Oleh Masyhuri AM
Sekretaris Majelis
Pertimbangan dan Pemberdayaan
Pendididkan Agama
Islam, MP3A)
Ujian
Nasional (UN) sesungguhnya hanya salah satu sarana untuk melakukan penilaian
serta untukmengetahui apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke
dalam kurikulum dapat dicapai atau tidak. Ibarat sebuah produk, UN dapat
dikategorikan sebagai tools untuk mengukur mutu produk (standard of quality
assurance). Ukuran tersebut harus bisa berlaku umum. Jadi, ujian merupakan
penerapan quality control management dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini
UN tidak hanya berfungsi un¬tuk menentukan standar kelulusan, tetapi juga untuk
mengukur mutu pendidikan secara merata di tingkat nasional. Selain itu, UN juga
dapat menjadi instrumen evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan secara
menyeluruh terhadap sekolah, guru, siswa, serta sarana/prasarana, termasuk
rancang bangun kurikulum.
Dengan
cars tersebut, sekolah, guru, orang tua murid, dan komite sekolah dapat secara
bersama-sama menyusun strategi tindak lanjut untuk perbaikan dan penyempurnaan
program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Tentunya
kegagalan para siswa dalam mencapai hasil belajar tak dapat dipandang sebagai
kegagalan siswa semata, tetapi lebih komprehensif dari segi pengajaran yang
diberikan atau mungkin kesalahan strategi dalam melaksanakan program,
terbatasnya fasilitas yang dimiliki, serta mungkin kinerja tenaga pendidik
berkualitas rendah.
Dilihat
dari fungsinya, UN adalah bagian dari proses penilaian. Sedangkan jenis
penilaian bisa formatif, summative, diagnostik, dan selektif. Penilaian
formatif dilakukan oleh guru pada akhir program belajar-mengajar untuk melihat
tingkat keberhasilan proses belajar-mengajar itu sendiri. Program penilaian
formatif berorientasi pada proses belajar-mengajar. Melalui ini diharapkan guru
dapat memperbaiki program pengajaran dan strategi pelaksanaannya. Adapun penilaian
summative adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program dan bertujuan
untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa setiap akhir caturwulan, akhir
semester, atau akhir tahun. Jenis penilaian ini ingin mengukur kompetensi dalam
mata pelajaran yang dinilai atau diujikan. Penilaian ini berorientasi kepada
produk, bukan kepada proses. Jadi, apabila tidak kompeten dalam mata pelajaran
yang dujikan atau yang dinilai, siswa dinyatakan tidak lulus.
Jenis
lain berkaitan dengan penilaian yaitu penilaian diagnostik. Penilaian ini
bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan siswa serta faktor-faktor
penyebabnya, dan dilakukan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran
remedial (remedial teaching), dan menemukan kasus-kasus. Oleh karena itu,
soal-soal dirancang untuk menemukan jenis kesulitan belajar yang dihadapi para
siswa. Penilaian jenis ini diharapkan menjadi alat diagnosis untuk mendeteksi
kelemahan-kelemahan proses pembelajaran di satu sekolah. Dalam konteks ini
ujian nasional dapat berfungsi ganda sebagai penilaian summative sekaligus
diagnostik. Fungsi summative dilaksanakan pada akhir program yang bertujuan
untuk melihat hasil akhir belajar siswa. Hasilnya menjadi rekaman laporan
kecakapan (record progress) bagi siswa dalam penguasaan materi tertentu.
Sedangkan ujian sebagai fungsi diagnostik didasarkan pada penyusunan kisi-kisi
soal yang didesain untuk menemukan jenis kesulitan dan mencari
kelemahan-kelemahan dalam proses pembelajaran. Pada gilirannya, hasil ujian
tidak hanya menjadi hasil prestasi siswa, tetapi sekaligus simbol keberhasilan
guru, kepala sekolah, dan sekolahnya.
Pro-kontra
UN
Kita
patut menghargai pro-kontra sekitar UN ini jika perdebatan tersebut murni
masalah standardisasi mutu pendidikan. Karena itu, penyelenggaraan UN bukanlah
hal yang tepat untuk dipertentangkan secara politis. Kecenderungan menarik
masalah UN ke wilayah politik pasti akan menimbulkan korban tafsir berikutnya.
Persoalan mutu pendidikan menjadi terlupakan. Jika perdebatan masalah UN hanya
ditarik ke arah persoalan yang sangat teknis, yakni lembaga mana yang berhak
menyelenggarakan, proses penganggaran yang lebih dahulu harus dibahas
oleh DPR, prosedur aturan yang perlu
ditetapkan dst, persoalan yang muncul bukan murni pengukuran kualitas
pendidikan lagi, melainkan sudah melebar ke wilayah lain. Hal ini kemudian
dapat menimbulkan persepsi berbeda tanpa pertimbangan mendalam kemudian
menafikan bahwa ujian tidak perlu diadakan. Di sisi lain, juga timbul persoalan
gengsi sekolah. Karena, bagi sekolah yang persentase kelulusan siswanya tinggi
dalam UN, sekolah tersebut ikut naik
pamornya. Masalah ini kemudian memunculkan persoalan baru, pihak sekolah
berusaha dengan segala cara untuk menggenjot siswa agar dapat lulus ujian.
Meskipun
setiap argumentasi memiliki alasan untuk bertahan pada sikap atau pendiriannya,
setidaknya kesadaran bersama diperlukan agar kualitas pendidikan tidak menjadi
korban. Update terakhir tentang human development index (HDI)
Indonesia yang berada di posisi 107 dari sekitar 188 negara menunjukkan bahwa
upaya pemulihan pendidikan harus menjadi prioritas bangsa ini ke depan. Karena
itu, polemik tentang UN seyogianya tidak terlalu dalam ditarik ke ranah politik
sehingga dapat membias ke dalam masyarakat dan membuat para praktisi pendidikan
semakin bingung. Secara ideal memang pelaksanaan evaluasi terhadap peserta
didik harus diwujudkan. Pertanyaannya: Apakah jika belum mencapai penyelenggaraan
yang ideal kemudian lembaga ujian tidak perlu diadakan, sementara sistem yang
lain belum ada?
UN
sebagai produk hasil belajar
Memang
basil belajar tidak sepenuhnya bisa dievaluasi oleh UN. Namun
dalam kaitan tes summative (ujian akhir), UN dapat menjadi kriteria pengukuran
produk hasil belajar, karena memang pengukuran ini berorientasi kepada produk
akhir, bukan proses. Mengutip pendapat tokoh psikologi pendidikan Carl Rogers
`bahwa seseorang yang telah menguasai tingkat kognitif, maka perilaku seseorang
sudah dapat diramalkan ke dalam ranah afektif dan ranah psikomotoriknya`. Yang
terjadi di sekolah saat ini memang evaluasi hasil belajar kognitif lebih
dominan, jika dibanding dengan evaluasi hasil belajar afektif dan psikomotorik.
Akan tetapi, bukan berarti kedua bidang tersebut diabaikan sehingga tidak perlu
dilakukan penilaian.
Dari
beberapa indikator kualitas pendidikan sejak reformasi bergulir tahun 1998,
cukup banyak dicatat kemajuan pendidikan di Tanah Air. Tidak lagi seperti
tahun-tahun sebelumnya, saat guru hanya mentransfer pengetahuan dan dipatok
dengan target-target kurikuler. Model pembelajaran ini dengan pendekatan
demokratis, mengisi banyak ruang kelas sekolah, guru dan siswa mempunyai posisi
sentral dan menjadi subjek pendidikan, sehingga prinsip pelajar tuntas (mastery
learning) menjadi lebih mungkin dicapai. Model pembelajaran demokratis menuntut
adanya rumusan standar nasional kompetensi lulusan pada setiap satuan
pendidikan (competency standard). Oleh karena itu, ujian akhir seperti
UN yang menggunakan criteria referenced assessment tetap diperlukan.
Problem
mendasar diskursus tenang UN hanya terjadi pada kriteria dan cara mencapainya
saja, karena secara faktual terdapat hampir 52% sekolah/ madrasah di Indonesia
berstatus swasta. Sebaliknya jika kita tidak memiliki basis national
standardized test yang baku dan menjadi acuan secara nasional, jelas hal ini
juga tidak menguntungkan dari aspek pengembangan mutu. Karena itu standar yang
baik dalam dunia pendidikan tetap diperlukan dalam rangka mengetahui standar
isi dan standar kompetensi yang berlaku di wilayah Indonesia. Banyak ahli
pendidikan yang kurang meyakini kemampuan sekolah swasta untuk mengukur secara
objektif kemampuan siswanya masing-masing. Ketika pemerintah memberikan kewenangan
kepada sekolah untuk memberi nilai sendiri, yang terjadi adalah menaikkan (mark
up) nilai. Fenomena ini menunjukkan betapa masih banyaknya sekolah-sekolah
swasta yang integritasnya terhadap mutu pendidikan masih rendah.
Kiranya
kita perlu melihat kembali persoalan ini dengan kepala dingin, hati yang
jernih, agar UN sebagai produk hasil belajar dapat meningkatkan pola
pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Belajar dari negeri tetangga seperti
Malaysia yang menetapkan angka kelulusan (passing grade) untuk mata
pelajaran matematika, bahasa, dan IPA dengan
6, sedangkan UN tahun ini hanya menetapkan 5,05 itu pun sudah menjadi kegaduhan
besar. Para pengkhidmat pendidikan perlu mengimbau pemerintah, DPR, dan LSM untuk
tidakmemperpanjang masalah UN menjadi menyimpang dari esensi persoalan upaya
peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar