Apabila sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah asing telah cukup lama beroperasi dan mendapatkan izin operasional di Indonesia, kini giliran perguruan tinggi asing diwacanakan (bahkan akan dilaksanakan secepatnya) dapat menyelenggarakan pendidikannya di Indonesia. Dalam skala "kelas kerjasama" atau "mu'adalah" dengan PT di dalam negeri, seperti dalam program "double degree", PT asing, baik dari Asia, Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah telah lama ada dan diakui. Kini, pemerintah sedang merancang undang-undang yang mengatur pendirian dan pelaksanaan PT asing di Indonesia.
Setidaknya ada beberapa faktor mengapa PT asing dapat beroperasi atau mendapat izin operasional di Indonesia. Pertama, masa globalisasi dan perdagangan bebas memberi kesempatan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di negara Indonesia, demikian pula dengan perguruan tinggi asing. Kedua, banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan studi di LN; maka dengan beroperasinya PT asing bonafit di Indonesia dapat memberi keuntungan bagi warga negara Indonesia untuk mendapat pendidikan dari PT unggul di Indonesia, dan tidak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri. Ketiga, PT dalam negeri dapat bekerja sama dan berkompetisi langsung dengan PT asing tersebut. Keempat, keharusan asing memberikan dampak manfaat kepada lingkungan pendidikannya, masyarakat, pengembangan ipteks di Indonesia, akan memberikan manfaat lain dari keberadaan PT asing di Indonesia.
Namun demikian, keberadaan PT asing ini juga akan memberikan dampak "negatif". Pertama, PT dalam negeri akan berkompetisi langsung mendapatkan kepercayaan publik (public trust), terutama dari masyarakat Indonesia, bahkan tidak mustahil PT-PT unggulan dalam negeri akan diposisikan sebagai PT "kelas dua". Kedua, pembiayaan yang ditetapkan oleh PT asing, bagaimanapun, akan dapat dijadikan acuan pembiayaan oleh PT di dalam negeri; jika pembiayaan PT asing tersebut di atas rata-rata pembiayaan PTN/PTS, maka dapat saja di antara PTN/S tersebut akan mengikuti standar pembiayaan mereka. Maka tidak dapat dipungkiri standar pembiayaan bagi mahasiswa, baik yang ditanggung oleh Pemerintah ataupun masyarakat, dapat naik. Hal ini dapat saja semakin jauh dari jangkauan masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.
Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia
Setidaknya ada beberapa faktor mengapa PT asing dapat beroperasi atau mendapat izin operasional di Indonesia. Pertama, masa globalisasi dan perdagangan bebas memberi kesempatan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di negara Indonesia, demikian pula dengan perguruan tinggi asing. Kedua, banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan studi di LN; maka dengan beroperasinya PT asing bonafit di Indonesia dapat memberi keuntungan bagi warga negara Indonesia untuk mendapat pendidikan dari PT unggul di Indonesia, dan tidak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri. Ketiga, PT dalam negeri dapat bekerja sama dan berkompetisi langsung dengan PT asing tersebut. Keempat, keharusan asing memberikan dampak manfaat kepada lingkungan pendidikannya, masyarakat, pengembangan ipteks di Indonesia, akan memberikan manfaat lain dari keberadaan PT asing di Indonesia.
Namun demikian, keberadaan PT asing ini juga akan memberikan dampak "negatif". Pertama, PT dalam negeri akan berkompetisi langsung mendapatkan kepercayaan publik (public trust), terutama dari masyarakat Indonesia, bahkan tidak mustahil PT-PT unggulan dalam negeri akan diposisikan sebagai PT "kelas dua". Kedua, pembiayaan yang ditetapkan oleh PT asing, bagaimanapun, akan dapat dijadikan acuan pembiayaan oleh PT di dalam negeri; jika pembiayaan PT asing tersebut di atas rata-rata pembiayaan PTN/PTS, maka dapat saja di antara PTN/S tersebut akan mengikuti standar pembiayaan mereka. Maka tidak dapat dipungkiri standar pembiayaan bagi mahasiswa, baik yang ditanggung oleh Pemerintah ataupun masyarakat, dapat naik. Hal ini dapat saja semakin jauh dari jangkauan masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.
------
Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com - Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Kehadiran perguruan tinggi asing itu harus mendorong kemajuan ilmu-ilmu dasar di Indonesia. Namun izin yang diberikan pemerintah kepada perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia, seperti tertuang pada Pasal 90 Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dibahas pemerintah dan DPR itu, mendapat kritik dari sejumlah kalangan. Izin penyelenggaraan pendidikan tinggi asing yang diberikan pemerintah, dinilai sebagai upaya mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi. "Mengizinkan PT asing berdiri di Indonesia harus hati-hati, mesti mempertimbangkan betul bagaimana kondisi PT di Indonesia. PTN pun tidak semua bagus dan siap bersaing dengan kehadiran PT asing nantinya," kata Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmaloka, yang dihubungi dari Jakarta, akhir pekan lalu.
Dalam ketentuan di RUU PT, disyaratakan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di negaranya. Selain itu, PT asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. PT asing ini harus mampu mendorong pengembangan ilmu-ilmu dasar. Akhmaloka menambahkan, RUU PT berlaku untuk seluruh Indonesia. "Bagaimana dengan perguruan tinggi kecil? Harus dipertimbangkan dengan mendalam. Apakah PT Indonesia cukup kuat bersaing," kata Akhmaloka. Sebaliknya, kata Akhmaloka, justru PT di Indonesia butuh aturan untuk bisa beroperasi di luar negeri. Seperti ITB, sebenarnya sudah diundang untuk beroperasi di Malaysia. Selain itu juga di Timur Tengah, seperti Sudan dan Libya.
Dalam pandangan Akhmaloka, memang kehadiran PT asing bisa memotivasi PT di dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas dan kualitasnya. Namun, perlu dipertimbangkan betul, apakah waktunya sudah tepat.
Wakil Rektor II Universitas Airlangga, M Nasih, menambahkan, PT dalam negeri saja tidak mudah membuka kampus di luar domisili. "Yang PT dalam negeri masih susah buka kampus di luar domisili, kok PT asing mudah untuk berdiri di Indonesia," kata Nasih.
Majelis Wali Amanah (MWA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Didik J Rachbini, mengemukakan pula bahwa pendidikan itu bukan barang dan jasa. Sebab di dalamnya ada sejarah, norma, adat budaya, dan ideologi. "Mestinya tidak menjadi obyek liberalisasi. Internasionalisasi tidak berarti boleh buka seluas-luasnya akses dan investasi PT negara lain dan beroperasi Indonesia," kata Didik.
Sumber: http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=6377
Menyikapi Perguruan Tinggi Asing
WACANA merebaknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) sebenarnya sudah muncul sejak lama. Begitu pula kekhawatiran pelaku dan praktisi dunia pendidikan akan ancaman serbuan PTA ini juga sudah sering dikedepankan. Kenyataan selama ini, sudah banyak Perguruan Tinggi Asing yang "berjualan" di negeri kita, termasuk berani masuk ke "kandang macan" dalam arti menggelar program studi mereka untuk dipasarkan di kota yang dikenal sebagai kota pendidikan, katakanlah Yogyakarta.
Kenyataan yang harus diakui saat ini, setiap kali PTA tersebut mengadakan open house di beberapa hotel di Yogyakarta, selalu dibanjiri para pelajar SLTA yang entah hanya sekadar ingin tahu atau memang berminat untuk studi lanjut di luar negeri. Program dan fasilitas plus layanan yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi di luar negeri itu memang menggiurkan dan menawarkan banyak kemudahan dan kenyamanan.
Inilah yang sebenarnya perlu dijadikan bahan perenungan dan kajian mendalam, mengapa banyak lulusan SLTA atau orangtua yang dengan begitu mudahnya memilih perguruan tinggi di luar negeri dibandingkan perguruan tinggi di dalam negeri. Ini baru studi di luar negeri. Apalagi kalau kemudian PTA tersebut ada di depan mata kita, dan bertengger di kota-kota di Indonesia. Sehingga, sangat dimengerti manakala Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc memberikan warning, bahwa masuknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) ke Indonesia perlu dikaji ulang. Hal ini perlu agar PT di sini lebih dulu melakukan penguatan. Karena, kalau dibuka sekarang, akan banyak PT di Indonesia yang collapse atau gulung tikar.
Pernyataan Ketua Umum Aptisi ini dinilai penting, terutama terkait dengan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dibahas di DPR yang diharapkan dikaji secara hati-hati, khususnya PT asing yang akan diperbolehkan masuk ke Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia memang terkesan masih tambal sulam, dan terus mencari identitas. Nuansa nostalgia dengan Malaysia, misalnya, masih sering terdengar terkait dengan keberhasilan dan melajunya pendidikan di negeri jiran tersebut, yang sering dikedepankan bahwa "dahulu mereka belajar dari Indonesia".
Kenyataan bahwa ranking perguruan tingggi di Indonesia masih jauh di bawah perguruan tinggi lain di banyak negara di kawasan Asia, harus menjadi pemikiran bersama. Keprihatinan tentunya tak cukup sekadar merenung, meratapi, dan bernostalgia. Namun harus diikuti dengan langkah konkret, dimulai dari regulasi yang mendukung, termasuk dukungan anggaran yang "tak tanggung-tanggung", serta komitmen kalangan wakil rakyat disamping tentunya kalangan pendidik sendiri.
Kita harus segera melakukan langkah aksi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, termasuk penyediaan fasilitas dan layanan yang prima untuk peserta didik. Masih banyak perguruan tinggi yang memperlakukan anak didiknya lebih sebagai komoditas, bukan sebagai customer yang harus dilayani. Tak ada kata terlambat untuk mulai melakukan aksi nyata yang menunjukkan bahwa pendidikan kita tak kalah dengan PTA. Sehingga, jangan sampai ketika PTA hadir, kita semua terkaget-kaget dan kemudian hanya bisa meratapi.
Kenyataan yang harus diakui saat ini, setiap kali PTA tersebut mengadakan open house di beberapa hotel di Yogyakarta, selalu dibanjiri para pelajar SLTA yang entah hanya sekadar ingin tahu atau memang berminat untuk studi lanjut di luar negeri. Program dan fasilitas plus layanan yang ditawarkan beberapa perguruan tinggi di luar negeri itu memang menggiurkan dan menawarkan banyak kemudahan dan kenyamanan.
Inilah yang sebenarnya perlu dijadikan bahan perenungan dan kajian mendalam, mengapa banyak lulusan SLTA atau orangtua yang dengan begitu mudahnya memilih perguruan tinggi di luar negeri dibandingkan perguruan tinggi di dalam negeri. Ini baru studi di luar negeri. Apalagi kalau kemudian PTA tersebut ada di depan mata kita, dan bertengger di kota-kota di Indonesia. Sehingga, sangat dimengerti manakala Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc memberikan warning, bahwa masuknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) ke Indonesia perlu dikaji ulang. Hal ini perlu agar PT di sini lebih dulu melakukan penguatan. Karena, kalau dibuka sekarang, akan banyak PT di Indonesia yang collapse atau gulung tikar.
Pernyataan Ketua Umum Aptisi ini dinilai penting, terutama terkait dengan Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dibahas di DPR yang diharapkan dikaji secara hati-hati, khususnya PT asing yang akan diperbolehkan masuk ke Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia memang terkesan masih tambal sulam, dan terus mencari identitas. Nuansa nostalgia dengan Malaysia, misalnya, masih sering terdengar terkait dengan keberhasilan dan melajunya pendidikan di negeri jiran tersebut, yang sering dikedepankan bahwa "dahulu mereka belajar dari Indonesia".
Kenyataan bahwa ranking perguruan tingggi di Indonesia masih jauh di bawah perguruan tinggi lain di banyak negara di kawasan Asia, harus menjadi pemikiran bersama. Keprihatinan tentunya tak cukup sekadar merenung, meratapi, dan bernostalgia. Namun harus diikuti dengan langkah konkret, dimulai dari regulasi yang mendukung, termasuk dukungan anggaran yang "tak tanggung-tanggung", serta komitmen kalangan wakil rakyat disamping tentunya kalangan pendidik sendiri.
Kita harus segera melakukan langkah aksi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, termasuk penyediaan fasilitas dan layanan yang prima untuk peserta didik. Masih banyak perguruan tinggi yang memperlakukan anak didiknya lebih sebagai komoditas, bukan sebagai customer yang harus dilayani. Tak ada kata terlambat untuk mulai melakukan aksi nyata yang menunjukkan bahwa pendidikan kita tak kalah dengan PTA. Sehingga, jangan sampai ketika PTA hadir, kita semua terkaget-kaget dan kemudian hanya bisa meratapi.
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=6400
Tidak ada komentar:
Posting Komentar