Begitu bom meledak di Bali Oktober 2005, yang disusul dengan munculnya video rekaman para aksi bom bunuh diri yang
mengaku sengaja melakukannya atas nama 'jihad'. Tiba-tiba saja dunia pesantren
menjadi tersandera. Aneka wacana bermunculan dalam kaitan pengawasan pesantren.
Dan gongnya, adalah perlunya pengambilan sidik jari bagi semua siswa pesantren.
''Kalau saya kasih komentar, ini artinya ada ketidakadilan publik terhadap
pesantren. Kenapa misalnya, para alumni Universitas Indonesia (UI) yang menjadi
koruptor, sebut misalnya, Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin, ditahan karena
dianggap korupsi, tapi kok UI tidak dikatakan sebagai sarang koruptor,'' ujar
Ketua Majlis Pimpinan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), KH
Kholil Ridwan. Padahal, kata dia, pesantren termasuk ikut melahirkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan berperan besar terhadap kehiduban bangsa
Indonesia.
Namun, ia tidak menganggap serius
upaya-upaya memojokkan pesantren seperti itu.''Yang terpenting, bagaimana para
pimpinan dan pengasuh pesantren bisa menjelaskan kepada para wali santri bahwa
semua wacana itu adalah fitnah dan tidak benar. Ini strategi musuh-musuh Islam
yang sedang mengobok-obok pondok pesantren,'' ujarnya. Kepada Damanhuri Zuhri
dari Republika, ia menguraikan peran sosial pesantren dalam kaitan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berikut ini wawancara dengan salah seorang Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Pimpinan Pondok Pesantren Al Husnayain,
Pasar Rebo, Jakarta Timur, ini.
Kabarnya ada rencana pengawasan terhadap pesantren, termasuk
perubahan kurikulumnya. Betulkah demikian?
Ada klarifikasi dari Menteri Agama
bahwa dia tidak mau mencampuri kurikulum Pondok pesantren (Ponpes). Kapolri
juga sudah membuat pernyataan tidak akan ada sidik jari terhadap santri-santri,
Wapres Jusuf Kalla juga sudah. Atau memang sudah begitu pakem menjadi pejabat;
(setelah terjadi pro-kontra) kemudian mengatakan tidak, bukan begitu maksudnya,
dan sebagainya. Tapi, memang harus ada gerakan umat Islam khususnya para tokoh
dan pengasuh pondok pesantren untuk menentang hal itu. Apakah itu hanya
coba-coba, apalagi jika sungguhan. Saya banyak sekali menerima SMS supaya
menolak secara tegas rencana Polri untuk melakukan sidik jari terhadap santri
ponpes.
Terkait terorisme, ada stigmatisasi terhadap pesantren. Bagaimana
Anda memandang hal ini?
Saya kira kalau pesantren itu yang
mengajarkan terorisme, aksi-aksi teror sudah ada sejak dulu. Sebelum Indonesia
merdeka sudah ada pesantren. Pendidikan di pesantren sudah dilakukan
berpuluh-puluh tahun sebelum ada tragedi WTC, disusul bom Bali I, lalu bom Bali
II. Kenapa pada saat ada alumni pesantren yang cuma segelintir orang menjadi
terdakwanya, lantas pesantrennya yang dicurigai.
Bagimana kiprah pesantren sebetulnya?
Justru Ponpes itu ikut melahirkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibayar dengan darah dan nyawa.
Lihat saja peristiwa 10 Nopember, yang dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Bung
Tomo (pejuang Surabaya yang menjadi tokoh peristiwa itu) menggunakan
jargon-jargon ponpes, antara lain dengan pekik takbir di RRI, para santri dan
pemuda alumni ponpes bergerak semua untuk berjihad melawan tentara sekutu yang
begitu kuat sampai Jenderal Malaby tewas dalam pertempuran itu. Sebelum itu
kita mengenal tokoh-tokoh Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak
Dien, dan lainnya, semuanya mereka mengorbankan ruhul jihad
(semangat jihad, red) yang itu sebetulnya ajaran Islam. Dan, ruhul jihad itu
yang menjadikan ponpes berjuang untuk mengusir penjajah sehingga bangsa
Indonesia merdeka.
Kalau begitu, sangat ironis jika kemudian Ponpes dianggap malah
mau menghancurkan negara dengan aksi terornya?
Ya, sangat naif. Dan itu menyakiti hati
umat Islam. Berarti pemerintah atau penguasa akan buka front, bukan
menyelesaikan masalah. Kalau ponpes dituduh, justru akan menimbulkan masalah
baru. Yang dituduh itu bukan lembaganya, harusnya oknumnya; kebetulan dia
alumni Ponpes. Kalau Ponpesnya, pemerintah seharusnya berterimakasih kepada
ponpes. Kalau seandainya ponpes ditutup, diperlakukan semena-mena, kalau
misalnya hitung-hitungannya sampai kemudian ponpes ditutup semua, pemerintah
mau membangun sekolah sebanyak 17 ribu sebagai gantinya ponpes, dari mana
dananya?
Bagaimana antisipasinya agar masyarakat tidak fobia terhadap
pesantren?
Saat ini ada usaha untuk meluruskan
makna jihad. Sekarang sedang dibuat konsep jihad yang seutuhnya oleh Tim
Penanggulangan Terorisme (TPT). Tim itu nanti ditugaskan untuk meneliti
beberapa ponpes yang dicurigai. Ini akan dijadikan bahan oleh aparat pemerintah
dan juga dijadikan bahan oleh pimpinan ponpes bahwa jihad yang benar itu
seperti apa, dan bahwa bom bunuh diri itu bukan jihad. Saya kira memang harus
ditangani secara mendasar. Kalau saya mengambil hikmahnya, bahwa dengan adanya
kasus bom bunuh diri, kemudian adanya rencana over acting mau mengambil
sidik jari segala, maka masyarakat akan penasaran dan terdorong untuk mencari
definisi jihad yang benar.
Gara-gara informasi seperti ini banyak orang jadi ketakutan
memasukkan anaknya ke ponpes, Anda mendengarnya?
Ya, ini sisi negatifnya yang harus kita
luruskan. Hikmahnya, orang jadi mau mempelajari makna jihad, kemudian ponpes
akan mengajarkan santrinya bahwa jihad yang benar itu kaya apa. Dan nanti
Ponpes jadi lebih hati-hati dalam sepak terjangnya di masa yang akan datang dan
masyarakat akan mengerti bahwa pesantren itu bukan sarang teroris. Kalau pun
ada satu-dua ponpes yang menyalahgunakan, masyarakat akan tahu. Jadi, kalau
masyarakat takut memasukkan anaknya di ponpes tertentu yang memang dicurigai
karena hal itu, ndak apa-apa, logis saja sebagai konsekuensi satu gerakan.
Ada informasi terakhir, untuk ngajar di Ponpes di Jawa Barat,
harus mendapat izin pihak kepolisian, bagaimana ini?
Inilah salah satu sikap tindakan di
bawah, bukan Kapolrinya. Di bawah ini ada yang over acting. Jadi,
instuksi dari atas hijau muda, di bawah menjadi hijau tua. Kalau misalnya
pengawasan bukan hanya pesantren tapi semuanya. Tapi, kalau belum apa-apa sudah
diomongin ponpes mau diawasi, santrinya disidik jari, jadi bukan kerjaan intel.
Kalau intel hanya mengawasi tapi punya target lain. Ada yang mengatakan ada grand
design, bisa saja dari luar secara tidak sadar, kita terbawa oleh irama
desain itu. Apakah kita dalam artian pemerintah, aparat, atau memang ada oknum
di aparat yang memancing di air keruh. Ada yang sambil menyelam minum air.
Sebenarnya, seberapa besar peran pesantren terhadap kehidupan
bangsa ini?
Ingat, republik ini berhutang kepada
ponpes. Lihat saja, anak didik alumni ponpes tidak pernah tawuran, pergaulan
bebas, hidup sederhana, tahan banting. Kalau pun dia menjadi aparat, pegawai
negeri, lebih dekat kepada kejujuran, walapun ada beberapa oknum yang akhirnya
ikut arus juga. Tapi, Ponpes itu fungsinya untuk pembangunan bangsa dan negara
serta pembangunan generasi yang akan datang itu sangat besar.
Anda mengambil banyak pelajaran dari gonjang-ganjing pesantren
belakangan ini?
Ya. Saya menghimbau, para pimpinan dan
pengasuh ponpes atau masyarakat pesantren, perlu waspada. Tapi, jangan sampai
isu terorisme ini belum apa-apa pak kiainya sendiri yang ketakutan. Perlu juga
memberikan penjelasan-penjelasan kepada wali-wali santri ini adalah fitnah,
tidak benar, ini strategi musuh-musuh Islam yang sedang meng-obok-obok Ponpes.
Untuk pihak keamanan mohon untuk tidak over acting. Kalau memang ada satu dua
ponpes yang mau diselidiki, lakukanlah, tapi jangan membuat orang jadi alergi
terhadap pesantren. Dari dulu Ponpes kan banyak yang diawasi dan hasilnya tidak
pernah diumumkan. Apalagi sekarang ada Tim Penanggulangan Terorisme. Apabila
menginginkan sesuatu tentang Ppnpes, bisa koordinasi dengan tim ini, tidak
langsung masuk ke ponpes.
REPUBLIKA - Jumat, 23 Desember 2005;
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/08/12/18/21392-kh-kholil-ridwan-ada-ketidakadilan-terhadap-pesantren-; Kamis, 18 Desember 2008 23:08 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar