Oleh: Imam Suprayogo*
Sebuah
tugas yang saya rasakan cukup berat, yaitu berbicara tentang pesantren di
hadapan para Kyai. Menurut hemat saya, orang yang paling tahu tentang pesantren
adalah para Kyai sendiri. Para Kyai itulah yang mendirikan, memiliki, dan
mengembangkan pesantren. Sedangkan saya yang ditugasi berbicara tentang
pesantren, justru tidak pernah nyantri, apalagi menjadi kyai. Posisi saya
hanyalah sebagai orang yang sangat mencintai para Kyai dan pondok pesantren. Sekalipun saya tidak mengetahui banyak tentang pendidikan pesantren, tugas
berat ini harus saya tunaikan, karena diminta sendiri oleh Gus Lukman, pengasuh
pesantren Tremas. Saya telah mencoba menghindar dari tugas ini, yang semula
akan dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2009 dan kebetulan pada hari dan tanggal
itu, saya sudah terlebih dahulu menyanggupi untuk berceramah di hadapan sivitas
akademika Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) di Palangkaraya.
Ternyata,
akhirnya Gus Lukman memberi kabar bahwa pertemuan ditunda menjadi tanggal 17
Oktober 2009. Umpama pertemuan ini juga diubah lagi menjadi tanggal 23 Oktober
2009, saya mempunyai alasan lagi tidak hadir, karena pada hari itu akan
berbicara di hadapan para pimpinan, dosen, dan mahasiswa Institut Agama Hindu
Negeri (IHD) di Bali. Menunaikan tugas, berbicara tentang pendidikan
pondok pesantren di hadapan para Kyai saya rasakan memang berat. Sebab, saya
tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang itu. Andaikan
boleh memilih, saya sesungguhnya lebih suka mendengarkan “dawuh” para Kyai.
Tidak sebagaimana saat ini, justru berperan sebagai pembicara. Akan tetapi,
oleh karena sudah tidak kuasa lagi menolak, maka tugas itu saya tunaikan.
Semula
saya juga tidak akan menyusun makalah, karena sepengetahuan saya, kebanyakan
para Kyai jika pengajian juga tidak menulis makalah. Setahu saya, para Kyai
lebih menyukai berkomunikasi atau bicara dari hati ke hati, bukan dari makalah
ke makalah. Akan tetapi oleh karena Gus Lukman, melalui sms berkali-kali
mengingatkan, agar saya menyusun makalah, apalagi juga mengkabarkan bahwa Gus
Najih juga menulis, maka tugas itu tidak bisa saya elakkan lagi, makalah ini
saya susun sekalipun dalam bentuk seadanya. Tugas saya sehari-hari
mengurus kampus, ialah kampus universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. Tugas memimpin kampus itu saya tunaikan sejak lama, sudah berjalan
tidak kurang dari 13 tahun. Sekarang masih berlanjut, dan sampai kapan,
persisnya saya juga tidak tahu. Hanya menurut SK Presiden, tertulis amanah itu
hingga tahun 2013. Saya merasakan tugas memimpin kampus ini sudah sedemikian
lama, dan belum boleh diganti, termasuk oleh sementara para Kyai. Alasannya,
agar program-program yang saya rintis bersama teman-teman selama ini bisa
berkelanjutan.
Program
yang saya rintis sejak awal memimpin kampus ini, oleh sementara orang dan
bahkan juga oleh para Kyai, dianggap cukup sesuai dengan maksud didirikannya
pergurtuan tinggi Islam di Indonesia. Program yang saya maksudkan itu adalah
memformat kembali perguruan tinggi Islam, menjadi bentuk sintesa antara tradisi
universitas dengan tradisi pesantren. Sehingga, UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang menjadi pesantren universitas atau universitas pesantren.
Selanjutnya, mungkin atas dasar pertimbangan tersebut, maka Gus Lukman, Pengasuh Pesantren Tremas, menugasi saya agar berbicara tentang pesantren masa depan. Tentu saja saya tidak akan mengungkap dan juga mengajukan hal baru tentang pesantren. Saya hanya ingin menyampaikan tentang sedikit hal, bagaimana hasil bacaan saya selama ini terhadap pendidikan pesantren. Sudah barang tentu, hasil bacaan itu tidak akan jelas dan apalagi memadai, karena saya lakukan dari jauh. Saya yakin pengetahuan para Kyai tentang pesantren jauh lebih sempurna dari sekedar apa yang saya ketahui selama ini. Namun begitu saya tetap berharap, sekalipun dalam kadar yang amat kecil, bacaan saya ada gunanya. Paling tidak, untuk menyegarkan kembali ingatan tentang keberadaan pendidikan pesantren dan bagaimana kira-kira ke depannya agar tetap kuat atau kokoh di tengah-tengah perubahan masyarakat yang semakin cepat ini.
Selanjutnya, mungkin atas dasar pertimbangan tersebut, maka Gus Lukman, Pengasuh Pesantren Tremas, menugasi saya agar berbicara tentang pesantren masa depan. Tentu saja saya tidak akan mengungkap dan juga mengajukan hal baru tentang pesantren. Saya hanya ingin menyampaikan tentang sedikit hal, bagaimana hasil bacaan saya selama ini terhadap pendidikan pesantren. Sudah barang tentu, hasil bacaan itu tidak akan jelas dan apalagi memadai, karena saya lakukan dari jauh. Saya yakin pengetahuan para Kyai tentang pesantren jauh lebih sempurna dari sekedar apa yang saya ketahui selama ini. Namun begitu saya tetap berharap, sekalipun dalam kadar yang amat kecil, bacaan saya ada gunanya. Paling tidak, untuk menyegarkan kembali ingatan tentang keberadaan pendidikan pesantren dan bagaimana kira-kira ke depannya agar tetap kuat atau kokoh di tengah-tengah perubahan masyarakat yang semakin cepat ini.
Kyai dan Pendidikan Pondok Pesantren
Siapapun
pada setiap menyebut Kyai, maka yang tergambar adalah pendidikan pondok
pesantren. Hal itu sesungguhnya juga tidak salah, karena biasanya pendidikan
yang didirikan dan dikelola oleh para Kyai adalah jenis pendidikan pesantren.
Namun, sejak beberapa tahun terakhir, terdapat fenomena baru. Pendidikan
pesantren sudah semakin disempurnakan dengan pendidikan formal, seperti
madrasah dan bahkan juga sekolah umum. Lebih dari itu, tidak sedikit pesantren
membuka jenjang pendidikan tinggi, baik pendidikan tinggi agama maupun
pendidikan tinggi umum.
Ada
hal yang cukup menarik dari pendidikan pesantren, bahwa para kyai dalam
mengembangkan lembaga pendidikan, ternyata tidak pernah menghilangkan bentuk
aslinya, yakni model pesantren. Sekalipun kyai telah membuka sekolah formal,
seperti madrasah, sekolah umum dan bahkan perguruan tinggi umum -----dengan
membuka fakultas ekonomi, psikologi, teknik dan lain-lain, system pesantrennya
masih dipelihara. Tidak pernah ditemukan, fenomena kyai mengubah pesantrennya
menjadi madrasah atau sekolah umum. Madrasah dan atau sekolah umum didirikan di
pesantren, dimaksudkan untuk menyempurnakan lembaga pendidikan yang telah ada
sebelumnya. Para kyai dalam mengembangkan lembaga pendidikan, bukan mengubah
dan apalagi mengganti, melainkan menyempurnakan. Sistem pesantren disempurnakan
dengan sekolah umum.
Mendiskripsikan
lembaga pendidikan yang dikelola oleh Kyai, ternyata tidak mudah, karena
variasinya terlalu banyak. Pesantren, sangat variatif, baik terkait dengan
system yang digunakan, kitab yang dijadikan pegangan, orientasi keilmuan, dan
tidak terkecuali pandangan masing-masing kyai yang otonom. Masing-masing Kyai
sebagai pengasuh pesantren memiliki cara sendiri-sendiri dalam mengembangkan
lembaga pendidikan. Mereka tidak memiliki pola dan apalagi standart sebagaimana
kebijakan pengembangan pendidikan nasional, kecuali lembaga pendidikan
formalnya.
Bagi
orang yang tidak paham tentang pesantren, seringkali menganggap bahwa lembaga
pendidikan pesantren dianggap masih statis, sederhana, dan tidak selalu mau
mengikuti perkembangan zaman. Anggapan seperti itu sesungguhnya tidak
menggambarkan apa yang ada. Seperti disebut di depan, lembaga pendidikan yang
dikelola oleh Kyai sangat variatif di antara satu dengan lainnya. Ada lembaga
pendidikan pesantren yang keadaannya statis, tidak berkembang dari tahun ke
tahun. Tetapi sebaliknya, terdapat pesantren yang sangat dinamis dan tampak
modern.
Sebagai
contoh, kita lihat misalnya pendidikan pesantren Tebu Ireng Jombang, apalagi
setelah dipimpin oleh KH Sholehudin Wahid mengalami kemajuan yang luar biasa.
Contoh lain pendidikan di pesantren al Amin Prenduan, Pondok Pesantren Gontor
Ponorogo. Fasilitas pendidikan beberapa pesantren tersebut cukup bagus.
Penampilan para ustadz dan santrinya tampak modern. Mereka sehari-hari masuk
kelas dengan mengenakan pakaian seragam, berdasi, lengkap dengan kopyah dan
sepatunya. Para santri walaupun baru pada tingkat sekolah menengah, dalam
pergaulan sehari-hari, baik di kelas maupun di luar kelas mereka menggunakan
Bahasa Arab dan juga Bahasa Inggris.
Kemajuan
beberapa pesantren tersebut bisa dibandingkan dengan sekolah umum, dan bahkan
juga mahasiswa di perguruan tinggi sekalipun. Dengan demikian, pendidikan di
pesantren, ------sekalipun tidak semuanya, misalnya di pesantren al Amin
Prenduan, Tebu Ireng Jombang dan juga Pesantren Gontor Ponorogo, dan juga di
beberapa pesantren lainnya, justru lebih unggul dari sekolah umum biasa yang setaraf.
Hanya selama ini, pesantren yang berkualitas itu belum dikenal secara luas.
Selain
itu, dari sementara kalangan Kyai tidak jarang lahir pikiran-pikiran cerdas
tentang pendidikan. Kadang pikiran itu cukup modern dan sangat relevan dengan
tuntutan masyarakatnya. Banyak kitab-kitab yang ditulis oleh kyai, dan bahkan
juga dijadikan bahan kajian di beberapa Negara Islam. Juga kadangkala,
sekalipun menyampaikannya secara samar dengan bahasa simbolik, Kyai melontarkan
kritik terhadap pendidikan modern yang dikembangkan oleh pemerintah sekalipun.
Kyai mengkritik pendidikan formal, yang hanya mengedepankan aspek kognitif, dan
melupakan aspek psikomotor, dan afektif. Sehingga dengan kelemahan itu, maka
lulusan pendidikan modern hanya pintar membaca buku teks dan berwacana, tetapi
dalam praktek sangat lemah.
Sindiran para Kyai terhadap sekolah umum, dikatakan misalnya banyak lulusan fakultas ekonomi tidak bisa mengembangkan ekonominya sendiri, lulusan fakultas peternakan, tidak mampu mengembangkan peternakan, lulusan sekolah pertanian masih gagal membangun kepercayaan diri bahwa dengan mengembangkan pertanian bisa survive dalam hidup dan seterusnya. Apalagi, lulusan sekolah menengah atas, sekalipun sudah lulus Ujian Nasional, ternyata hanya mampu menjadi pekerja kasar, tidak terkecuali, ada yang hanya sebagai TKI atau TKW di luar negeri.
Sindiran para Kyai terhadap sekolah umum, dikatakan misalnya banyak lulusan fakultas ekonomi tidak bisa mengembangkan ekonominya sendiri, lulusan fakultas peternakan, tidak mampu mengembangkan peternakan, lulusan sekolah pertanian masih gagal membangun kepercayaan diri bahwa dengan mengembangkan pertanian bisa survive dalam hidup dan seterusnya. Apalagi, lulusan sekolah menengah atas, sekalipun sudah lulus Ujian Nasional, ternyata hanya mampu menjadi pekerja kasar, tidak terkecuali, ada yang hanya sebagai TKI atau TKW di luar negeri.
Saya
juga pernah mendapatkan pandangan Kyai yang saya anggap sangat menarik, apalagi
jika dilihat dari perspektif kebutuhan masyarakat saat ini dan juga tuntutan
masa depan. Pernah saya menanyakan kebijakan kyai membuka sekolah umum, yakni
SMP dan SMU dan bukan madrasah di pesantren. Secara spontan Kyai menjelaskan,
bahwa dengan kebijakan itu, ia bermaksud agar para alumni pesantren berpeluang
mengisi jabatan-jabatan penting di tingkat desa. Kyai berargumen bahwa
keberadaan pesantren terkait dengan tujuan berdakwah. Ia berpandangan bahwa
jabatan kepala desa dianggap sangat efektif untuk sarana dakwah. Kyai tersebut
membayangkan, jika kepala desa adalah alumni pesantren, maka pejabat pemerintah
berscala kecil itu akan memimpin desanya dengan pendekatan agama.
Sebagai
alumni pesantren, kepala desa tidak saja mampu menjalankan pemerintahan dari
kantor desa, tetapi sekaligus juga mampu memimpin masyarakat melalui masjid.
Kyai tidak memilih bentuk pendidikan madrasah -----MI, M.Ts, MA, agar mata
pelajaran yang diberikan tidak tumpang tindih dengan mata pelajaran pesantren.
Tatkala berbicara tentang peran-peran kepala desa, Kyai membayangkan kehidupan
Rasulullah dalam membangun umat. Rasulullah, menurut Kyai, selain sebagai
pemimpin spiritual juga sekaligus melakukan peran-peran kepemimpinan kehidupan
secara menyeluruh, baik dari aspek kehidupan ekonomi, politik, hukum pendidikan
dan kemasyarakatan lainnya.
Dengan
kebijakannya itu, yakni Kyai membuka sekolah umum di pesantren, berharap para
santri berhasil mendalami ilmu yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits serta
kitab-kitab lainnya, tetapi sekaligus dengan pendidikan dan ijazah SMP dan SMU
yang juga diperoleh dari pesantren, para alumninya memenuhi syarat untuk
mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintah di tingkat desa. Kyai melihat
jabatan kepala desa sebagai wilayah kekuasaan yang sangat strategis untuk
membina umat dan masyarakat secara langsung. Kyai berpandangan bahwa pengaruh
Camat, Bupati, Gubernur dan bahkan setingkat Menteri pun bisa dikalahkan oleh
pengaruh Kepala Desa. Pejabat tingkat kecamatan hingga pemerintah pusat tidak
mudah masuk ke relung-relung kehidupan masyarakat, kecuali melalui kepala desa.
Oleh sebab itu, terkait dengan kepentingan dahwah, posisi perangkat desa,
menurut Kyai jauh lebih strategis, dan untungnya dengan jabatan itu
--------karena dianggap tidak terlalu menguntungkan secara ekonomis, tidak
terlalu banyak diperebutkan orang, sehingga tidak terlalu sulit para alumni
pesantren memasuki wilayah ini, jika mereka memiliki ijazah sekolah umum.
Saya
juga pernah mendapatkan pandangan Kyai yang strategis lainnya. Kyai di
pesantrennya, selain memberikan pelajaran Bahasa Arab, juga pelajaran Bahasa
Inggris dan Bahasa Mandarin. Kebijakan tersebut diambil atas dasar pertimbangan
bahwa, dunia ini semakin mengglobal, karena itu para santri harus dibekali
dengan bahasa global pula, yaitu bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Kyai juga
melihat pengaruh ekonomi Cina ke depan yang tampak semakin luas dan tidak akan
mungkin bisa dibendung. Oleh sebab itu, menurut pandangan kyai, gejala
globlalisasi tidak boleh dilawan dan apalagi dihindari. Tantangan itu harus
direspon secara tepat. Para santri dibekali kemampuan berkomunikasi dengan
bahasa asing itu. Jika tidak demikian, maka dikhawatirkan lulusan pesantren
hanya akan tepat dijadikan sebagai petugas security atau satpam. Islam menurut
pandangan sementara Kyai adalah konsep kehidupan yang selalu relevan dengan
tuntutan zamannya.
Hanya
saja pada kenyataannya, kondisi pesantren sangat tergantung pada kekuatan
financial kyai yang bersangkutan. Jika kebetulan kyai memiliki sumber-sumber
ekonomi yang cukup, maka lembaga pendidikannya tampak maju dan modern. Di
Malang Selatan misalnya, terdapat pesantren yang dikelola oleh KH Zamahsari,
bangunan dan fasilitas pendidikan lainnya tampak modern. Seluruh santri
ditampung menginap di pesantrennya. Para santri melalui lembaga pendidikan umum
-----SMP dan SMU, yang ada di lokasi pesantren, diajari Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, dan juga Bahasa Mandarin. Program pendidikan seperti itu itu berhasil
dijalankan, karena pesantren tersebut, melalui kemampuan Kyai sebagai
pengasuhnya, mampu dan berhasil menggali sumber-sumber pendanaan yang
dibutuhkan.
Tetapi
sebaliknya, terdapat banyak pesantren yang berjalan seadanya, karena
keterbatasan dana. Saya melihat pada tataran konseptual, sesungguhnya Kyai
memiliki wawasan pendidikan, yang kadang jauh lebih sempurna, bilamana
dibandingkan dengan konsep-konsep yang dikembangkan di sekolah umum dan bahkan
oleh perguruan tinggi sekalipun. Tanpa secara formal Kyai mempelajarai ilmu
psikologi, sosiologi, antropologi pendidikan dan lain-lain, tampak dalam
tataran kehidupan sehari-hari mereka memahami ilmu itu. Setidaknya para Kyai
memiliki wawasan tentang disiplin ilmu social itu. Atas dasar wawasan itu,
pesantren yang dikelola oleh Kyai tidak pernah mengedepankan aspek formalitas
pendidikan. Kyai tidak membuka pendidikan yang hanya untuk mengeluarkan selembar
ijazah, sebagaimana dijalankan oleh perguruan tinggi, dengan perkuliahan hari
Sabtu dan Minggu, yang dijalankan beberapa waktu, kemudian dikeluarkanlah
ijazahnya. Jika ada pesantren yang melakukan seperti itu, mereka sesungguhnya
karena berhasil terpropokasi oleh pengelola perguruan tinggi umum, sehingga
menjadi ikut-ikutan seperti itu. Dan kalaupun tokh demikian, biasanya masih
terbatas untuk penyelenggaraan pendidikan yang bersifat pengembangan, yakni
program pendidikan formalnya.
Menatap Masa Depan
Jika
membandingkan pesantren dengan sekolah umum pada saat sekarang ini, maka,
lembaga pendidikan yang dikelola para kyai ini justru memiliki berbagai
kelebihan yang justru terkait dengan esensi pendidikan itu sendiri. Kelebihan
pendidikan pesantren, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. (1)
Pesantren memiliki kemandirian dan otonomi secara penuh, (2) Memiliki semangat
juang dan berkorban yang tinggi dari semua yang terlibat di dalamnya.
Komersialisasi pendidikan yang berujung terjadi runtuhnya nilai-nilai
pendidikan tidak terjadi di lingkungan pesantren. Pesantren dibangun dan
dikelola atas dasar keikhlasan dan diniatkan sebagai ibadah, (3) Pendidikan
pesantren dijalankan secara lebih komprehensif atau utuh, meliputi pendidikan
akhlak, spiritual, ilmu pengetahuan, dan juga ketrampilan; (4) Pendidikan di
pesantren dijalankan tidak saja sebatas mentrasfer ilmu pengetahuan, apalagi
hanya sebatas informasi, lebih dari itu adalah menstranfer kepribadian. Para
Kyai secara langsung memberikan tauladan dan juga membiasakan hal-hal yang
baik, sehingga ditiru oleh para santrinya; (5) Pendidikan pesantren tidak
mengejar simbul-simbul, seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk
membangun watak atau akhlak yang mulia, (6) dan lain-lain. Di balik kelebihan-kelebihannya
itu, pesantren di sana sini masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan
untuk diselesaikan. Beberapa pekerjaan rumah itu misalnya, bahwa masyarakat
semakin menghendaki agar bisa bekerja secara efektif dan efisien. Keinginan itu
memerlukan cara baru untuk memenuhinya. Dulu misalnya orang sabar belajar
Bahasa Arab berlama-lama di pesantren. Berbeda dengan itu, pada saat ini
ditemukan metode belajar lebih singkat tetapi hasilnya lebih baik. Juga
menghafal al Qurán, dulu memerlukan waktu lama. Akhir-akhir ini mulai ditemukan
metode menghafal al Qurán dengan waktu yang lebih pendek.
Tantangan
lainnya di zaman yang semakin mengglobal ini, komunikasi semakin tidak
terbatas. Informasi bisa tersebar dan dapat diperoleh secara cepat. Pengaruhnya
hal itu luar biasa terhadap semua kehidupan, termasuk terhadap kehidupan
pesantren. Atas dasar komunikasi dan informasi orang akan memilih apa saja yang
memberikan layanan lebih cepat, lebih berkualitas, dan lebih menguntungkan.
Selain itu, ternyata sementara alumni pesantren, -------menenuhi kebutuhan
hidup, tidak terlalu memiliki pilihan lapangan kerja. Saya pernah mendapatkan
beberapa keluhan, adanya alumni pesantren mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja
rumah tangga di keluarga non muslim (Cina). Mau tidak mau sehari-hari, mereka
harus menyesuaikan diri dengan kehidupan majikannya. Ustadz tadi mengeluh,
karena merasa bahwa apa yang diberikan di pesantren ternyata tidak terlalu
berbekas, hanya tersandung oleh pekerjaan yang didapatkan oleh santrinya itu.
Hal seperti ini, kiranya memerlukan antisipasi yang tepat.
Selain
itu, problem pendidikan pesantren, tatkala harus menyesuaikan dengan tuntutan
modern adalah terkait dengan pendanaan. Pesantren selalu dikelola secara
mandiri, dan bahkan pendanaannya bersumber dari sumbangan masyarakat, yang
besarnya tidak menentu dan bahkan kadang juga berasal dari pribadi Kyainya.
Beban itu, kadangkala dirasakan semakin berat, tatkala Kyai harus menampung
para santri ekonomi lemah dan bahkan juga anak yatim. Kepada santri seperti
itu, Kyai bukan saja tidak mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari santri,
bahkan sebaliknya. Pesantren harus memenuhi kebutuhan hidup santri yang
demikian banyak sehari-hari. Saya pernah melihat misalnya, Pesantren An Nur
Bululawang, Malang. Pesantren ini menampung anak-anak orang miskin dan anak
yatim. Semua santri itu, oleh Kyai digratiskan dan bahkan juga dipenuhi
kebutuhan hidup mereka, ------ makan sehari-hari dan juga pakaiannya.
Akhir-akhir
ini pendidikan pesantren semakin diminati. Banyak orang menyebut pendidikan
pesantren memiliki kelebihan tertentu. Pendekatan pendidikan yang tidak
mengedepankan peraturan, dan sebaliknya lebih memberi warna culturalnya,
-----dalam hal-hal tertentu, justru menunjukkan hasilnya yang lebih baik. Kelebihan
pendidikan pesantren terutama dalam pengembangan kharakter, perilaku, atau
akhlaknya. Sedangkan aspek yang selama ini masih dianggap kurang, hanyalah
terkait dengan pendidikan sains dan teknologi. Jika kelemahan itu bisa
dilengkapi, insya Allah pesantren berhasil menampakkan diri sebagai lembaga
pendidikan yang lebih sempurna.
Atas
dasar kelebihan pendidikan pesantren seperti itu, semestinya pemerintah segera
memberikan apresiasi yang cukup. Perhatian pada pesantren tidak hanya pada
momen tertentu, semisal tatkala menghadapi pemilu, tetapi juga setiap saat
pesantren membutuhkannya. Kyai sesungguhnya tidak berharap banyak bantuan dari
manapun, karena bagi Kyai, menyelenggarakan pendidikan dipandang sebagai
ibadah, dalam rangka memenuhi tuntutan agamanya. Sekalipun tidak disiapkan dana
oleh pemerintah, Kyai tetap menyelenggarakan pendidikan dengan penuh kesabaran,
ikhlas, amanah, dan istiqomah. Hal penting yang diharapkan oleh sementara
pesantren, adalah pengakuan dan tidak dipertsulit tatkala mau mengembangkan
diri. Pesantren ingin mempertahankan kemandiriannya dan tidak berharap bantuan
dan balasan dari siapapun, kecuali hanya ingin mendapatkan ridho dari Allah
swt. Wallahu a‘lam.
*) Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan ceramah pada pertemuan para Kyai di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan.
*) Tulisan ini dipersiapkan untuk bahan ceramah pada pertemuan para Kyai di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan.
Sumber:
- http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1184:kemandirian-pondok-pesantren-dan-tantangannya-di-masa-depan&catid=25:artikel-rektor&Itemid=168; JUMAT, 16 OKTOBER 2009 16:43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar