Pengkajian Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari kajian tentang pesantren. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam yang satu ini merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam dengan berbagai relasi fungsi dan peran yang dimainkannya dalam masyarakat Nusantra, Indonesia, dan dunia Internasional. Pada awalnya, kajian tentang pesantren merupakan sub-topik atau topik pelengkap dalam kajian ilmiah tentang Islam di Indonesia, misalnya dalam kajian Van Den Berg atau dalam The Cresent and The Rising Sun, karya H.J. Benda.
Dua dekade terakhir penelitian mengenai pesantren menjadi bagian dari pengarusutamaan kajian Islam di Indonesia, khususnya terkait dengan lembaga pendidikan Islam. Pada satu sisi, pesantren dikaji dari sudut
pandang kontribusinya terhadap sistem pendidikan Indonesia, serta keberlangusngan dan perubahannya (continuity and change). Tetapi pada sisi lain, kajian diarahkan pula untuk melihat keterkaitan pesantren dengan Islam fundamentalisme, Islam militan, bahkan Islam radikal (khususnya isu terorisme).
pandang kontribusinya terhadap sistem pendidikan Indonesia, serta keberlangusngan dan perubahannya (continuity and change). Tetapi pada sisi lain, kajian diarahkan pula untuk melihat keterkaitan pesantren dengan Islam fundamentalisme, Islam militan, bahkan Islam radikal (khususnya isu terorisme).
Kajian-kajian tersebut menyoroti bebagai dimensi dari eksistensi pesantren, baik dari sudut pandang historis, sosiologis, kelembagaan, pendidikan, serta peran dan fungsi. Sisi historis pesantren diartikulasikan oleh beberapa karya, di antaranya: Clifford Geertz, Islam Observed, (New Hoaven and London: Yale University, 1968); Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974); Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren: Suatu Studi tentang Peranan Kai dalam Memelihara dan Mengembangkan Ideologi Islam Tradisional”, dalam Prisma, 1981); Marwan Saridjo dkk (ed)., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982); Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Pesantren: Membangu dari Bawah (Jakarta: LP3ES, 1985); Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986); Abdullan dan Sharon Shiddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989); M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara abad XVI-XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995); dan Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1994, (Jakarta: LP3ES, 1996).
Karya-karya di atas mencoba menelusuri asal-usul pertumbuhan dan perkembangan sejarah dari waktu ke waktu, dengan intensitas pembahasan yang berbeda. Sekalipun semua karya gagal membuktikan kapan pastinya pesantren mulai berdiri, namun semua kepustakaan bersepakat bahwa pesantren mulai eksis di Nusantara bersamaan dengan proses Islamisasi (dalam artian konvergensi) di Nusantara.
Mereka bersepakat bahwa pesantren merupakan indigenous lembaga pendidikan Islam Indonesia, yang mampu mengakulturasikan akar historis tradisi pendidikan masyarakat Nusantara pra-Islam dan warna tradisi Islam Timur Tengah. Dawam Raharjo, misalnya, berpandangan bahwa pondok merupakan hasil penyerapan akulturasi dari masyarakat Indonesia terhadap kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelma menjadi suatu lembaga yang lain, dengan warna Indonesia.
Dalam waktu yang cukup lama, secara kultural, pesantren identik dengan fenomena "desa", yakni ia bagian dari masyarakat desa. Pesantren telah banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan. Ia sebagaimana disebutkan oleh Abdurrahman Wahid merupakan institusi yang menggambarkan komunitas sub-kultur. Kuntowijoyo menyebutnya dengan “sistem budaya tersendiri”.Ini berarti pesantren, minimal, memiliki keunikan dalam aspek-aspek cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern yang ditaati sepenuhnya. Semua variabel tersebut hidup mandiri dan bebas dari kultur masyarakat luar. Namun demikian, dalam stratifikasi msayarakat Indonesia, kedudukan pesantren belum disepakati secara jelas.
Sependapat dengan pandangan Abdurrahman Wahid dan Kuntowijoyo, Karel A. Steenbrink berpandangan bahwa pesantren memiliki ciri khas hirarki yang tegas dalam struktur sosialnya. Dalam beberapa segi, aspek pola relasi ini dapat mengatur dan mengikat seluruh sivitas pesantren, namun pada sisi lain pola ini dapat membatasi dinamika pemikiran santri dan menutup kesempatan mereka untuk mengadakan perubahan-perubahan siginifikan. Karya Steenbrink ini mampu pula melacak akar-akar pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, baik di Pesantren dan terutama di madrasah.
Secara sosiologis, pesantren tradisional memiliki banyak karakter yang typical dibanding lembaga pendidikan lainnya, yang diklaim sebagai lembaga pendidikan modern. Karakter tersebut menyangkut sistem nilai etika yang menjadi ruh dalam semua dimensi kehidupan pesantren, termasuk dalam pola relasi, interaksi, dan sistem pendidikannya, yang masih bertahan dan dilestarikan sampai sekarang.
Dalam sistem pembelajaran yang diterapkan di pesantren dikenal beberapa metode, yakni sorogan dan bandongan atau weton. Sorogan merupakan aktivitas pembelajaran di mana setiap santri menghadap ustadz atau kiai secara bergiliran. Jika santri dianggap sudah menguasai dalam membaca dan dalam materinya, maka dilanjutkan ke materi lainnya. Sedangkan, weton atau bandongan adalah metode pembelajaran di mana seorang ustadz atau kiai membaca, menerjemahkan, dan mengupas kitab tertentu, sedangkan santri secara bergerombolan duduk di depan atau mengelilingi ustadz atau kiai tersebut.
Dengan demikian dua metode ini tidak lebih dari sistem pembacaan kitab secara harfiah, dan belum menunjukkan pada upaya pengembangan yang lebih rekonstruktif. Hal ini karena kyai mempunyai otoritas kuat dalam menentukan sistem pembelajaran, pemilihan kitab kuning, pengganti dirinya [jika sedang berhalangan], dan sistem evaluasinya. Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren lebih banyak berpusat pada kyai (teacher oriented).
Menurut Manfred Ziemek, metode sorogan dan weton atau bandungan ini diduga kuat merupakan warisan dari tradisi pembelajaran dalam agama Budha. Terkait dengan materi atau kitab-kitab yang diajarkan, terdapat sejumlah karya, di antaranya Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1985); Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Bandung:Mizan, 1995); Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Persada, 2008)
[1] Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 9.
[2] Kuntowijoyo, “Muhammadiyyah dalam Perspektif Sejarah” dalam M. Amin Rais dkk. (ed.), Pendidikan Muhammadiyyah dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm 38.
[3] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti, t.t.), hlm. 30.
[4]Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Pesantren, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 97-98.
[5]Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 99-101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar