www.hurriyet.com.tr
Jauh-jauh hari, pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika dan sekutu-sekutunya dengan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, Samuel Huntington memprediksi (bahkan mendesain) adanya "benturan peradaban" antara Barat dan Timur. Salah satunya adalah benturan peradaban antara Barat (baca: Amerika dan Eropa Barat) dengan Negara-Negara Muslim. Tesis-tesinya tentang hal itu diformulasikan dalam The Clash of Sivilization and Remaking of World Order (1998). Bukunya ini, dilengkapi dengan buku-buku sejenis dari penulis Barat lainnya, menjadi world view (pandangan dunia) politik Barat, yang memosisikan Timur (terutama dunia Islam) sebagai "kawan dalam pertikaian" (lawan) dari peradaban Barat. Karenanya, kemudian Barat berusaha untuk menghegemoni dunia Muslim, dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Puncaknya adalah Peristiwa "tragedi kemanusiaan" runtuhnya gedung WTC, New York USA, pada 11 September 2011, yang diklaim semakin menguatkan adanya clash of civilization--sebagaimana tesis Samuel Huntington--, yang menempatkan dunia Islam sebagai pihak yang berlawanan dengan dunia Barat (Eropa dan Amerika). Serangkaian tindakan terorisme yang terjadi di dunia Barat dan Timur semakin mengukuhkan stereotype Barat bahwa Muslim dan Islam itu radikal dan identik dengan teroris(me). Salah satu kecurigaan barat tersebut diarahkan pada sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan oleh komunitas atau pemerintah Muslim, termasuk di Indonesia.
Secara khusus di Indonesia, beberapa muslim yang diklaim sebagai bagian dari "muslim radikal keras" telah berkeitan erat dengan konflik bernuansa SARA dan juga teror bom di berbagai daerah merupakan alumni-alumni atau terkait dengan pendidikan Islam (madrasah dan pesantren). Karenanya, kecurigaan barat pun diarahkan pada sistem dan kurikulum yang diterapkan di pesantren dan madrasah di Indonesia, yang dicurigai mengajarkan "radikalisme". Di bawah ini, beberapa tulisan menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam di Indonesia, khususnya Pesantren, tidak lah mengajarkan radikalisme.
Menurut Wikipedia (d.wikipedia.org/wiki/Radikalisme), radikalisme dimaknai sebagai suatu paham yang menghendaki
adanya perubahan , pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat
sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan. menginginkan
adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan
masyarakat. kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencananya adalah rencana
yang paling ideal.
Dirjen
Pendidikan Islam: Pihak Asing Jangan Curigai Kurikulum Pendidikan Islam
Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Dirjen
Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali meminta kalangan asing jangan
mencurigai kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan Islam di Indonesia karena
materinya sudah sangat baik. "Seluruh materi yang disusun dan dimasukkan
sebagai kurikulum pada lembaga Islam sudah sejalan dengan pembangunan karakter
bangsa. Tidak ada yang menyimpang dari prinsip ajaran agama yang membawa
kedamaian bagi seluruh umat," kata Muhammad Ali saat memantau pelaksanaan
ujian nasional di Surabaya, Senin (25 April 2011).
Ia meminta jangan mencurigai
kurikulum bermuatan ajaran kekerasan karena radikalisme sangat bertentangan
dengan ajaran Islam yang "rahmatan lil alamin". Dirjen merasa penting
memberi penegasan itu terkait adanya penilaian dari pemerhati pendidikan asing.
Kalangan asing, kata Ali, menyebut jika ada tindakan kekerasan pihaknya
dituding memasukan muatan ajaran kekerasan dalam kurikulum pendidikan Islam. Ia
mengakui belakangan ini ada pemberitaan di media massa yang menyebut alumni
dari perguruan tinggi Islam terlibat dalam aksi teror, melakukan tindakan
kekerasan dan mampu merakit bom. Orang tersebut lalu dikaitkan dengan latar
belakang pendidikannya kemudian diberi label yang bersangkutan berasal dari lembaga
pendidikan Islam, katanya. "Pandangan dan pemberian label seperti itu
sungguh kejam," katanya.
Ia berharap semua pihak dapat memberi
pencerahan kepada publik bahwa pendidikan Islam yang diajarkan di Indonesia
adalah membawa kedamaian bagi seluruh umat. Dirjen juga berharap kasus
penculikan dan pencucian otak yang dilakukan di luar kegiatan kampus tidak
dikaitkan dengan eksistensi perguruan tinggi Islam. Pihak kampus sudah
memberikan materi pembelajaran yang terbaik bagi anak didik dan oleh karena itu
jangan menilai bahwa peristiwa cuci otak dan radikalisme lalu dikaitkan dengan
kurikulum sekolah atau perguruan tinggi Islam, katanya. Ia mengundang
pihak-pihak yang menaruh curiga bahwa kurikulum di institusi pendidikan Islam
tak sesuai dengan asas kedamaian dapat mengunjungi lembaga bersangkutan.
"Semua bisa melihat sebagaimana adanya," katanya.
Sumber:
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/04/25/lk7gnj-dirjen-pendidikan-islam-pihak-asing-jangan-curigai-kurikulum-pendidikan-islam-indonesia; Senin, 25 April 2011 18:16 WIB
Muzadi:
Pesantren Tak Ajarkan Rakit Bom
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Tokoh
Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa pengajaran di pondok-pondok
pesantren tidak mengajari santrinya merakit bom atau pun aksi terorisme.
"Pesantren merupakan institusi Islam yang selalu mengajarkan kedamaian.
Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi sampai
mengajari santri merakit bom," kata Hasyim Muzadi di Bogor, Jawa Barat,
Kamis (28/7/2011). Pernyataan Hasyim Muzadi disampaikan dalam "stadium
general" dengan tema "Peran Islam Moderat Bagi Ketahanan Bangsa dan
NKRI." Kegiatan tersebut dihelat secara bersama oleh Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama Kota Bogor, Pesantren Al-Ghazaly, dan Pemkot Bogor, yang
dipusatkan di kompleks Al-Ghazaly, Kotaparis, Kota Bogor.
Hasyim mengatakan, pesantren berdiri
dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Pesantren sejak berdiri, sekitar enam abad silam, tidak pernah mengajarkan
apalagi melakukan kekerasan. "Pesantren tidak pernah melakukan perlawanan
apalagi tindak kekerasan. Kecuali pada zaman penjajahan, pesantren terlibat
dalam gerakan mengusir penjajah. Sedangkan pada era sebelumnya dan sesudahnya,
pesantren tidak pernah terlibat kekerasan fisik," kata Hasyim Muzadi. Menurut
Hasyim, pesantren telah menjadi ciri khas budaya Islam Nusantara.
Pesantren mewarisi cara-cara
berdakwah yang dicontohkan para Wali Songo, dalam menyebarkan Islam di
Indonesia. "Pesantren pewaris perjuangan Wali Songo dalam menyebarkan
Islam secara damai. Pesantren tidak mengenal kekerasan, terorisme, apalagi perakitan
bom," ujar Hasyim Myzadi yang juga Rais Syuriah PBNU. Oleh karena itu,
pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal "International
Conference on Islamic Scholars (ICIS)" itu mengaku kaget dan heran dengan
fenomena dalam beberapa tahun terakhir, dimana sejumlah pesantren terlibat aksi
terorisme dan kekerasan. "Baru tahun-tahun sekarang ini ada pesantren yang
terlibat aksi terorisme, ada pesantren yang merakit bom dan menyerang aparat
kepolisian dengan celurit. Dulu, fenomena ini tidak pernah ada," papar
Hasyim.
Hasyim mengakui adanya fenomena
beberapa pesantren yang terlibat dalam aksi atau jaringan terorisme. Namun ia
keberatan bila hal tersebut disamaratakan. "Jumlahnya hanya beberapa buah.
Tidak mewakili populasi pesantren yang mencapai puluhan ribu buah. Jangan
digeneralisir. Kalaupun ada yang melakukan kesalahan, itu oknum yan harus
dikecualikan," demikian KH Hasyim Muzadi.
Sumber:
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/07/28/lp1jg9-muzadi-pesantren-tak-ajarkan-rakit-bomKamis, 28 Juli 2011 18:19 WIB
Ketua MUI:
Pondok Pesantren Bukan Pencetak Teroris
LOMBOK--Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) KH Ma`ruf Amin, mengatakan, pondok pesantren bukan lembaga yang mencetak
pelaku terorisme penebar teror bom. "Pondok pesantren bukan lembaga
pencetak teroris dan ini harus diluruskan," katanya pada acara Rapat
Koordinasi Daerah MUI wilayah III (Jatim, Bali, NTB dan NTT), di Senggigi
Lombok Barat, Selasa malam. Ia mengakui bahwa sebagian dari pelaku
peledakan bom di sejumlah wilayah di Indonesia pernah mengenyam pendidikan di
pondok pesantren. Namun, pondok pesantren tidak pernah mengajarkan tentang
berjihad dengan melakukan teror bom yang menyebabkan banyak korban jiwa. "Jadi
sebenarnya ada distorsi pemahaman tentang ajaran Islam, pelaku peledakan bom
tersebut menganggap bahwa perbuatannya merupakan jihad," ujarnya.
Ia mengatakan, salah satu pondok
pesantren di daerah Jawa memang mengakui bahwa ada di antara mantan santrinya
yang terindikasi pelaku peledakan bom di Jakarta. Namun, pondok pesantren
tersebut membantah bahwa telah mengajarkan sesuatu yang bertentang dengan agama
Islam dan menganggap bahwa ada oknum-oknum tertentu yang memprovokasi untuk
melakukan aksi peledakan bom. "Jadi sebenarnya, pelaku-pelaku
peledakan bom yang terjadi selama ini dengan mengatasnamakan agama terprovokasi
oleh orang luar bukan dari dalam pondok pesantren itu," ujarnya.
Oleh sebab itu, pandangan masyarakat
luas tentang pondok pesantren sebagai lembaga yang mencetak pelaku teror bom
harus diluruskan. "Kita harus meluruskan pandangan itu, jangan pondok
pesantren dicap sebagai pencetak santri peneror bom," tegasnya. Ia
mengatakan, pihaknya sudah menyatakan sikap tegas mengutuk sekeras-kerasnya dan
menganggap tindakan bom bunuh diri yang terjadi di Jakarta merupakan tindakan
yang diharamkan agama Islam.
Ajaran Islam mengajarkan untuk hidup
berdampingan secara damai (mua`hadah) dengan umat nonmuslim dan memposisikan
mereka bukan sebagai musuh. "Hidup berdampingan dengan sesama mahluk
Allah adalah wajib hukumnya apapun agama dan kepercayaannya tetap harus kita
hormati," ujarnya. Sementara itu, terkait dengan Jaringan Islamiyah
(JI), KH Ma`ruf Amin, mengatakan, pengikut JI sebenarnya tidak banyak dan
terbagi menjadi dua yakni ada menjalankan syariat agama sesuai dengan ajaran
Islam yang sebenarnya dan ada JI yang radikal. Anggota JI yang dinilai
radikal tersebut kemudian direkrut oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan
tindakan-tindakan anarkis yang bertentangan dengan ajaran agama. Menurut
dia, kondisi tersebut harus ditangkal dengan dua cara yakni dari aspek keamanan
jangan diberikan peluang untuk melakukan tindak kejahatan dan dari aspek
pemahaman. "Pemahaman radikalisme itu harus dibuang karena itu
salah," katanya.
Sumnber:
- http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/07/22/63949-ketua-mui-pondok-pesantren-bukan-pencetak-teroris; Rabu, 22 Juli 2009 10:31 WIB
https://youtu.be/95GxhqjHZ3E
BalasHapusSilahkan dihapus komen saya