Pendahuluan
Sebagian besar orang tua atau guru menganggap kualitas anak didik
berhubungan langsung dengan proses dan hasil belajar formal di kelas. Oleh karena itu, banyak orang tua yang kemudian menumpukan "tanggung jawab" pendidikannya kepada lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti pesantren, madrasah, majelis ta'lim, sekolah, maupun Taman Kanak-Kanak (Raudhat al-Athfal). padahal pendidikan anak yang pertama dan utama justeru berada di lingkungan keluarga, yakni sejak di dalam kandungan hingga remajanya. Waktu kebersamaan antara anak bersama keluarga (dan masyarakat) justeru lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan untuk pendidikan formalnya. Oleh karena itu, kualitas anak tidak hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan formal, tetapi lebih banyak berada pada pundak orang tua.
Pandangan bahwa pendidikan formal bertanggung jawab langsung pada pembentukan kualitas anak adalah real dan terjadi di masyarakat. Pandangan serupa pula muncul di kalangan para pendidik. Kalangan ini, misalnya, bahwa kualitas siswa ditafsirkan agar anak-anak yang masuk sekolah dasar harus mempunyai kemampuan yang memadai. Penafsiran itu menyebabkan beberapa Sekolah Dasar menetapkan syarat bagi calon siswa kelas satu, yaitu harus menguasai baca, tulis dan hitung. Tuntutan persyaratan ini menciptakan pola pembelajaran di bawahnya. Misalnya banyak TK yang menekankan program belajarnya pada berkemampuan membaca, menulis dan berhitung sekolah dasar, dengan mengabaikan prinsip-prinsip pembelajaran di TK. Bahkan banyak TK yang melaksanakan les baca, tulis dan hitung untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dasar karena tuntutan tersebut, selain karena tuntutan orangtua yang ingin agar anaknya cepat pintar.
Pandangan bahwa pendidikan formal bertanggung jawab langsung pada pembentukan kualitas anak adalah real dan terjadi di masyarakat. Pandangan serupa pula muncul di kalangan para pendidik. Kalangan ini, misalnya, bahwa kualitas siswa ditafsirkan agar anak-anak yang masuk sekolah dasar harus mempunyai kemampuan yang memadai. Penafsiran itu menyebabkan beberapa Sekolah Dasar menetapkan syarat bagi calon siswa kelas satu, yaitu harus menguasai baca, tulis dan hitung. Tuntutan persyaratan ini menciptakan pola pembelajaran di bawahnya. Misalnya banyak TK yang menekankan program belajarnya pada berkemampuan membaca, menulis dan berhitung sekolah dasar, dengan mengabaikan prinsip-prinsip pembelajaran di TK. Bahkan banyak TK yang melaksanakan les baca, tulis dan hitung untuk mempersiapkan anak masuk sekolah dasar karena tuntutan tersebut, selain karena tuntutan orangtua yang ingin agar anaknya cepat pintar.
Keringnya pengetahuan orang tua tentang perkembangan anak,
menyebabkan ketika mendapatkan tawaran dari lembaga pendidikan TK yang
menyelenggarakan program calistung, mereka dengan cepat memasukkan anaknya ke
lembaga tersebut, meskipun harus mengeluarkan biaya mahal. Fenomena ini, secara
psikologis bertentangan dengan prinsip perkembangan anak dan kebutuhan anak,
yang akhirnya merugikan anak didik itu sendiri. Padahal prinsip pendidikan bagi
anak usia dini adalah belajar sambil bermain, kebermaknaan, berpusat pada anak
dan penyelenggaraan pendidikan tidak sekedar mempersiapkan anak mengikuti
pendidikan selanjutnya
Pembelajaran anak usia dini sesungguhnya harus menekankan pada
keterlibatan anak secara aktif, sehingga anak dapat memperoleh pengalaman
langsung dan terlatih untuk
menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Dengan diberikan
pengalaman langsung, anak akan memahami konsep yang dipelajari
dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahami.
Workshop ini dilaksanakan untuk menemukan strategi atau model
pembelajaran yang benar dan tepat diajarkan kepada anak-anak usia dini.
Workshop ini menjadi penting, karena diasumsikan masih banyaknya RA dan BA yang
belum menerapkan strategi atau model pembelajaran yang benar dan tepat bagi
anak didiknya. Hasil yang diharapkan dari kegiatan workshop tentang “Model
Pembelajaran Pada Raudatul Atfal dan Bustanul Atfal”. Workshop ini diikuti
sebanyak 70 orang terdiri dari 20 orang peserta dari pusat dan 50 orang peserta
daerah yang terdiri dari para guru yang mengajar pada RA dan BA yang ada di
wilayah Surakarta dan sekitarnya.
Pengembangan RA/BA
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003
Pasal 1 ayat (14) yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan usia dini diatur dalam pasal
28 bahwa pendidikan usia dini dapat dilakukan secara formal, nonformal dan/atau
informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),
Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur
pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak
(TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan informal
berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan.
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Pasal 9 ayat (1) menyatakan Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya. Selanjutnya pada pasal 48-54, ditegaskan
bahwa Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar, memberikan kesempatan
seluas-luasnya, yang diarahkan kepada pengembangan sikap dan kemampuan anak,
penghormatan hak asasi, pengembangan rasa hormat kepada orang tua, identitas
budaya, bahasa, dan nilai-nilai nasional.
Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini di
Indonesia sejauh ini menunjukkan gejala yang menggembirakan. Data (2007)
menunjukkan jumlah lembaga RA/BA di seluruh Indonesia cukup tinggi, yaitu
berjumlah 18.886 lembaga, dengan kapasitas daya tampung sebanyak 808.828 anak.
Menurut telaah strategis penyusunan Renstra 2010-2014, dalam empat tahun
terakhir, perkembangan RA/BA menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu setiap
tahun mengalami pertumbuhan sebanyak 7,10 %. Angka ini menunjukkan tingginya
partisipasi masyarakat dalam mengembangkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di
Indonesia.
Tingginya partisipasi masyarakat serta
cepatnya perkembangan lembaga RA/BA, ternyata belum diikuti dengan kualitas
pembelajaran (mutu) yang standard. Dalam persoalan mutu, ditengarai ada dua
titik lemah penyelenggaraan RA/BA, yaitu : Pertama, jumlah dan
kualifikasi guru RA. Dari sisi jumlah dan kualifikasi, perbandingan antara
jumlah peserta didik (808.828 anak) dengan jumlah guru PAI yang berkualitas
sangat tidak sebanding. Kedua, belum adanya instrumen standar
baku, baik yang menyangkut standar materi, sarana prasarana, model
pembelajaran, evaluasi, maupun instrumen lainnya, menyebabkan tidak sedikit RA
yang membuat kurikulum sesuai dengan kehendak dan kecenderungan masing-masing
lembaganya, sehingga mutu antara satu RA dengan RA lainnya bervariasi.
Kesimpulan
- Perlu pemetaan PAUD khususnya RA/BA dilakukan dalam kegiatan penelitian sehingga dapat dirumuskan program pengembangan PAUD (RA/BA).
- Muatan materi kurikulum yang dirasa terlalu baku sehingga dalam mengaplikasikannya kurang variatif dapat dirumuskan model pembelajaran RA/BA oleh Kementerian Agama.
- Kementerian Agama khususnya Pusdiklat dapat melakukan program peningkatan kemampuan profesionalisme guru dalam kegiatan diklat dan seterusnya.
Rekomendasi
1. Kondisi pembelajaran PAUD khususnya RA/BA beragam dan menggunakan
strategi dan metode pembelajaran beragam sehingga tingkat keberhasilannya
sangat bergantung pada kemempuan lembaga pendidikan masing-masing.
2. Kurikulum yang diterapkan di RA/BA beranekaragam namun cenderung
berbeda-beda dalam pendekatan dan metodologi pembelajaran disesuaikan dengan
kemampuan pendidik.
3. Pendidik pada RA/BA secara kualifikasi dan kompetensi belum
terstandar sehingga penyelenggaraan RA/BA saat ini banyak dilaksanakan secara
apa adanya dan belum terpola secara baik, baik kualifikasi dan kompetensi
pendidik.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar