Karya pesantren merupakan salah satu ciri dari kreativitas akademis-intelektual kalangan Muslim Nusantara. Tidak terhitung jumlahnya tentang karya-karya yang lahir dari pesantren sejak keberadaan lembaga pendidikan Islam ini di Nusantara hingga kini. Yang jelas, manuskrip-manuskrip dan buku-buku ajar yang masih digunakan di berbagai pesantren menjadi ciri bahwa geliat (re)produksi karya tulis kreatif merupakan salah satu ciri dari pesantren. Jika ada asumsi bahwa pesantren "nihil" sumbangan karya dalam konteks "pendidikan Nasional-Sekuler", maka jawabannya terletak pada eksistensi karya-karya tersebut di dunia pesantren sendiri. Persoalannya terletak pada keengganan pengakuan dan ketidakpedulian dari pendidikan mainstream (baca: sekolah) terhadap karya-karya tersebut. Di bawah ini adalah tulisan tentang salah satu karya dari K.H. Muhammad Makhsum bin Salim yang menulis Tasywiq al-Khillah, sebuah karya dalam bidang Nahwu, yang ditujukan sebagai referensi bagi pelajar-pelajar di Nusantara dan lainnya.
Tasywiqul Khillan, Satu Keunggulan Nahwu Ulama Nusantara
Jumat, 08/11/2013 13:08
KH Muhammad
Makshum bin Salim orang Indonesia yang menunjukkan keunggulan ulama
Nusantara. Ulama asal Semarang, Jawa Tengah ini menulis kitab Tasywiqul Khillan. Dalam kitab itu, pengalaman membaca dan keahliannya mengenai Nahwu (tata bahasa Arab) terlihat jelas.
Dalam kitabnya, sejumlah rujukan digunakan. Secara jelas ia menyebutkan rujukan utamanya seperti hasyiyah Abu Bakar Asy-Syanwani atas Syarah Al-Jurumiyah karya Syekh Kholid, Syarah Kafiyah Ibnul Hajib karya Syekh Ridho Istrobadzi, dan Mughnil Labib, Syudzurudz Dzahab, Qathrun Nada karya Jamaluddin Ibnu Hisyam Al-Anshori.
Tasywiqul Khillan merupakan catatan panjang (hasyiyah) atas Mukhtasshor Jiddan, syarah Al-Jurumiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan guru besar dan salah seorang Mufti Syafi’iyah abad 19 M di Mekkah.
KH Muhammad Makshum merasa perlu memberikan uraian panjang atas Mukhtasshor Jiddan. Karena, para santri di Indonesia mengharapkan uraian lebih lanjut karya singkat Sayyid Ahmad Zaini Dahlan itu. Kitab itu diselesaikan di Semarang.
KH Muhammad Makshum menyelesaikan kitabnya pada Jumadil Akhir 1303 H/1886 M. Meskipun begitu, karya yang berjumlah 222 halaman baru dicetak 54 tahun kemudian oleh penerbit Al-Maktabah Al-Ilmiyah pada Dzulqa‘dah 1358 H yang bertepatan dengan Januari 1940 M. Sebelum masuk cetak, Tasywiqul Khillan dibaca kembali oleh salah seorang guru besar Universitas Al-Azhar Ahmad Sa’ad Ali.
Sebagai ulama yang meneruskan tradisi ulama sebelumnya, ia memasukkan keberkahan di dalam karyanya. Misalnya ketika mengi‘rob ‘Bismillahirrahmanirrahim’, ia ingin menghindari pengulangan I‘rob yang sudah dijelaskan para ulama terdahulu.
“Uraian khusus mengenai bismllah sudah sering ditulis orang sehingga tidak perlu diulangi lagi di sini. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan sendiri menulis uraian itu. Tetapi saya akan menyebutkan sebagiannya saja hanya untuk mengambil berkah darinya,” tulis KH M Makshum di halaman 3 karyanya.
Sementara perihal perbedaan pendapat mengenai huruf jarr ‘Rubba’ di halaman 219 KH M Makshum mengatakan, “Ulama Nahwu membahas Rubba sebagai huruf jarr kecuali Syekh Kafrawi dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Tetapi kami juga akan membahasnya hanya untuk mengambil keberkahan.”
Perbedaan pendapat ahli Nahwu disikapi KH M Makshum secara bijaksana. Bahkan ia bukan menegangkan otot syaraf mendukung satu pendapat atau membuang pendapat yang lemah, tetapi justru mengambil keberkahan darinya. (Alhafiz K)
Dalam kitabnya, sejumlah rujukan digunakan. Secara jelas ia menyebutkan rujukan utamanya seperti hasyiyah Abu Bakar Asy-Syanwani atas Syarah Al-Jurumiyah karya Syekh Kholid, Syarah Kafiyah Ibnul Hajib karya Syekh Ridho Istrobadzi, dan Mughnil Labib, Syudzurudz Dzahab, Qathrun Nada karya Jamaluddin Ibnu Hisyam Al-Anshori.
Tasywiqul Khillan merupakan catatan panjang (hasyiyah) atas Mukhtasshor Jiddan, syarah Al-Jurumiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan guru besar dan salah seorang Mufti Syafi’iyah abad 19 M di Mekkah.
KH Muhammad Makshum merasa perlu memberikan uraian panjang atas Mukhtasshor Jiddan. Karena, para santri di Indonesia mengharapkan uraian lebih lanjut karya singkat Sayyid Ahmad Zaini Dahlan itu. Kitab itu diselesaikan di Semarang.
KH Muhammad Makshum menyelesaikan kitabnya pada Jumadil Akhir 1303 H/1886 M. Meskipun begitu, karya yang berjumlah 222 halaman baru dicetak 54 tahun kemudian oleh penerbit Al-Maktabah Al-Ilmiyah pada Dzulqa‘dah 1358 H yang bertepatan dengan Januari 1940 M. Sebelum masuk cetak, Tasywiqul Khillan dibaca kembali oleh salah seorang guru besar Universitas Al-Azhar Ahmad Sa’ad Ali.
Sebagai ulama yang meneruskan tradisi ulama sebelumnya, ia memasukkan keberkahan di dalam karyanya. Misalnya ketika mengi‘rob ‘Bismillahirrahmanirrahim’, ia ingin menghindari pengulangan I‘rob yang sudah dijelaskan para ulama terdahulu.
“Uraian khusus mengenai bismllah sudah sering ditulis orang sehingga tidak perlu diulangi lagi di sini. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan sendiri menulis uraian itu. Tetapi saya akan menyebutkan sebagiannya saja hanya untuk mengambil berkah darinya,” tulis KH M Makshum di halaman 3 karyanya.
Sementara perihal perbedaan pendapat mengenai huruf jarr ‘Rubba’ di halaman 219 KH M Makshum mengatakan, “Ulama Nahwu membahas Rubba sebagai huruf jarr kecuali Syekh Kafrawi dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Tetapi kami juga akan membahasnya hanya untuk mengambil keberkahan.”
Perbedaan pendapat ahli Nahwu disikapi KH M Makshum secara bijaksana. Bahkan ia bukan menegangkan otot syaraf mendukung satu pendapat atau membuang pendapat yang lemah, tetapi justru mengambil keberkahan darinya. (Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar