Pada masa studi dahulu, sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya merasa bangga dengan berbagai keragamaan yang ada dan dimiliki bangsa Indonesia. Keragaman tersebut meliputi keragaman etnik, budaya, agama, potensi ekonomi, dan kreatifitas. Penanaman nilai keragamaan ini dikemas dalam slogan Bhineka Tunggal Ika. Namun, kini slogan ini seakan kehilangan pamor dan tajinya untuk mempersatukan berbagai keragaman yang ada dalam koridor Negara Kesatuan Negara Indonesia (NKRI). Kala itu sosialisasi slogan mengenai "keragaman" tetapi menuju tujuan yang sama sangatlah gencar dilakukan pemerintah, terutama melalui dunia pendidikan. Hasilnya adalah slogan "saya bangga menjadi Bangsa Indonesia" menjadi salah satu nilai yang tertanam dalam jiwa peserta didik.
Potensi Kebersamaan Umat Perlu Diperkuat
Semua elemen dan unsur agama di Indonesia seharusnya dimanage untuk memperkuat potensi kebersamaan umat. Hal ini, menurut Maftuh Basyuni, sangat perlu karena, “Memahami betapa kompleksnya persoalan masyarakat dunia dewasa ini, yang dalam berbagai hal dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat kita, maka selain intensitas silaturrahmi, kita perlu merespons dan memperkuat potensi kebersamaan umat dan masyarakat seperti melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),``
Forum-Forum bersama terkait kerukunan umat beragama, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dapat diberdayakan berfungsi sebagaimana mestinya, yakni untuk pemeliharaan kerukunan dan pemberdayaan umat. Karenanya, kita dapat bersikap optimis bahwa hal tersebut dapat berhasil ganda. Pertama, ia akan mampu mencegah pengaruh negatif dunia. Kedua, ia dapat membangun kerjasama-kerjasama konstruktif antar kelompok umat dan masyarakat dalam berbagai lapangan kehidupan sosial. Tantangan bersama bangsa Indonesia ke depan senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan dan dinamika sosial yang sangat cepat. Oleh karena itu, seyogyanya bangsa ini mampu membangun berbagai upaya untuk lebih menjaga keharmonisan, menghilangkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat dengan memperbanyak komunikasi agar tidak terbawa arus negatif informasi yang sulit dibendung.
Perlu diakui bahwa umat beragama di berbagai belahan dunia dewasa ini, termasuk di Indonesia, tengah dihadapkan pada berbagai persoalan yang cukup kompleks, baik secara internal maupun eksternal. Berbagai persoalan tersebut antara lain menyangkut dampak negatif globalisasi dan krisis finansial global yang sering berimbas pada berbagai persoalan lain. Dampak krisis finansial global tampak misalnya pada lapangan pekerjaan. Akan tetapi hal-hal seperti ini sering berimbas pada masalah lain, seperti pemahaman dan praktek-praktek keagamaan. Kondisi seperti ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab untuk tujuan-tujuan sempit dan sesaat.
Untuk itu, semua elemen bangsa Indonesia harus mampu dan sungguh-sungguh memperkuat kebersamaan dengan mengoptimalkan fungsi dan peran FKUB sebagai media dan wadah kebersamaan umat yang efektif di masa depan. Para agamawan kiranya lebih sunggung-sungguh menginternalisasikan ajaran agama yang sejuk dan damai kepada umat masing-masing, terlebih di saat dunia sedang dihadapkan pada dampak krisis finansial global dan saat kita akan menghadapi pemilu, sehingga umat tidak mudah tergoncang dan terseret pada arus yang merugikan semua pihak.
Selain itu, semua pihak harus mampu pula memperbaiki kualitas keberagamaan keluarga dan masyarakat secara berimbang dan dewasa. Hal ini dapat dimengerti karena tantangan yang berkembang belakangan ini, kiranya ke depan kita juga diharapkan lebih mampu menjaga dan meningkatkan ukhuwah atau persaudaraan antar sesama kelompok anak bangsa. Selebihnya, moralitas dan etika keagamaan semakin lemah berhadapan dengan pola hidup materialisme dan hedonisme akhir-akhir ini, maka semua pihak perlu lebih serius dan sungguh-sungguh memperluas aspek kepemimpinan keagaman yang memiliki keandalan good character.
Peran Pendidikan dalam Menjaga Kerukunan Beragama
Tidaklah salah jika ada yang berpendapat bahwa "teror bom", tawuran dan kerusuhan bermotif sara, penghancuran rumah ibadah, dan lainnya terkait dengan masih terdapatnya berbagai kelemahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tentunya, sistem pendidikan bukanlah satu-satunya faktor atau faktor utama yang langsung memicu dan memacu hal-hal di atas. Namun, demikian sebagai bagian dari sistem berbangsa dan bernegara, pendidikan memiliki peran dalam membentuk karakter baik dari sebuah bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Jika masih terdapat kerusuhan dan konflik bermotif SARA, maka mau-tidak mau, pendidikan pun terseret sebagai bagian dari sistem berbangsa dan bernegara.
Terkait dengan hal tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa konflik etnis dapat menjadi indikator dari masih lemahnya sistem pendidikan di Indonesia, terutama terkait dengan toleransi, kerukunan umat beragama, multikultural, kendali diri, pendidikan karakter, dan lain-lain. Bisa jadi, pendidikan tentang keragaman telah berhasil pada bidang-bidang yang profan, seperti keragaman etnik, keragaman bahasa, keragaman budaya, dan keragaman profesi; tetapi masih memiliki kelemaham dalam bidang-bidang yang sensitif dan "sakral", yakni menyangkut keragaman agama, keyakinan, kepercayaan, dan ritual. Sebagian masyarakat Indonesia, misalnya, cukup alergi ketika harus melihat simbol-simbol agama lain atau bahkan simbol-simbol saudaranya seagama, hanya karena berbeda golongan (madzhab).
terkait dengan persoalan di atas, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA (4/5/2011) menyebutkan bahwa implementasi PBM perlu terus dikawal dan dievaluasi untuk terciptanya kondisi kerukunan umat beragama. Searah dengan itu, sosialisasi PBM perlu dilanjutkan dengan lebih luas. Hal tersebut disampaikan oleh dalam paparan makalahnya pada acara Roundtable Discussion “Evaluasi 5 Tahun PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,” yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, 4 April 2011 di Wisma Haji Jalan Jaksa, Menteng, Jakarta. Menurut Prof. Abdul Djamil, PBM yang secara substansial terbagi atas tiga bagian (pemeliharaan kerukunan, pemberdayaan FKUB, dan perihal pendirian rumah ibadat) sebagiannya telah terimplementasi baik di lapangan. Namun demikian, sejumlah hal lain belum optimal terlaksana.
Terkait dengan hal tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa konflik etnis dapat menjadi indikator dari masih lemahnya sistem pendidikan di Indonesia, terutama terkait dengan toleransi, kerukunan umat beragama, multikultural, kendali diri, pendidikan karakter, dan lain-lain. Bisa jadi, pendidikan tentang keragaman telah berhasil pada bidang-bidang yang profan, seperti keragaman etnik, keragaman bahasa, keragaman budaya, dan keragaman profesi; tetapi masih memiliki kelemaham dalam bidang-bidang yang sensitif dan "sakral", yakni menyangkut keragaman agama, keyakinan, kepercayaan, dan ritual. Sebagian masyarakat Indonesia, misalnya, cukup alergi ketika harus melihat simbol-simbol agama lain atau bahkan simbol-simbol saudaranya seagama, hanya karena berbeda golongan (madzhab).
terkait dengan persoalan di atas, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA (4/5/2011) menyebutkan bahwa implementasi PBM perlu terus dikawal dan dievaluasi untuk terciptanya kondisi kerukunan umat beragama. Searah dengan itu, sosialisasi PBM perlu dilanjutkan dengan lebih luas. Hal tersebut disampaikan oleh dalam paparan makalahnya pada acara Roundtable Discussion “Evaluasi 5 Tahun PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,” yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, 4 April 2011 di Wisma Haji Jalan Jaksa, Menteng, Jakarta. Menurut Prof. Abdul Djamil, PBM yang secara substansial terbagi atas tiga bagian (pemeliharaan kerukunan, pemberdayaan FKUB, dan perihal pendirian rumah ibadat) sebagiannya telah terimplementasi baik di lapangan. Namun demikian, sejumlah hal lain belum optimal terlaksana.
Hal lain disampaikan oleh Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan, Prof. H. Abd.Rahman Mas’ud, Ph.D. Ia menyebutkan bahwa implementasi PBM di lapangan memang masih mengalami sejumlah kendala, antara lain: masih sering terjadi perbedaan pemahaman tentang beberapa klausul dalam PBM; perhatian aparat pemerintahan daerah tehadap pelaksanaan PBM ditengarai masih rendah. Di samping itu, respon dari kelompok-kelompok majelis agama sendiri belum seragam dalam pelaksanaan PBM sehingga dapat menimbulkan suasana yang kurang harmonis dalam pola interaksi umat beragama. Selanjutnya menurut Mas’ud, agenda yang strategis dilakukan pada 5 tahun peringatan lahirnya PBM ini adalah intensifikasi sosialisasi PBM seluas mungkin kepada pihak-berkepentingan.
Pandangan lain diungkap juga oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Drs. H. Abdul Fatah dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri. Menurut Abdul Fatah peran penting dari Forum Kerukunan Umat Beragama tingkat daerah sebagai fasilitator kerukunan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan secara berkelanjutan oleh Kementerian Agama dengan dukungan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang mengatur bagaimana kerukunan dan pemberdayaan tersebut melibatkan berbagai elemen masyarakat dari agama-agama yang eksis di suatu wilayah dalam suatu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dirjen Kesbangpol Kemendagri lebih memfokuskan bahasan diskusi pada sisi tindak lanjut sosialisasi PBM yang pada implementasinya masih menemukan kendala. Menurutnya, selain pemberdayaan peran FKUB belum maksimal, perlu juga intensifikasi sosialisasi secara terus menerus kepada seluruh aparat terkait termasuk kepada Camat, Kepala Desa, dan masyarakat luas, mengingat amanat PBM belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah. (Sumber http://puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar