Ilahiyyah, karenanya hadits nabi memberikan preferensi dengan "takhallaqu bi akhlaq Allah", 2) menyadari posisi dirinya dengan Allah, yakni sebagai 'Abd Allah, serta menyadari posisi tripartit (antara dirinya-Allah-alam semesta), yakni sebagai khalifat Allah, khalifat al-ard, dan Musta'mir al-Ard.
Selanjutnya, pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membebaskan manusia dari kebergantungannya terhadap selain Allah dan membebaskannya dari penindasan, perbudakan, kemiskinan, dan kebodohan. dari Keduanya menyatakan bahwa kebebasan merupakan "data" khas Islam, karena Islam adalah agama yang bertujuan untuk membebaskan manusia berbagai belenggu yang menghimpit manusia dan kemanusiaan. Jika hal ini disepakati maka pendidikan dalam Islam haruslah mampu menjadi sarana transformasi nilai-nilai yang mampu memberikan kesadaran mengenai "pembebasan" dalam koridor Ilahi dan mampu menghasilkan manusia-manusia pembebas.
Ali Abd al-Wahid Wafi dalam bukunya Al-Hurriyyah Fi al-Islam menyatakan bahwa Islam memberikan penekanan mengenai kebebasan yang menjadi hak asasi manusia di bawah koridor nilai-nilai Ilahiyah. Menurutnya, kebebesan tersebut terkait dengan empat hal, yaitu 1) Al-Hurriyyah al-Madaniyah (kebebasan berbudaya dan berperadaban); 2) Al-Hurriyyah al-Diniyyah (kebebasan beragama); 3) Al-Hurriyyah fi Tafkir wa Ta'bir (kebebasan berpikir dan berpendapat), dan 4) Al-Hurriyyah al-Siyasiyyah (kebebasan untuk berpolitik). to be continued