Pesantren merupakan salah satu institusi pendidikan yang cukup tua di Indonesia. Tentunya jika dibanding dengan sekolah dan madrasah, pesantren telah eksis terlebih dahulu, tetapi dibanding dengan Mandala (bentuk lembaga pendidikan pada masa kerajaan Hindu) atau surau dan dayah, maka pesantren merupakan salah satu bentuk adaptasi-akomodatif kaum muslim terhadap sistem pendidikan yang ada pada saat berlangsungnya proses Islamisasi di Nusantara. Pesantren, bisa jadi diambil dari kata pe-santri-an (tempat para santri tinggal dan belajar), yang hampir mirip dengan pe-cantrik-an (tempat para siswa "Hindu" [cantrik]) yang tinggal dan belajar agama pada tempat tertentu (terutama asrama). Selebihnya, istilah santri dan cantrik mempunyai kemiripan, yakni ditujukan siswa yang sedang mempelajari, mencari, dan menginternalisasi nilai-nilai kebaikan, yakni keyakinan terhadap Dzat Pencipta Alam, ibadah, dan aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian, bisa jadi asumsi di atas benar, bahwa pesantren merupakan transformasi dari "pecantrikan" dalam sistem Mandala ke dalam sistem pendidikan Islam-Nusantara.
Sejak kelahirannya, pesantren terus berevolusi dan bermetamorfosis dari segi bentuk, fungsi, dan perannya. Dengan demikian, pesantren bukanlah sebuah realitas tunggal, tetapi merupakan realitas yang multistruktur, multifungsi, dan multiperan. Salah satu ciri utama dari lembaga pendidikan ini adalah pendidikan keislaman dan transformasi nilai-nilai keislaman. Pada masa awal, pesantren sangatlah sederhana. Bisa jadi "pesantren" hanya terdiri dari seorang Guru (Kyai/wali), santri (dalam artian orang yang belajar ngaji atau agama), dan aktivitas pengajian (dalam artian belajar membaca al-Qur'an dan ceramah keagamaan). Aktivitas tersebut mirip dengan "pengajian rumahan", atau "nggon" (pangaosan). Setelah peserta pengajian (dan komunitas muslimnya) telah cukup banyak, maka diusahakanlah untuk mendirikan mushalla, langgar, atau mesjid sebagai tempat untuk melakukan ibadah dan pengajian (baik dalam bentuk belajar menghapal dan membaca al-Qur'an, maupun dalam artian ceramah keagamaan). Apabila ada peserta pengajian yang ingin bermalam, maka mulanya hanya ditampung di rumah sang guru atau di mesjid. Hanya saja, setelah peserta pengajian cukup banyak dan tidak dapat lagi tertampung di rumah guru atau mesjid, jika ada santri yang menginap, maka mulailah didirikan pondokan-pondokan yang dimaksudkan untuk menampung santri-santri yang menginap, baik sebentar (dalam artian bermalam), maupun agak lama (mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan).
Dengan demikian, maka kini lengkaplah evolusi komponen-komponen pesantren, sebagaimana ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa sebuah pesantren umumnya terdiri dari 1) Kyai, 2) Santri, 3) Mesjid, 4) pondokan, dan 5) pengajian kitab kuning. Namun, sekali lagi, kelima unsur tersebut tidaklah sekali jadi, tetapi berevolusi, sehingga kelima unsur tersebut melekat menjadi identitas dan persayaratan bagi lembaga yang hendak dinamai dengan pesantren. Kelima unsur itu hanya salah satu model persyaratan bagi lembaga pesantren, dalam konteks sebelum tahun 1980-an dan dalam konteks pesantren yang menjadi lokus penelitian dari Zamakhsyari Dhofier. Pada masa penjajahan Belanda (dan Jepang) serta pada masa Indonesia masa orde baru dan orde lama, banyak pesantren yang memiliki kelima unsur tersebut; dan dapat dikatakan bahwa kelima unsur itu mutlak melekat pada diri lembaga pesantren.
Seiring berjalannya waktu, kini, batasan pesantren seperti itu, haruslah mendapatkan kajian ulang atau perlu adanya redefinisi "pesantren". Pertama, banyak lembaga pendidikan keislaman yang berlabel pesantren, tetapi tidak memenuhi kelima unsur di atas. Misalnya, pesantren-pesantren yang tidak memiliki "santri" mukim (santri yang mondok) apakah masih dapat disebut pesantren? Lembaga seperti ini, tidak sedikit, hanya mempunyai siswa-siswa yang bersekolah (di MI, MTs, MA atau lainnya) di pesantren tersebut, tetapi mereka kemudian disebut sebagai santri, padahal siswa tersebut hanya sekolah dan tidak mondok (dalam arti belajar agama di sana). Mereka biasanya, sekalipun disebut santri, disebut santri Kalong. Fenomena seperti ini, misalnya, dapat dilihat di Pesantren Cipasung. Pesantren ini memang memiliki santri mukim, tetapi tidak sedikit siswa yang hanya ikut bersekolah saja di tempat ini.
Kedua, banyak aktivitas "pengajian yang dilaksanakan di rumah" (pengajian rumahan) dan pengajian di mesjid-mesjid, yang memenuhi kelima unsur di atas. Mereka terdiri dari guru dan murid, mempunyai mushalla (yang digunakan untuk shalat berjama'ah dan aktivitas pengajian), terdapat pembelajaran kitab kuning dan ilmu agama, serta murid-muridnya bermalam dengan ditampung rumah gurunya atau di mesjid. Fenomena ini, seringkali tidak dianggap sebagai bentuk lain atau terkategori aktivitas kepesantrenan. Aktivitas mereka terkadang tidak terlabeli dan "enggan" dilabeli atau diakui sebagai model lain dari lembaga "kepesanternan."
Ketiga, banyak kegiatan (bernuansa keagamaan) yang kemudian dilabeli dengan pesantren. Misalnya, pesantren kilat, yakni kegiatan belajar agama yang umumnya diselenggarakan oleh sekolah untuk mengisi moment tertentu (misalnya Ramadhan). Dalam kegiatan pesantren kilat ini, pengajarnya, umumnya, adalah guru agama (kebanyakannya bukanlah seorang kyai), siswanya belajar di kelas (tidak di mesjid), tidak mondok, serta tidak mempelajari "kitab kuning". Contoh lain adalah pesantren "wisata" , pesantren yang disediakan untuk para bagi siswa wisatawan atau pelancong, yang hanya mampir dan mengikuti paket-paket pengajian tertentu. Kasus serupa dapat dinisbatkan pula terhadap aktivitas seperti Pesantren Sastra dan Pesantren Filsafat, yang menawarkan paket kajian sastra dan atau filsafat; hanya saja keduanya melabeli kegiatannya dengan pesantren. Dalam dua aktivitas terakhir ini, kelima unsur pesantren di atas hampir tidak ditemukan sama sekali.
Keempat, kemajuan modernisasi telah memunculkan fenomena Pesantren bentuk baru, misalnya fenomena pesantren kota dan pesantren virtual. Kedua fenomena pesantren ini merupakan realitas yang tidak dapat dinafikan.Pada kasus pertama, pesantren kota dimaknai sebagai aktivitas pengajian (belajar al-Qur'an, ceramah keagamaan, dll) melalui media elektronik, umumnya, radio dan via-telepon. Sang guru berada di studio, sedangkan yang diklaim santri-santrinya adalah pendengar-pendengarnya. Sedangkan, pesantren virtual adalah aktivitas pengajian melalui dunia maya (internet; melalui komputer, handphone, CD Interaktif, maupun lainnya). "Pesantren" jenis ini, narasumber (baca: guru) bisa tidak jelas alias anonimous, siapa saja dapat menulis di web tersebut; begitu pula dengan muridnya, asal punya kemampampuan membuka situs, ia dapat membaca sejumlah tulisan atau bahan-bahan yang dibutuhkannya. Medianya pun adalah web/situs di internet. Sang guru tidak menyeleksi (calon) muridnya atau pembacanya; pembacanya pun, umumnya, tidak terlalu peduli dengan siapa penulis atau nara sumbernya di pesantren virtual ini
Setidaknya, berdasarkan pada keempat alasan di atas, batasan pesantren terus berkembang, tidak kaku, dan tidak menjadi realitas tunggal. Warna-warni model pesantren di atas hendaklah dapat dijadikan kekayaan khazanah kelembagaan "pesantren" di Indonesia. Kekakuan mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memenuhi kelima unsur di atas dapat menegasikan dan menafikan aktivitas serupa yang mempunyai unsur, fungsi, peran, dan tujuan yang sama. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam dan intensif untuk melakukan redefinisi "pesantren" untuk menghindari kekakuan perspektif dan sikap memarginalkan realitas yang beragam. Pada sisi lain, redefinisi diperlukan sebagai teras (koridor) bagi terhindarnya penyalahartian eksistensi pesantren. Semoga....
Cileunyi, Bandung, 24 Oktober 2010
Dadan Rusmana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar