Lintasan sejarah Indonesia diwarnai oleh kiprahdan peran kaum perempuan dalam memperjuangkan upayanya memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai bidang, dan kontribusi mereka pada saatnya ikut mengkumulasi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Adalah Cut Nyak Dien, Kartini, dan Dewi Sartika adalah nama-nama yang tidak asing lagi bagi kita dari sekian banyak srikandi Indonesia yang telah mengharumkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dari sekian srikandi Indonesia yang namanya dan kiprahnya perlu diteladani adalah Nyai Ahmad Dahlan.
Kiprah Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan adalah puteri Kyai Haji Muhammad Fadli, Penghulu
Keraton Nyayogyokarto Hadiningrat (nama Yogyakarta waktu itu). Nama kecilnya
adalah Siti Walidah. Ia dilahirkan pada tahun 1872 di Kampung Kauman,
Yogyakarta. Sebagai anak seorang ulama yang disegani oleh masyarakat,
lebih-lebih menjabat Penghulu Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, ia
menjadi puteri 'pingitan'. Pergaulannya sangat terbatas dan ia tidak belajar di
sekolah formal. Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu.
Hampir tiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman,
Siti Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon).
Ia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Dahaga ilmu agama seolah terpuaskan setelah ia menikah dengan KH Ahmad Dahlan,
sepupunya. Ia mengikuti segala hal yang diajarkan oleh suaminya. Bahkan, ia
kemudian mengikuti jejak KH A Dahlan menggerakkan Muhammadiyah, yang menambah
ilmu, pengalaman, dan amal baktinya.
Meskipun Nyai Dahlan hanya memperoleh pendidikan dari lingkungan
keluarga, namun ia mempunyai pandangan yang luas. Hal itu diperoleh karena
pergaulannya dengan para tokoh, baik tokoh-tokoh Muhammadiyah maupun tokoh
pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan adalah teman seperjuangan suaminya.
Mereka antara lain adalah Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai Haji
Mas Mansyur, dan lainnya. Dia tidak merasa rendah diri terhadap mereka, bahkan
pada berbagai kesempatan, ia selalu menyampaikan nasihat-nasihat yang sangat bernilai.
Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis
kelompok pengajian wanita Sopo Tresno, yang artinya 'siapa cinta' tahun 1914.
Kelompok ini belum merupakan organisasi tetapi hanya suatu gerakan kelompok
pengajian saja, karena belum mempunyai anggaran dasar dan peraturan lain.
Kegiatan Sopo Tresno berupa pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian
oleh Kyai Dahlan dan Nyai Dahlan. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat
Alquran dan hadis yang mengupas tentang hak dan kewajiban perempuan. Dengan
kegiatan seperti diatas diharapkan akan timbul suatu kesadaran bagi kaum wanita
tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah, serta sebagai warga
negara.
Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai A Dahlan, yang dihadiri oleh
Kyai Muhtar, Kyai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan
pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul pemikiran untuk mengubah Sopo Tresno
menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan. Semula "Fatimah"
diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh
yang hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama
"Aisyiyah". Semua sepakat. Maka pada tanggal 22 April 1917 organisasi
itu diresmikan. Upacara peresmian bertepatan waktunya dengan peringatan Isra
Miraj Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya
secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil sebagai ketuanya. Dan pada tahun
1922,
Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Penuh tantangan
Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot yang menyebut sepak terjangnya sebagai 'melanggar kesusilaan wanita'. Di sisi lain, ia menanamkan ide baru bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki. Nyai Dahlan memilih 'mengajari' masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.
Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot yang menyebut sepak terjangnya sebagai 'melanggar kesusilaan wanita'. Di sisi lain, ia menanamkan ide baru bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki. Nyai Dahlan memilih 'mengajari' masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri dan mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.
Ia bersama-sama dengan pengurus Aisyiyah, sering mengadakan
perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok desa untuk menyebarluaskan
ide-idenya. Ia pun kerap mendatangi cabang-cabang Aisyiyah seperti Boyolali,
Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya.
Karenanya, meski tidak duduk dalam pengurus Aisyiyah, organisasi itu menganggap
Nyai A Dahlan adalah Ibu Aisiyah dan juga Ibu Muhammadiyah.
Tahun 1926 saat Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai
Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin
kongres itu. Saat itu, dalam sidang 'Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan
pria di samping mimbar. Mereka adalah wakil pemerintah, perwakilan organisasi
yang belum mempunyai bagian kewanitaan, dan wartawan. Seluruh pembicara dalam
sidang itu adalah kaum perempuan, hal yang tidak 'lumrah' pada masa itu. Koran Pewarta
Surabaya dan Sin Tit Po menulis besar-besar di halaman depan mengenai
tampilnya wanita memimpin kongres anak organisasi Muhammadiyah tersebut. Media
menuliskan, Munculnya para istri turut serta dan memimpin Bagian 'Aisyiyah,
perkumpulan yang mulai tampak dan merata di seluruh Indonesia, bukan hanya di
Jawa saja.
Nyai Ahmad Dahlan berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 31 Mei
1946. Tidak hanya kaum Muhammadiyyah dan Aisyiyah saja yang berkabung, tapi
hampir seluruh kaum Muslimin di Indonesia. Dia dimakamkan di pemakaman di
belakang Masjid Besar Kauman Jogyakarta. Menteri Sekretaris Negara, Mr AG
Pringgodigdo, mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir. Atas
jasa-jasanya, pada Hari Pahlawan 10 Nopember 1971 di Istana Presiden Negara
Jakarta, presiden menyerahkan secara resmi SK pengukuhannya sebagai Pahlawan
Nasional. Penghargaan itu diterima salah seorang cucunya, Ny M Wardan, isteri
KHM Wardan, salah seorang ketua PP Muhammadiyah pada waktu itu.
Redaktur:
Senin, 29 September 2008
04:44 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar