Al-Qur'an merupakan firman Allah yang diturunkan sebagai hudâ(n) (petunjuk) bagi manusia agar manusia mampu hidup sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya. Agar manusia mampu memahami dan mengaplikasikan petunjuk dari al-Qur'an tersebut, maka manusia (baik individu atau kolektif) harus mengkaji, memahami, menghayati, dan menginternalisasikan ajaran-ajaran al-Qur'an tersebut dalam hati, pikiran, jiwa, dan perilakunya pada seluruh dimensi kehidupannya.
Semua isi al-Qur'an merupakan petunjuk, karena setiap huruf, kata, ayat, dan surat mempunyai makna, baik makna leksikal (etimologis), makna grammatikal (terminologis), maupun makna kontekstual. Oleh karena itu, memahami al-Qur'an secara komprehensif dan universal harus dilakukan dengan mengkaji keseluruhan
al-Qur'an, dan tidak dapat dilakukan secara parsial atau hanya menitiktekankan pada pemahaman ayat tertentu. Dalam kaitan dengan hal ini, analisis munâsabah (relasi antar berbagai struktur al-Qur'an), asbâb al-nuzûl, dan tafsir maudhû'i memegang peranan penting.
Salah satu tema pokok dalam al-Qur'an adalah menyangkut hakikat manusia. Pembahasan al-Qur'an ini menjadi penting, karena salah satu misi al-Qur'an adalah menyadarkan mengenai posisi, tugas, dan fungsi manusia dalam hubungannya dengan Allah, alam, dan sesama manusia. Selebihnya, al-Qur'an juga memberikan petunjuk dan bimbingannya agar mampu menjalani kewajiban dan haknya sesuai dengan tata aturan dan tujuan dari penciptaan manusia oleh Allah swt.
Manusia, menurut al-Qur'an, merupakan ciptaan Allah, yang terdiri dari unsur jasmani, akal, dan ruhani.[i] Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sekalipun secara substansial dapat dibedakan. Dalam proses kehidupan, manusia tidak dapat menanggalkan salah satu dari ketiganya, atau pun hanya memprioritaskan salah satu dari ketiganya. Dengan demikian, ketiga unsur pembentuk manusia tersebut memiliki posisi sama pentingnya, Oleh karenanya ketiganya harus dikembangkan secara seimbang, terintegrasi, dan proporsional[ii], agar manusia mampu menjalani kehidupan sebagai khalifah dan 'abd Allah secara seimbang dan proporsional. [iii]
Salah satu, unsur dari hakikat manusia adalah akal. Dalam bahasa Indonesia akal berarti daya pikir, pikiran dan ingatan, sedangkan dalam bahasa Arab akal ('aql) berarti akal pikiran, hati, ingatan, daya pikir, faham, diyat, benteng atau tempat berlindung.[iv] Dalam bahasa inggris akal barangkali tepat jika diterjemahkan sebagai kata intellect[v], intelegensia atau cognition (knowing; awareness; including sensation but exluding emotion).[vi]
Secara fisik, dalam bahasa Indonesia, akal sering diidentikkan dengan "otak" atau mind,[vii] yang diasumsikan tempatnya di kepala. Namun, menurut Harun Nasution, akal tidak persis sama dengan pengertian "otak", karena kalau otak, dalam artian fisik, maka hewan-hewan pun mempunyai otak. Akal merujuk pada daya nalar, daya pikir, dan daya kritis yang terdapat dalam jiwa manusia. Raghib al-Asfahani member pengertian akal sebagai energi potensial yang difungsikan manusia untuk menerima pengetahuan dan ilmu.[viii] Dengan demikian, ia merujuk pada fungsi dan kerja dari "otak-fisik" dan jiwa. Pendapat serupa dikemukakan pula oleh al-Ghazali dan Syed Naguib al-Attas.[ix]
Dalam Islam, akal mendapat posisi yang signifikan, baik dalam pengembagan individu, masyarakat, maupun pengetahuan, terutama sains. Ia diposisikan sebagai hidayat al-'aqliyyah, yakni hidayah Allah yang hanya diberikan kepada manusia. Dengan akal, manusia mampu memahami symbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis, membandingkan, maupun membuat kesimpulan dan akhirnya mampu membedakan antara yang benar (haq) dan salah (bathil).[x]
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa "al-Islam huwa al-'aqlu, la dina liman la 'aqla lahu" (Islam adalah merupakan agama Ilmu dan agama akal (rasional); tidak ada kewajiban beragama (Islam) bagi mereka yang tidak mempunyai akal). Karena penghargaan akan eksistensi akal, Islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dalam berbagai dimensi kehidupan, termasuk dalam upaya mencari ilmu. Karena akal pula lah, manusia disebut sebagai makhluk homo sapiens, yaitu makhluk yang mempunyai fitrah dan kemampuan untuk berilmu-pengetahuan.[xi] Dengan akal itulah, manusia selalu ingin mengetahui apa yang ada di sekitarnya, lalu ia berfikir, memahami, dan menjadikannya sebagai pengetahua, baik bersifat teoritis maupun praktis.
Dalam al-Qur'an, akal merupakan salah satu aspek penting dari esensi (hakikat) manusia, sebagaimana dijelaskan dalam banyak tempat di dalam al-Qur’an. Sedangkan, Sa'id Ismail 'Aly[xii] dan Harun Nasution[xiii] menjelaskan bahwa terdapat tujuh kata yang digunakan al-Qur’an untuk mewakili konsep akal, yakni nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha, tadzakkara, fahima, dan ‘aqala. Dari ketujuh term di atas, penggunaan term yang mendekati kata akal, dalam bentuk kata benda dalam Bahasa Indonesia, adalah term yang ke-7. Abdul Fattah Jalal menyebutkan bahwa kata akal tidaklah pernah muncul dalam bentuk kata benda (ism) melainkan dalam bentuk kata kerja (fi’il). Kata kerja ‘aqala menghasilkan derivasinya yakni ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluna, dan ya’qiluha. [xiv] Selain ketujuh term di atas, terdapat beberapa term lain yang diasumsikan juga terkait dengan kerja dan fungsi akal, yakni yarauna, yabhatsun, yazkurun, yata'ammalun, ya’lamuna, yudrikuna, ya’rifuna, dan yaqrauna.
Abdullah Fattah Jalal menyebutkan bahwa selain term akal ditunjukkan oleh al-Qur'an dengan penunjukan yang cukup banyak pada proses, al-Qur'an pun, menggunakan kata albâb (jamak dari al-lub) yang juga bermakna akal.[xv] Kata ini muncul dalam al-Qur'an dalam 16 tempat. Misalnya dalam QS. Ali Imran [3]:190. Ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, akal, termasuk juga jasmani dan ruhani, masih bersifat potensi (fitrah). Ia merupakan potensi nalar, daya fikir, atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan, daya akal budi, kecerdasan berfikir, atau boleh juga berarti terpelajar. Sebagai potensi, ia harus ditumbuh-kembangkan, dilatih, dan dibiasakan agar mampu bekerja atau berfungsi secara maksimal dan optimal. Di sinilah pendidikan pengembangan akal mempunyai peran signifikan sebagai fannu tasykil wa shina'at uqul al-insan (seni pembentukan atau rekayasa akal manusia). 'Ali Muhammad Madkur menyebutnya sebagai tarbiyyat al-thâqât al-'aqliyyah.[xvi] Pendidikan ini dimaksudkan untuk membentuk, membimbing, dan melatih kerja dan fungsi akal agar berfungsi secara maksimal dan optimal, serta sesuai dengan fitrah, maksud, dan tujuan penciptaannya. Pada sisi lain, akal pun harus diatur, dikendalikan, dan dievaluasi agar fungsi dan kerjanya tidak menyalahi tata aturan yang ditetapkan oleh Allah swt, sebagai Pencipta-nya. Misalnya, al-Qur'an dalam QS al-An'am 116, menyebutkan salah satu kelemahan akal, yakni mengikuti prasangka (dzan).
Dengan demikian, pendidikan pengembangan akal menjadi salah satu tujuan antara pendidikan, yakni ahdâf al-aqliyyah.[xvii] Pendidikan pengembangan akal pada akhirnya akan berakumulasi dengan pendidikan pengembangan jasmani dan ruhani untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yakni insân kâmil (manusia seutuhnya) yang mempunyai kesadaran, pemahaman, dan pengamalan akan posisi dirinya di antara Allah, alam, dan sesama manusia, serta mampu menjadi khalifah dan 'abd Allah.
[i] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm 32. Zakiyah Darajat mengatakan, bahwa potensi dasar manusia tersebut berupa jasmani dan rohani; Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), cet. Ke-4, hlm.86.
[ii] A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Rosda Karya, 2008), hlm. 26.
[iii] Ismail Raji al-Faruqi menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk kosmik tertingi, karena berbagai potensi yang dimilikinya mampu mengantarkannya untuk mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan (Isma'il Raji al-Faruqi, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 37)
[iv] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Qamus 'Araby-Indonesia (Yogyakarta: Krapyak), hlm. 1027.
[v] Muhammad 'Ali al-Khuli, Qamus al-Tarbiyyah: English-'Araby (Beirut: Dar 'al-'Ilm li al-Malayin, 1981), hlm. 239.
[vi] Rohi Baalbaki dalam Al-Mawrid: Qamus 'Araby-English (Beirut: Dar al-'ilm li al-Malayin, 2001), hlm.771 menerjemahkan kata 'aqala ke dalam banyak makna, yakni to realize, understand, comprehend, graps, apprehend, conceive, dan perceive.
[vii] Kata lain yang bersinonim dengan mind adalah intellect, brain, head, reason, intelligence, sense, understanding, dan mentality .
[viii] Al-'Allamah Raghib al-Asfahani, Mu'jam Mufradat Alfadz al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 354.
[ix] Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 33.
[x] Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2003). hlm. 35
[xi] 'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islami (Kairo: Dar al-Fikr a'-'Araby, 2002), hlm. 45-46
[xii] Sa'id Isma'il 'Aly, Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Salam, 2007), hlm. 124
[xiii] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982) hlm. 39-48
[xiv] Abdullah Fatah Jalal, Azas-Azas Pendidikan Islam (Bandung: CV Diponegoro), hlm. 57-58
[xv] Abdullah Fatah Jalal, ibid.
[xvi] 'Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyyah fi al-Tashawwur al-Islâmi (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 2002 hlm. 261-262
[xvii] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur'an (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hlm. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar