Sekolah/Madrasah
Gratis: Wacana dan Diskriminasi
Wacana mengenai "sekolah gratis" dan "Madrasah
Gratis" terus digulirkan. Hal ini pada dasarnya hanya merupakan
jargon dari para politisi, karena pada hakikatnya "tidak ada pendidikan
apa papun yang tidak membutuhkan pendanaan atau tidak terkait dengan kapital
(dana)". Artinya semua proses pendidikan, sekecil apa pun terkait dengan
pendanaan (pembiayaan). Persoalannya adalah "siapa yang menanggung
pembiayaan (pendanaan) pendidikan? Pemerintah atau Masyarakat? Dalam term di atas, "sekolah dan madrasah gratis" dimaknai dengan "Pemerintah
menanggung beberapa aspek pembiayaan rutin sekolah, dan membebaskan masyarakat
dari beberapa pembiayaan rutin, yang biasa ditanggungkan kepada
masyarakat." Beberapa pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah,
misalnya, uang bangunan, SPP, gaji guru (tetap/sukwan) dan sebagian buku, yang
ditanggung pemerintah antara lain melalui BOS.
Namun demikian, sekalipun sebagian pembiayaan pendidikan telah
ditanggung oleh pemeritah, terdapat banyak aspek pendidikan yang tetap
ditanggung oleh keluarga, seperti dana rutin-harian siswa (seragam, alat tulis, buku
tulis, ongkos, makan, dll). Karenanya, tetap saja masyarakat terlibat langsung
atau berpartisipasi langsung untuk pembiayaan pendidikan (sekolah) anaknya.
Bagi masyarakat menengah dan atas, pembiayaan-pembiayaan tersebut mungkin tidak
akan terasa sulit, tetapi bagi masyarakat miskin (kota dan desa) pembiayaan
tersebut masih dirasakan cukup berat. Misalnya, untuk membeli seragam dan buku
tulis saja, banyak keluarga yang "merasa tidak mampu".
Terlebih juga, sebagian masyarakat tidak dapat menikmati sekolah
gratis, karena sekolah gratis, baru berlaku pada Sekolah negeri; dan
sekolah-sekolah negeri banyak diserbu oleh orang-orang kaya, yang
"enggan" pula mengeluarkan "biaya sedikit mahal" (bagi mereka)
untuk pendidikan anaknya. Dengan berbagai cara, keluarga kaya ini memasukkan
anaknya ke sekolah-sekolah negeri, yang gratis tersebut, sekalipun harus
melalui "jalan belakang". Bagi mereka, "yang penting" masuk
di sekolah negeri (apalagi sekolah favorit atau sekolah unggulan). Sementara
itu, sisi lain, banyak siswa yang berasal dari keluarga "miskin"
yang justeru masuk ke sekolah swasta, yang nota bene "bukan sekolah
gratis", dan tetap saja mereka mengeluarkan biaya besar untuk menikmati
pendidikan, yang digembar-gemborkan "gratis" oleh pemerintah dan para
politisi.
Madrasah
Gratis
Awal
tahun 2011, Menteri Agama, Suryadharma Ali kembali menggulirkan wacana Madrasah
Gratis. Ia menyatakan bahwa pihaknya saat ini secara serius merancang agar
siswa madrasah memperoleh pendidikan secara gratis. Ia menyatakan bahwa pada pertengahan
tahun 2011 keputusan madrasah gratis dapat terwujud, apakah secara keseluruhan
atau sebagian yang gratis. "Kami berharap antara bulan Juni-Juli 2011 ada
kesimpulan, (madrasah) digratiskan keseluruhan atau sebagian," kata Menag
pada acara penandatangan kesepakatan bersama antara Menteri Agama dan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Pelaksanaan pengarustamaan
jender dan pemenuhan hak anak di bidang keagamaan di Jakarta, Senin (24/1/11). Pada kesempatan lain, Menag menyatakan, "Program Madrasah Gratis sudah harus berjalan, meski dari sisi kemampuan keuangan masih dihitung".
Oleh
karena itu, lanjutnya, Kementerian Agama saat ini sedang menghitung berapa
dampak biaya apabila madrasah gratis, baik uang muka maupun uang bulanan.
"Sekarang kan rada-rada semu. Disebut gratis, ada uang suka rela,"
kelakarnya. Ini menunjukkan bahwa sekolah/madrasah gratis yang selama ini ada
masih belum jelas bentuknya, atau semu, baik pada level konseptual, regulasi,
implementasi, dan evaluasinya. Dalam hal ini, kemenag dan pihak terkait sedang berusaha untuk mempersiapkan implementasi kebijakan "madrasah gratis", agar dapat berjalan secara efektif, tepat sasaran, proporsional, dan efisien.
Menurut Dirjen Pendis, Prof. Mohammad Ali (11/03/11), kemenag membetuk tim pengkaji "madrasah gratis", yang terdiri dari sejumlah instansi terkait, seperti Direktorat Pendis Kemenag, Biro Perencanaan Kemenag, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tim ini mengkaji perihal terkait secara mendalam, komprehensif, dan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Pengkajian meliputi definisi, mekanisme, sistem pelaksanaan, dan kemampuan anggaran untuk melendingkan "madrasah gratis" ini, termasuk dampak yang muncul dari kebijakan tersebut.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana implementasi "madrasah gratis" ini di lapangan. Apakah sejumlah kelemahan penerapan "sekolah gratis" yang selama ini diterapkan Kemendiknas akan dapat dilampaui oleh kemenag? tentunya, respon optimistik harus dikedepankan, bahwa "kemenag akan belajar banyak dari kemendiknas dan akan mampu mencari solusi terbaik dalam penerapakan kebijakan "madrasah gratis" ini. Kita tidak ingin terdapa kasus a) salah alokasi, b) dana yang disunat, d) mismanagement, e) salah urus, dll. Semoga hal-hal tersebut dapat terlampaui.
Menurut Dirjen Pendis, Prof. Mohammad Ali (11/03/11), kemenag membetuk tim pengkaji "madrasah gratis", yang terdiri dari sejumlah instansi terkait, seperti Direktorat Pendis Kemenag, Biro Perencanaan Kemenag, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenag, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tim ini mengkaji perihal terkait secara mendalam, komprehensif, dan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian. Pengkajian meliputi definisi, mekanisme, sistem pelaksanaan, dan kemampuan anggaran untuk melendingkan "madrasah gratis" ini, termasuk dampak yang muncul dari kebijakan tersebut.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana implementasi "madrasah gratis" ini di lapangan. Apakah sejumlah kelemahan penerapan "sekolah gratis" yang selama ini diterapkan Kemendiknas akan dapat dilampaui oleh kemenag? tentunya, respon optimistik harus dikedepankan, bahwa "kemenag akan belajar banyak dari kemendiknas dan akan mampu mencari solusi terbaik dalam penerapakan kebijakan "madrasah gratis" ini. Kita tidak ingin terdapa kasus a) salah alokasi, b) dana yang disunat, d) mismanagement, e) salah urus, dll. Semoga hal-hal tersebut dapat terlampaui.
Sekolah/Gratis, Jargon Penguasa dan Politisi?
JAMBI, KOMPAS.com memberitakan bahwa walikota Jambi, Bambang Priyanto, telah mengikrarkan "sekolah bebas pungutan". Wali Kota Jambi Bambang Priyanto dengan diikuti ratusan guru dan siswa menggelar ikrar "sekolah bebas pungutan" tersebut. Pada kegiatan tersebut dinyatakan bahwa seluruh kegiatan pendidikan harus berjalan sesuai aturan dan dilarang pihak sekolah maupun komite memungut biaya di luar aturan yang ada. Bambang menyatakan, beberapa aturan nantinya juga akan digulirkan guna mendukung program sekolah bebas pungutan itu. "Ke depan kami akan menggandeng beberapa praktisi pendidikan guna menyusun sebuah aturan yang jelas akan sistem pendidikan yang bebas pungutan. Sebagai bentuk keseriusan Pemkot Jambi pada bidang pendidikan, salah satunya adalah dengan melakukan ikrar sekolah bebas pungutan," ujar Bambang.
Terkait dengan hal ini, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Jambi mengingatkan, ikrar bebas pungutan sekolah oleh Wali Kota Jambi
Bambang Priyanto jangan hanya sebatas slogan. Slogan itu harus diwujudkan dalam
bentuk kegiatan yang nyata. "Namanya ikrar sudah seyogyanya diwujudkan
dalam bentuk kegiatan yang nyata. Perlu ada tindak lanjut yang jelas dari para
pemangku kepentingan," ujar anggota DPRD Kota Jambi Edy Syam, di
Jambi, Rabu (16/11/2011). Menurut dia, pemerintah kota seharusnya sudah berkoordinasi dengan
dinas terkait membuat kebijakan khusus yang mengatur berbagai upaya bagaimana
meningkatkan peran sekolah agar terbebas dari pungutan. "Aturan itu juga
termasuk sanksi bagi pelaku pungutan," katanya. Lebih lanjut dia
mengatakan, belajar dari berbagai kejadian, pungutan sekolah masih saja terjadi
terutama dengan mengatasnamakan kegiatan di sekolah. Berbagai keluhan langsung
masyarakat ke DPRD juga menjadi bukti bahwa pungutan sekolah masih
terjadi, khususnya saat penerimaan siswa baru.
Anggota DPRD lainnya, Anti Yosefa mengimbau, agar
masyarakat tidak segan melapor apabila menemukan kejanggalan pada sistem
pembayaran atau biaya pendidikan di sekolah. "Apabila ada kegiatan atau
sistem pembayaran pendidikan yang dinilai janggal, jangan ragu laporkan saja
ke DPRD,kami akan menindaklanjuti," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar