PESANTREN, MADRASAH, DAN SEKOLAH

PENJELAJAHAN RECITAL, INTELEKTUAL, DAN SPIRITUAL TAK BERTEPI

Home | Sastra Muslim | Dunia Islam | Studi al-Qur'an | Semiotika | Cross Cultural Understanding

Senin, 28 November 2011

Masih Adakah Pungli di Sekolah????


Pendidikan Membutuhkan Pembiayaan!
Untuk mengenyam pendidikan formal, dan juga non-formal, pastinya membutuhkan biaya; Itu adalah sebuah kepastian. Sekecil apa pun kegiatan dalam upaya pembelajaran dan pendidikan, baik untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa, pasti membutuhkan biaya. Untuk mengajarkan anak makan, minum, dan berpakaian, misalnya, pasti membutuhkan media, dan media pastinya harus di”ada”kan (dihadirkan), dengan cara apapun (umumnya membeli), dan pasti hal tersebut membutuhkan biaya untuk meng”ada”kannya”. Selain itu juga perlu adanya pendidik, hanya saja dalam pembelajaran seperti ini orang tua lebih banyak berperan, dan orang tua tidak perlu mengeluarkan pembiayaan untuk orang lain.
Contoh lain, misalnya, seorang anak yang ingin belajar bersepeda, pasti ia membutuhkan sepeda, sebagai media pembelajaran. Untuk dapat mengendarai sepeda, tidak mungkin hanya dengan belajar teoritis saja, tapi harus praktek. Nah, untuk menghadirkan sepeda, pasti membutuhkan biaya, baik mengahdirkan sepedanya itu dengan cara membeli, menyewa, ataupun meminjam (gratis). Membeli dan menyewa berarti orang tua harus mengeluarkan uang untuk membeli atau menyewanya; sedangkan meminjam, pada hakikatnya, ada yang mengeluarkan pembiayaan, yakni si pemberi pinjaman. Intinya, sekedar menegaskan, tidak ada satu pun aktivitas pembelajaran dan pendidikan yang tidak melibatkan unsure pembiayaan. Hanya saja kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa setiap aktivitas pembelajaran, pasti membutuhkan pembiayaan, sekecil apa pun.

Jika pendidikan dalam keluarga saja membutuhkan pembiayaan, maka pendidikan formal (sekolah, kursus, dan lainnya) pun membutuhkan pembiayaan. Sekolah (madrasah) dari mulai SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA, dan PT atau tempat lainnya yang menyelenggarakan pendidikan formal sangat membutuhkan pembiayaan (pendanaan) untuk menyelenggarakan proses pendidikannya. Adalah bohong besar jika ada yang mengatakan bahwa “Kami menyelenggarakan pendidikan gratis”, itu hanya jargon semata. Karena tidak ada satu pun pendidikan yang tidak melibatkan pembiayaan alias gratis.

Jika Tidak ada Pendidikan Gratis, lantas bolehkah Sekolah Memungut Biaya?
Perlu ditegaskan lagi bahwa tidak ada sistem pendidikan apa pun yang dapat melepaskan diri dari pembiayaan. Hanya persoalannya, siapakah yang menanggung biaya pendidikan tersebut? Pemerintah atau Masyarakat? Pendidikan setaraf SD/MI, SMP/MTs, dan SMU/MA (terutama yang negeri atau dikelola pemerintah) banyak aspek dari pembiayaan pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah, melalui APBN khusunya melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Biaya yang ditanggung pemerintah tersebut adalah gaji (guru dan kepala sekolah), buku pelajaran (buku daras), pembangunan sekolah, ATK, dan biaya operasional sekolah. Untuk keperluan hal tersebut, orang tua tidak ikut langsung membiayainya, kecuali di sekolah-sekolah swasta. Oleh karena itu, sekolah (terutama yang negeri)cdilarang untuk memungut uang sepeser pun untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Jika ada sekolah yang masih memungut pembiayaan untuk hal-hal tersebut, maka pihak sekolah telah melanggar aturan yang ada.
Tetapi terkait dengan kebutuhan keseharian anak, seperti seragam, buku tulis, jajan, makanan, dan ongkos, semuanya tetap ditanggung oleh orang tua. Memang sebagian ada yang dibantu melalui “besasiswa”, tetap tetap saja ada hal-hal yang harus dibiayai oleh orang tua. Dalam kondisi Negara Indonesia seperti yang dirasakan hari ini, sulit rasanya, Negara dapat menanggung seluruh pembiayaan pendidikan bagi warga negaranya. Tetap saja, Negara membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Keterlibatan orang tua ini terlebih sangat dirasakan oleh mereka yang menyekolahkan anaknya di swasta, baik sekolah “biasa” maupun sekolah-sekolah “elit”.
Sekalipun sekolah-sekolah negeri telah diharuskan membebaskan pembiayaan formal ketika masuk, misalnya, namun tetap saja banyak sekolah yang masih “mengakali”, bagaimana supaya dapat memungut biaya dari orang tua, dengan berbagai cara. Fenomena ini dapat saja dilihat dari beberapa aspek. Pertama, kenekatan sekolah memungut tersebut didorong oleh kenyataan bahwa terdapat kekurangan dari pembiayaan yang diberikan pemerintah pada sekolah, terlebih jika sekolah terus ditekan pihak “atas” (dinas atau provinsi) untuk terus berprestasi. Kedua, sekolah merasa “moment penerimaan siswa baru” dapat dimanfaatkan sebagai celah untuk memungut biaya “liar” (pungli), karena memanfaatkan “kegalauan” orang tua akarena takut anaknya tidak dapat bersekolah di sekolah yang diinginkan. Mungkin pihak sekolah berpikir “dengan sedikit  pressure orang tua akan menuruti apa saja keinginan sekolah asal anaknya dapat diterima di sekolah yang diinginkannya. Fenomena pungli ini jelas salah, dan sekolah atau oknum sekolah seperti ini jelas harus ditindak.
Untuk melihat bahwa pungli masih ada di sekolah dan dilakukan oleh segelintir oknum sekolah, tulisan di bawah ini perlu untuk disimak.


 --------

Pungli Sekolah dan Sumbangan Sukarela
Oleh: Asril Umar 
asril97@yahoo.com

Sabtu, 26 November 2011 05:00 WIB


Saya beberapa kali mengikuti pertemuan antara orangtua murid dengan pihak sekolah (guru, kepala sekolah, komite sekolah) karena anak saya masih bersekolah di SD Negeri, SMP Negeri, dan SMA Negeri. Berikut beberapa kisah yang terjadi dalam sejumlah pertemuan tersebut. (Ada rekaman asli yang saya buat ketika mengikuti pertemuan tersebut.) Dalam sebuah pertemuan di salah satu SMP Negeri di Jakarta yang berkategori Sekolah Standar Nasional (SSN), pihak sekolah berkata: “Di sekolah kita ini tidak pernah ada pungli. Yang ada hanya lah sumbangan sukarela atas kesepakatan dari bapak dan ibu orangtua murid. Sekolah membutuhkan sumbangan karena dana yang diberikan oleh pemerintah sangat sedikit sementara kebutuhan sekolah sangat banyak.” 
     “Untuk meningkatkan prestasi murid-murid, sekolah harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tambahan dan pendukung kegiatan belajar-mengajar. Karena itu, sekolah meminta keikhlasan orangtua murid untuk menyumbang sebesar sekian juta rupiah pada tahun ini.     Dibandingkan dengan tahun lalu, sumbangan tahun ini hanya meningkat sedikit.” “Rincian kegiatan dan kebutuhan anggarannya dapat dilihat di layar. Tapi mohon maaf, rincian ini tidak dapat kami bagikan. Yang pasti, penggunaan dananya dapat kami pertanggungjawabkan. Kami minta kepada bapak dan ibu untuk tidak membawa-bawa urusan sumbangan ini keluar dari sekolah. Kalau ada yang tidak puas dengan penjelasan di ruangan ini, silahkan menemui kami di ruangan guru atau ruangan komite sekolah.”
        Sebuah penjelasan yang menurut saya amat sangat janggal dan melawan logika sehat. Banyak orangtua murid yang mempertanyakan penggunaan berbagai sumbangan yang dimintakan oleh pihak sekolah. Jawabannya kurang lebih begini: ”Semua itu ada pertanggungjawabannya dan sudah diaudit. Kami juga menyadari bahwa dana itu adalah uang bapak dan ibu yang disumbangkan dengan ikhlas untuk sekolah.”
   Jadi penekanannya adalah "uang sumbangan" dan "ikhlas", jadi untuk apalagi mempersoalkannnya. Sumbangan yang diminta dari setiap siswa berjumlah tiga juta rupiah (semacam uang pangkal), ditambah sumbangan OSIS, sumbangan bulanan, sumbangan ekstra kurikuler, sumbangan Pendalaman Materi, dan lain-lain.
     Hal serupa juga terjadi pada sebuah pertemuan di salah satu SMU Negeri di Jakarta dengan kategori SSN. Dengan alasan bahwa dana dari pemerintah sangat kecil serta untuk mempersiapkan murid-murid menghadapi dunia perguruan tinggi, maka pihak sekolah meminta sumbangan yang lebih tinggi lagi. Pihak sekolah mengajukan berbagai kegiatan pendukung belajar mengajar untuk meningkatkan ”prestasi” para murid. 
       Kebutuhan mobil operasional juga dirasakan sudah sangat mendesak sementara sekolah belum punya. Bahkan untuk mendukung disiplin, pihak sekolah membutuhkan mesin absen sidik jari bagi para murid. Sekolah perlu merenovasi gedung untuk kantin dan koperasi, membutuhkan mesin absen sidik jari untuk para siswa, perlu memperkenalkan sekolah ke berbagai perguruan tinggi, perlu biaya untuk mengikuti jambore atau olimpiade sains, membangun pagar dan gerbang yang lebih baik, dan lain sebagainya. Karenanya, pihak sekolah membutuhkan sumbangan dari orangtua murid karena begitu banyak kebutuhan dana yang tidak disediakan oleh pemerintah. 
      Mengenai penggunaan dana sumbangan yang jumlahnya hampir dua milyar rupiah setahun, pihak sekolah mengatakan bahwa semua ada pertanggungjawabannya dan Dinas Pendidikan juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan tahun sebelumnya. Katanya lagi, penggunaan semua dana itu transparan dan akuntabel karena sekolah telah memperoleh sertifikat ISO. Pihak sekolah pun berjanji dalam waktu dua hari akan membagikan rincian kebutuhan anggaran yang dananya dimintakan dari sumbangan orangtua murid. Sampai dua bulan berlalu, rincian tersebut belum juga dibagikan. Lagi-lagi penjelasan/uraian pihak sekolah bertentangan dengan akal sehat. Seakan-akan orang lain tidak mengerti dengan mekanisme penganggaran dan kewenangan mengaudit. Besarnya sumbangan yang dimintakan dari setiap siswa adalah tujuh juta rupiah (semacam uang pangkal) ditambah iuran bulanan dan lain-lain, yang kalau dijumlah dalam satu tahun setiap siswa baru harus menyumbang lebih dari 11,5 juta rupiah.
       Di sebuah SD Negeri di Jakarta, penulis pun pernah berdiskusi dengan Kepala Sekolah. Beliau berkata: ”Bapak menitipkan anak kepada kami untuk dididik dan diajari selama enam tahun. Apakah bapak tidak berpikir untuk menghargai guru-guru yang mendidik anak bapak? Anak bapak kan sekolahnya gratis. Sedangkan sekolah ini masih banyak kebutuhannya. Karena itulah kami memintakan sumbangan sukarela dan ikhlas dari orangtua murid”.

Pembodohan dan mentalitas buruk
       Menurut saya, pihak sekolah telah melakukan pembodohan ketika menyatakan bahwa penarikan sumbangan itu adalah kesepakatan orangtua murid. Entah kapan dan dimana orangtua murid membuat kesepakatan tersebut. Yang terjadi sebetulnya: sepakat atau tidak sepakat, setuju atau tidak setuju, ikhlas atau tidak, orangtua murid harus membayar berbagai sumbangan untuk sekolah tersebut. Yang tidak kurang ajaibnya, meskipun banyak orangtua yang mempersoalkan sumbangan-sumbangan yang ditarik pihak sekolah, para orangtua memilih untuk diam karena tidak ingin anaknya mengalami ”dampak yang tidak diinginkan” selama bersekolah.
        Jadi, pihak sekolah telah menyebarkan mentalitas yang buruk yang berkembang di sekolah kepada masyarakat luas melalui murid-murid dan para orang tua murid. Penting untuk diingat dan disadari adalah bahwa periode usia antara 7-17 tahun merupakan masa penting bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan akan berpengaruh besar pada sang murid ketika telah dewasa.  Jika selama periode tersebut seorang anak/murid diberi masukan atau muatan yang bagus maka ia akan menjadi seorang manusia dewasa yang bagus. Dengan kata lain, apa yang terjadi pada manusia-manusia Indonesia dewasa saat ini merupakan cerminan dari apa yang diterimanya pada masa usia sekolah dulu. Pada kesempatan lain, seorang guru pernah berujar di depan murid-muridnya bahwa dengan penghasilannya yang sembilan juta rupiah sebulan, masih belum dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
         Lalu apa manfaat alokasi anggaran pendidikan yang sudah melebihi 20% APBN? Padahal lebih dari separuhnya adalah untuk kesejahteraan guru. Di tahun 2011 ini, sekitar 127 trilyun rupiah dialokasikan untuk kesejahteraan sekitar 2 juta orang guru. Dengan kata lain, 10% APBN untuk kesejahteraan kurang dari 1% penduduk Indonesia. MENAKJUBKAN. Sayangnya, semakin pemerintah menginginkan sekolah supaya menghasilkan murid-murid dengan kualitas yang lebih baik, maka pihak sekolah akan meminta lebih banyak dukungan alias sumbangan dari para orangtua murid. Presiden SBY telah memberikan misi besar kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu untuk membangun Karakter Bangsa. Lihat sajalah nanti hasilnya...




Redaktur: Johar Arif
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/11/11/25/lv7o21-pungli-sekolah-dan-sumbangan-sukarela
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.25
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

PROFIL

  • Dadan Rusmana
  • Unknown

Terjemahkan Blog Ini

Raga Berjarak, Hati Tetap Bersatu. Selamat Berbagi dan bersaudara Fillah
DAFTAR ISI

PENDIDIKAN ISLAM

  • Kebijakan Tentang Pendidikan (4)
  • Kurikulum Pendidikan Islam (2)
  • Manajemen Pendidikan Islam (3)
  • Pendidikan Islam (18)
  • Pendidikan Islam dan Radikalisme (1)
  • Pendidikan Islam di Amerika dan Eropa (6)
  • Pendidikan Karakter (1)
  • Standar Nasional Pendidikan (2)
  • Tokoh Pendidikan Islam Indonesia (3)

PESANTREN

  • Kebijakan Tentang Pesantren (2)
  • Pesantren (27)
  • Pesantren dan Radikalisme (6)
  • Titian Muhibah Dunia Pesantren (3)
  • kurikulum Pesantren (6)

MADRASAH

  • Kebijakan Tentang Madrasah (7)
  • Madrasah (17)
  • Madrasah Aliyah (3)
  • Madrasah Bertaraf Internasional (1)
  • Madrasah Ibtidaiyah (1)
  • Madrasah Tsanawiyah (1)
  • Madrasah di Asia Selatan (1)

SEKOLAH

  • Sekolah (5)

Tema Lainnya

  • Indeks Pembangunan Indonesia (2)
  • Kelamahan Pendidikan di Indonesia (1)
  • Niat mencari ilmu (1)
  • Perguruan Tinggi (5)
  • Profesionalisme Guru (1)
  • UN (1)

Entri Populer

  • Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren
  • Beberapa Kelemahan Dunia Pendidikan di Indonesia
  • Pendidikan Islam di Eropa: Jerman
  • MADRASAH DI INDONESIA: SEKOLAH TERBAIK
  • Beberapa Cara Salah Mendidik Anak
  • Indeks Pembangunan Manusia Indonesia: Masih Tetap di Jajaran Bawah

ARSIP TULISAN

  • ►  2014 (8)
    • ►  Februari (3)
      • ►  Feb 13 (1)
      • ►  Feb 11 (2)
    • ►  Januari (5)
      • ►  Jan 18 (5)
  • ►  2013 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 27 (1)
      • ►  Nov 19 (1)
      • ►  Nov 13 (1)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 26 (1)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 27 (1)
      • ►  Agu 22 (1)
  • ►  2012 (7)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 06 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 30 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 01 (1)
    • ►  Januari (4)
      • ►  Jan 22 (4)
  • ▼  2011 (55)
    • ►  Desember (7)
      • ►  Des 20 (2)
      • ►  Des 14 (1)
      • ►  Des 13 (1)
      • ►  Des 07 (2)
      • ►  Des 02 (1)
    • ▼  November (16)
      • ►  Nov 30 (1)
      • ▼  Nov 28 (3)
        • Fatamorgana Guru Desa dan Kota
        • Masih Adakah Pungli di Sekolah????
        • Skill dan Riset Perkaya Program Pesantren
      • ►  Nov 26 (3)
      • ►  Nov 25 (1)
      • ►  Nov 22 (3)
      • ►  Nov 20 (2)
      • ►  Nov 19 (1)
      • ►  Nov 10 (1)
      • ►  Nov 08 (1)
    • ►  Oktober (10)
      • ►  Okt 30 (1)
      • ►  Okt 28 (2)
      • ►  Okt 27 (2)
      • ►  Okt 23 (3)
      • ►  Okt 15 (1)
      • ►  Okt 01 (1)
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 29 (1)
    • ►  Agustus (1)
      • ►  Agu 03 (1)
    • ►  Juli (4)
      • ►  Jul 31 (1)
      • ►  Jul 18 (1)
      • ►  Jul 14 (1)
      • ►  Jul 07 (1)
    • ►  Juni (4)
      • ►  Jun 17 (1)
      • ►  Jun 16 (1)
      • ►  Jun 08 (1)
      • ►  Jun 02 (1)
    • ►  Mei (4)
      • ►  Mei 23 (1)
      • ►  Mei 21 (1)
      • ►  Mei 20 (1)
      • ►  Mei 16 (1)
    • ►  April (3)
      • ►  Apr 25 (1)
      • ►  Apr 23 (1)
      • ►  Apr 22 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 07 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 23 (1)
      • ►  Jan 13 (1)
  • ►  2010 (16)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 30 (1)
      • ►  Des 29 (1)
      • ►  Des 15 (1)
    • ►  November (4)
      • ►  Nov 21 (1)
      • ►  Nov 16 (1)
      • ►  Nov 08 (1)
      • ►  Nov 05 (1)
    • ►  Oktober (7)
      • ►  Okt 30 (1)
      • ►  Okt 29 (1)
      • ►  Okt 28 (1)
      • ►  Okt 24 (1)
      • ►  Okt 22 (1)
      • ►  Okt 14 (2)
    • ►  September (2)
      • ►  Sep 30 (1)
      • ►  Sep 29 (1)

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Daftar Blog

  • Critical Muslims
    Syrian Muslim intellectual and critic Muhammad Shahrur (Shahrour) (1938-2019)
  • EKSOTISME DUNIA ISLAM
    Islam Jadi Agama Terbesar Kedua di 20 Negara Bagian AS
  • SASTRA MUSLIM
    HARI YANG DIJANJIKAN: NAJIB KAILANI
  • STUDI AL-QUR'AN
    Keseimbangan Angka-angka Dalam Al Qur’an
  • SEMIOTIKA

Tulisan dan Karya Terbaru tentang Pesantren dan Madrasah

  • Manajemen Pesantren_ A. Halim dkk (Ed)
  • Masa Depan Pesantren_Dr. In'am Sulaiman, M.Pd

INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

  • INFO PESANTREN DI INDONESIA

Meniti Harapan

Meniti Harapan
dadanrusmana2011. Diberdayakan oleh Blogger.