Gagasan pembaharuan (reformasi) dan modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar dari gagasan tentang reformasi dan modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Kerangka dasarnya adalah kebangkitan kaum muslim di masa yang akan datang harus berangkat dari pembaharuan pemikiran dan lembaga Islam, terutama pendidikan.[1] Modernisasi, yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan istilah development (pembangunan), merupakan proses multi-dimensional yang kompleks; dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi. [2]
Perlu diakui bahwa pembaharuan atau modernisasi sistem pendidikan di Indonesia tidaklah murni bersumber dari kalangan kaum Muslim Indonesia sendiri. Karel Steenbrink, menyebutkan beberapa faktor bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20,[3] yaitu:
- Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran kembali pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Pemikiran kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah telah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama.
- Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda.
- Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.
- Ketidakpuasan terhadap hasil pendidikan tradisional dalam mempelajari al-Qur’an dan ilmua agama Islam, yang berakumulasi pada pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Pada tingkat lokal Indonesia, sistem pendidikan modern, pertama kali, diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada gilirannya, sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda ini mempengaruhi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini berlangsung ketika pada paruh pertama abad ke-20, ketika kaum pribumi, termasuk kalangan pesantren, memperoleh kesempatan yang cukup luas untuk mendapatkan pendidikan.[4] Beberapa lembaga pendidikan Islam pun, lambat-laun, mulai mengadaptasi sistem pendidikan Belanda tersebut. Adaptasi ini dapat dimaknai sebagai bentuk cooperative, mimikri, oposisi diam, atau perlawanan terselubung.[5] Peran kyai dan atau pemimpin ummat memegang peranan penting dalam hal pembaruan pendidikan Islam, yang sekaligus merupakan sikap resistensinya (perlawanan terselubung) terhadap pemerintah imperialis Belanda [dan Jepang]. Sartono Kartodirjo mengemukakan bahwa sejak kolonialisme datang ke Indonesia hingga masa imperialism, peran efektif kyai dalam menanamkan sikap permusuhan dan agresif terhadap orang asing dan pribumi yang menjadi birokrat kolonial.[6]
Pada level dunia muslim, pembaharuan sistem pendikan Islam juga mendapatkan modelnya di Timur Tengah, teutama dari al-Azhar.[7] Pembaharuan pendidikan al-Azhar, yakni ketika Muhammad Abduh menjadi rektor al-Azhar, pada gilirannya ikut mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia. Setidaknya, dasar kesamaan religio-politik menjadi alasan utama untuk mengikuti pembaharuan al-Azhar dari beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia, termasuk pesantren, sekalipun baru terimplementasikan pada hal-hal terbatas.
Terlepas dari faktor picu eksternal tadi, pesantren memiliki daya respon dan kemampuan untuk memperbaharui dirinya (self reform ability) dari masa pertumbuhan hingga kini. Kemunculan pesantren masa awal, yang kemudian berurat-akar di Nusantara hingga kini, sebagaimana dikatakan Manfred, dapat dilacak akar historisnya hingga masa Islamisasi Nusantara pada masa awal (abad ke-13), mempunyai kemampuan untuk mengadaptasi dan mentransformasi dirinya agar mampu diterima oleh kalangan masyarakat saat itu.[8]
Pembaharuan pesantren dapat dikatakan bermula pada tahun 1920-an, yakni bersamaan dengan “kebangkitan nasional” Indonesia.Beberapa pesantren yang memulai memodernisir diri. K.H. Hasyim Asyr’ari mulai mendirikan madrasah di pesantrennya, pada tahun 1919.[9] Pondok Modern Gontor Ponorogo didirikan sebagai upaya lain dari pembaruan pendidikan pesantren.[10]
Dari masa pertumbuhannya hingga masa kini, peran dan fungsi tradisional pesantren bersifat dinamis dan tidak tunggal. Namun, terdapat peran dan fungsi pesantren yang terus dijalankan secara konsisten, yakni sebagai 1) transfer dan transmisi ilmu keagamaan atau lembaga pendidikan dan pengajaran tafaqquh fi al-din; 2) lembaga pengkaderan kyai, ulama, dan da’i; 3) penjaga tradisi umat Islam, terutama Islam-Sunni.
Pesantren mampu merespon dinamika perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan, dengan berbagai cara dan pendekatan. Menurut Azyumardi Azra, sedikitnya ada dua bentuk respon pesantren terhadap perubahan; pertama, merevisi kurikulum dengan semakin banyak memasukkan mata pelajaran atau keterampilan yang dibutuhkan masyarakat; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.[11] Dalam bentuk yang hamper sama, Haydar Putra Daulay, menyebutkan tiga aspek pembaharuan pendidikan Islam, yakni 1) Metode, dari metode sorogan dan wetonan ke metode klasikal; 2) isi materi, yakni sudah mulai menadaptasi materi-materi baru selain tetap mempertahankan kajian kitab kuning; dan 3) manajemen, dari kepemimpinan tungal kyai menuju demokratisasi kepemimpinan kolektif.[12]
Berdasarkan pada ketiga variable di atas, maka respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini dapat dipetakan pada empat komponen:
- Pembaharuan isi atau substansi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek umum dan vocational;
- Pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal, penjenjangan;
- Pembaharuan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan
- Pembaharuan fungsi, dari fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi yang lebih luas.[13]
Eksposisi tulisan berikutnya akan mencoba menjelaskan beberapa aspek pembaharuan pesantren berdasarkan pada keempat aspek di atas. Namun, kategori yang dibuat adalah 1) pembaharuan substansi dan metodologi, 2) pembaharuan kelembagaan pesantren, dan 3) pembaharuan peran dan fungsi pesantren.
[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 31.
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 31.
[3] Kareel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 46-47.
[4] Haydar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.. hlm. 53; Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 97.
[5] Lihat misalnya, Karel Steenbrink, Lawan dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 195-204.
[6] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: YOI, 1973), hlm. 11. Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995, hlm. 331) mengungkap hal yang sama, terutama kelompok Tarekat, yang menjadi organ utama dalam perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialism, seperti ditunjukkannya dalam peperangan Diponegoro. Martin van Bruinessen menyebutkan misalnya Syaikh Abdussalam yang mendorong Sultan Mataran (Sultan Hamengkubuwono I) dan Susuhunan Prabu Jayatingkir untuk melawan orang-orang kafir. Demikian juga dengan Syeikh Yusuf Maqassari yang ikut berjuang melawan kolonial Belanda di Sulawesi dan Banten , bahkan hingga Cape Town Afrika.
[7] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Gerakan dan Pembaharuan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.30-31
[8] Manfred berpandangan bahwa tradisi pesantren mempunyai kesamaan dengan tradisi Budha, yakni pendidikan terkonsentrasi dan berasrama (pondok) bagi calon Bikshu. Sementara, pendapat lain menyatakan bahwa tradisi Pesantren merupakan transformasi dari tradisi Mandala, yakni pendidikan berasrama bagi para cantrik Hindu. Kata cantrik ini menjadi dasar dari kata santri, yang bermakna sama, yakni siswa yang mempelajari kitab suci. Pendapat lainnya mengatakan bahwa tradisi pesantren dipengaruhi oleh tradisi Zawiyat dan ribath sufisme yang berkembang di Timur Tengah dan Afrika Utara.
[9] Haydar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan…, hlm. 53. Lihat juga dalam Zuhairi Misrawi, Hadratussuaikh Hasyim Asy’ari, (Jakarta: Kompas, 2010).
[10] Lihat misalnya, Win Ushuluddin, Sintesis Pendidikan Islam Asia-Afrika, Perspektif Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Menurut K.H. Imam Zaraksyi Gontor, (Yogyakarta: Paradigma, 2002).
[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 102.
[12] Haydar Putra Daulay, SejarahPertumbuhan…, hlm. 58-59.
[13] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar