Pendidikan Membutuhkan Pembiayaan!
Untuk mengenyam pendidikan formal, dan
juga non-formal, pastinya membutuhkan biaya; Itu adalah sebuah kepastian.
Sekecil apa pun kegiatan dalam upaya pembelajaran dan pendidikan, baik untuk
anak-anak, remaja, maupun dewasa, pasti membutuhkan biaya. Untuk mengajarkan
anak makan, minum, dan berpakaian, misalnya, pasti membutuhkan media, dan media
pastinya harus di”ada”kan (dihadirkan), dengan cara apapun (umumnya membeli),
dan pasti hal tersebut membutuhkan biaya untuk meng”ada”kannya”. Selain itu juga
perlu adanya pendidik, hanya saja dalam pembelajaran seperti ini orang tua
lebih banyak berperan, dan orang tua tidak perlu mengeluarkan pembiayaan untuk
orang lain.
Contoh lain, misalnya, seorang anak yang
ingin belajar bersepeda, pasti ia membutuhkan sepeda, sebagai media
pembelajaran. Untuk dapat mengendarai sepeda, tidak mungkin hanya dengan
belajar teoritis saja, tapi harus praktek. Nah, untuk menghadirkan sepeda,
pasti membutuhkan biaya, baik mengahdirkan sepedanya itu dengan cara membeli, menyewa,
ataupun meminjam (gratis). Membeli dan menyewa berarti orang tua harus
mengeluarkan uang untuk membeli atau menyewanya; sedangkan meminjam, pada
hakikatnya, ada yang mengeluarkan pembiayaan, yakni si pemberi pinjaman.
Intinya, sekedar menegaskan, tidak ada satu pun aktivitas pembelajaran dan
pendidikan yang tidak melibatkan unsure pembiayaan. Hanya saja kebanyakan orang
tua tidak menyadari bahwa setiap aktivitas pembelajaran, pasti membutuhkan
pembiayaan, sekecil apa pun.
Jika pendidikan dalam keluarga saja membutuhkan
pembiayaan, maka pendidikan formal (sekolah, kursus, dan lainnya) pun
membutuhkan pembiayaan. Sekolah (madrasah) dari mulai SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA,
dan PT atau tempat lainnya yang menyelenggarakan pendidikan formal sangat
membutuhkan pembiayaan (pendanaan) untuk menyelenggarakan proses pendidikannya.
Adalah bohong besar jika ada yang mengatakan bahwa “Kami menyelenggarakan
pendidikan gratis”, itu hanya jargon semata. Karena tidak ada satu pun
pendidikan yang tidak melibatkan pembiayaan alias gratis.
Jika Tidak ada Pendidikan Gratis, lantas bolehkah
Sekolah Memungut Biaya?
Perlu ditegaskan lagi bahwa tidak ada sistem
pendidikan apa pun yang dapat melepaskan diri dari pembiayaan. Hanya persoalannya,
siapakah yang menanggung biaya pendidikan tersebut? Pemerintah atau Masyarakat?
Pendidikan setaraf SD/MI, SMP/MTs, dan SMU/MA (terutama yang negeri atau
dikelola pemerintah) banyak aspek dari pembiayaan pendidikan yang ditanggung
oleh pemerintah, melalui APBN khusunya melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Biaya yang
ditanggung pemerintah tersebut adalah gaji (guru dan kepala sekolah), buku pelajaran
(buku daras), pembangunan sekolah, ATK, dan biaya operasional sekolah. Untuk keperluan
hal tersebut, orang tua tidak ikut langsung membiayainya, kecuali di
sekolah-sekolah swasta. Oleh karena itu, sekolah (terutama yang negeri)cdilarang
untuk memungut uang sepeser pun untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Jika ada
sekolah yang masih memungut pembiayaan untuk hal-hal tersebut, maka pihak
sekolah telah melanggar aturan yang ada.
Tetapi terkait dengan kebutuhan keseharian
anak, seperti seragam, buku tulis, jajan, makanan, dan ongkos, semuanya tetap
ditanggung oleh orang tua. Memang sebagian ada yang dibantu melalui “besasiswa”,
tetap tetap saja ada hal-hal yang harus dibiayai oleh orang tua. Dalam kondisi Negara
Indonesia seperti yang dirasakan hari ini, sulit rasanya, Negara dapat
menanggung seluruh pembiayaan pendidikan bagi warga negaranya. Tetap saja,
Negara membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
Keterlibatan orang tua ini terlebih sangat dirasakan oleh mereka yang
menyekolahkan anaknya di swasta, baik sekolah “biasa” maupun sekolah-sekolah “elit”.
Sekalipun sekolah-sekolah negeri telah
diharuskan membebaskan pembiayaan formal ketika masuk, misalnya, namun tetap
saja banyak sekolah yang masih “mengakali”, bagaimana supaya dapat memungut
biaya dari orang tua, dengan berbagai cara. Fenomena ini dapat saja dilihat
dari beberapa aspek. Pertama, kenekatan sekolah memungut tersebut
didorong oleh kenyataan bahwa terdapat kekurangan dari pembiayaan yang
diberikan pemerintah pada sekolah, terlebih jika sekolah terus ditekan pihak “atas”
(dinas atau provinsi) untuk terus berprestasi. Kedua, sekolah merasa “moment
penerimaan siswa baru” dapat dimanfaatkan sebagai celah untuk memungut biaya “liar”
(pungli), karena memanfaatkan “kegalauan” orang tua akarena takut anaknya tidak
dapat bersekolah di sekolah yang diinginkan. Mungkin pihak sekolah berpikir “dengan
sedikit pressure orang tua akan
menuruti apa saja keinginan sekolah asal anaknya dapat diterima di sekolah yang
diinginkannya. Fenomena pungli ini jelas salah, dan sekolah atau oknum sekolah
seperti ini jelas harus ditindak.
Untuk melihat bahwa pungli masih ada di
sekolah dan dilakukan oleh segelintir oknum sekolah, tulisan di bawah ini perlu
untuk disimak.
--------
Pungli Sekolah dan Sumbangan Sukarela
Oleh: Asril Umar
Oleh: Asril Umar
Sabtu, 26 November 2011 05:00 WIB
Saya beberapa kali mengikuti pertemuan antara orangtua murid dengan pihak sekolah (guru, kepala sekolah, komite sekolah) karena anak saya masih bersekolah di SD Negeri, SMP Negeri, dan SMA Negeri. Berikut beberapa kisah yang terjadi dalam sejumlah pertemuan tersebut. (Ada rekaman asli yang saya buat ketika mengikuti pertemuan tersebut.) Dalam sebuah pertemuan di salah satu SMP Negeri di Jakarta yang berkategori Sekolah Standar Nasional (SSN), pihak sekolah berkata: “Di sekolah kita ini tidak pernah ada pungli. Yang ada hanya lah sumbangan sukarela atas kesepakatan dari bapak dan ibu orangtua murid. Sekolah membutuhkan sumbangan karena dana yang diberikan oleh pemerintah sangat sedikit sementara kebutuhan sekolah sangat banyak.”
“Untuk meningkatkan prestasi murid-murid, sekolah harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tambahan dan pendukung kegiatan belajar-mengajar. Karena itu, sekolah meminta keikhlasan orangtua murid untuk menyumbang sebesar sekian juta rupiah pada tahun ini. Dibandingkan dengan tahun lalu, sumbangan tahun ini hanya meningkat sedikit.” “Rincian kegiatan dan kebutuhan anggarannya dapat dilihat di layar. Tapi mohon maaf, rincian ini tidak dapat kami bagikan. Yang pasti, penggunaan dananya dapat kami pertanggungjawabkan. Kami minta kepada bapak dan ibu untuk tidak membawa-bawa urusan sumbangan ini keluar dari sekolah. Kalau ada yang tidak puas dengan penjelasan di ruangan ini, silahkan menemui kami di ruangan guru atau ruangan komite sekolah.”
Sebuah penjelasan yang menurut saya amat sangat janggal dan melawan logika sehat. Banyak orangtua murid yang mempertanyakan penggunaan berbagai sumbangan yang dimintakan oleh pihak sekolah. Jawabannya kurang lebih begini: ”Semua itu ada pertanggungjawabannya dan sudah diaudit. Kami juga menyadari bahwa dana itu adalah uang bapak dan ibu yang disumbangkan dengan ikhlas untuk sekolah.”
Jadi penekanannya adalah "uang sumbangan" dan "ikhlas", jadi untuk apalagi mempersoalkannnya. Sumbangan yang diminta dari setiap siswa berjumlah tiga juta rupiah (semacam uang pangkal), ditambah sumbangan OSIS, sumbangan bulanan, sumbangan ekstra kurikuler, sumbangan Pendalaman Materi, dan lain-lain.
Hal serupa juga terjadi pada sebuah pertemuan di salah satu SMU Negeri di Jakarta dengan kategori SSN. Dengan alasan bahwa dana dari pemerintah sangat kecil serta untuk mempersiapkan murid-murid menghadapi dunia perguruan tinggi, maka pihak sekolah meminta sumbangan yang lebih tinggi lagi. Pihak sekolah mengajukan berbagai kegiatan pendukung belajar mengajar untuk meningkatkan ”prestasi” para murid.
Kebutuhan mobil operasional juga dirasakan sudah sangat mendesak sementara sekolah belum punya. Bahkan untuk mendukung disiplin, pihak sekolah membutuhkan mesin absen sidik jari bagi para murid. Sekolah perlu merenovasi gedung untuk kantin dan koperasi, membutuhkan mesin absen sidik jari untuk para siswa, perlu memperkenalkan sekolah ke berbagai perguruan tinggi, perlu biaya untuk mengikuti jambore atau olimpiade sains, membangun pagar dan gerbang yang lebih baik, dan lain sebagainya. Karenanya, pihak sekolah membutuhkan sumbangan dari orangtua murid karena begitu banyak kebutuhan dana yang tidak disediakan oleh pemerintah.
Mengenai penggunaan dana sumbangan yang jumlahnya hampir dua milyar rupiah setahun, pihak sekolah mengatakan bahwa semua ada pertanggungjawabannya dan Dinas Pendidikan juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan tahun sebelumnya. Katanya lagi, penggunaan semua dana itu transparan dan akuntabel karena sekolah telah memperoleh sertifikat ISO. Pihak sekolah pun berjanji dalam waktu dua hari akan membagikan rincian kebutuhan anggaran yang dananya dimintakan dari sumbangan orangtua murid. Sampai dua bulan berlalu, rincian tersebut belum juga dibagikan. Lagi-lagi penjelasan/uraian pihak sekolah bertentangan dengan akal sehat. Seakan-akan orang lain tidak mengerti dengan mekanisme penganggaran dan kewenangan mengaudit. Besarnya sumbangan yang dimintakan dari setiap siswa adalah tujuh juta rupiah (semacam uang pangkal) ditambah iuran bulanan dan lain-lain, yang kalau dijumlah dalam satu tahun setiap siswa baru harus menyumbang lebih dari 11,5 juta rupiah.
Di sebuah SD Negeri di Jakarta, penulis pun pernah berdiskusi dengan Kepala Sekolah. Beliau berkata: ”Bapak menitipkan anak kepada kami untuk dididik dan diajari selama enam tahun. Apakah bapak tidak berpikir untuk menghargai guru-guru yang mendidik anak bapak? Anak bapak kan sekolahnya gratis. Sedangkan sekolah ini masih banyak kebutuhannya. Karena itulah kami memintakan sumbangan sukarela dan ikhlas dari orangtua murid”.
Pembodohan dan mentalitas buruk
Menurut saya, pihak sekolah telah melakukan pembodohan ketika menyatakan bahwa penarikan sumbangan itu adalah kesepakatan orangtua murid. Entah kapan dan dimana orangtua murid membuat kesepakatan tersebut. Yang terjadi sebetulnya: sepakat atau tidak sepakat, setuju atau tidak setuju, ikhlas atau tidak, orangtua murid harus membayar berbagai sumbangan untuk sekolah tersebut. Yang tidak kurang ajaibnya, meskipun banyak orangtua yang mempersoalkan sumbangan-sumbangan yang ditarik pihak sekolah, para orangtua memilih untuk diam karena tidak ingin anaknya mengalami ”dampak yang tidak diinginkan” selama bersekolah.
Jadi, pihak sekolah telah menyebarkan mentalitas yang buruk yang berkembang di sekolah kepada masyarakat luas melalui murid-murid dan para orang tua murid. Penting untuk diingat dan disadari adalah bahwa periode usia antara 7-17 tahun merupakan masa penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan akan berpengaruh besar pada sang murid ketika telah dewasa. Jika selama periode tersebut seorang anak/murid diberi masukan atau muatan yang bagus maka ia akan menjadi seorang manusia dewasa yang bagus. Dengan kata lain, apa yang terjadi pada manusia-manusia Indonesia dewasa saat ini merupakan cerminan dari apa yang diterimanya pada masa usia sekolah dulu. Pada kesempatan lain, seorang guru pernah berujar di depan murid-muridnya bahwa dengan penghasilannya yang sembilan juta rupiah sebulan, masih belum dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Lalu apa manfaat alokasi anggaran pendidikan yang sudah melebihi 20% APBN? Padahal lebih dari separuhnya adalah untuk kesejahteraan guru. Di tahun 2011 ini, sekitar 127 trilyun rupiah dialokasikan untuk kesejahteraan sekitar 2 juta orang guru. Dengan kata lain, 10% APBN untuk kesejahteraan kurang dari 1% penduduk Indonesia. MENAKJUBKAN. Sayangnya, semakin pemerintah menginginkan sekolah supaya menghasilkan murid-murid dengan kualitas yang lebih baik, maka pihak sekolah akan meminta lebih banyak dukungan alias sumbangan dari para orangtua murid. Presiden SBY telah memberikan misi besar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu untuk membangun Karakter Bangsa. Lihat sajalah nanti hasilnya...
Redaktur: Johar Arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar