Tragedi runtuhnya Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) al-Ikhlas di Lebak pada hari Senin tanggal 03 Oktober 2011 telah memicu keprihatinan bersama. Kejadian ini menewaskan seorang siswa dan melukai tujuh orang siswa MDA yang berasal dari kampung Tambleg Desa Cidikit Kecamatan Bayah. Sementara itu, MetroTV (22/10/2011) menyebutkan bahwa sebuah madrasah di Sukabumi rusak parah dan hampir ambruk, yakni Madrasah Diniyah Nurul Hidayah di Kampung Cimanggu, Desa Cijurey, Kecamatan Geger Bitung, Kabupaten Sukabumi. Kejadian seperti ini memang bukan hal baru dan kali pertama, karena sebelumnya kejadian runtuhnya bangunan madrasah, sekolah, atau bangunan umum pendidikan lainnya kerap terjadi di Indonesia. Penanganan yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat seakan terasa lamban, atau memang lamban, dan terkesan juga saling menuding (menyalahkan) satu antara lainnya. Bahkan, pada sisi-sisi tertentu fenomena ini digunakan pula oleh pihak-pihak tertentu sebagai "intrik politik" untuk saling menjatuhkan; atau menggunakannya sebagai ajang "tebar pesona", sok jadi "Pro-rakyat."
Pada sisi lain, dikesani pula kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk memelihara dan membantu pengembangan fasilitas-fasilitas umum, termasuk lembaga pendidikan dirasakan semakin menyusut. Hal ini dapat saja disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, terlalu dominannya peran pemerintah atau "pejabat-pejabat" pemerintah dalam hal pembangunan, mungkin tepat pula disebut bagi-bagi "kue proyek pembangunan", yang dalam jangka panjang telah melumpuhkan atau memandulkan sensitivitas masyarakat dalam upaya berpartisipasi membangunan sarana-sarana umum. Kedua, menurunnya "kemandirian" dan "enterpreneurship" pengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam upaya "survive" (bertahan hidup) dan mengembangkan pendidikannya akibat "infiltrasi" dan "dispotensi madrasah dan pesantren" oleh pemerintah pada rezim Orde Baru, serta diakibatkan kebergantungan yang tinggi terhadap bantuan pemerintah. Ketiga, keterbatasan kemampuan finasial masyarakat, terutama di pedesaan, akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia satu dawarsa ini, sehingga menurunkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangan madrasah dan pesantren.
Terkait dengan adanya madrasah yang runtuh dan lembaga pendidikan Islam yang "gulung tikar", Menteri Agama Suryadharma Ali berharap mutu pendidikan Islam di tanah air akan semakin baik, apalagi saat ini ditopang dengan anggaran pendidikan yang dikelola Kementerian Agama mencapai Rp 27 trilyun. "Jangan sampai ada pondok pesantren atau madrasah dipandang sebelah mata," kata Menteri Agama pada sambutan peresmian Masjid Ummahatul Mukminin dan pelepasan jamaah haji di Pondok Pesantren Al Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu (9/10/2011). Satu sisi, pengakuan Menag inimeningindikasikan bahwa selama ini banyak madrasah dan pesantren yang dipandang "sebelah mata" oleh pemerintah dan sebagian masyarakat. Keberadaannya diakui "setengah hati", hanya dirangkul oleh pemerintah--dan terutama partai-partai- ketika ada mobilisasi dukungan politik saja.
Menag menilai, dirinya sekarang ini lebih dikenal sebagai menteri yang mengurusi haji. Dikenal pula sebagai menteri yang mengurusi tawuran antarumat beragama serta menteri yang mengurusi pembangunan rumah ibadah. "Padahal juga menangani pendidikan. Ada dua menteri yang menangani pendidikan yang besar; Menteri Pendidikan Nasional menangani sekolah dan Menteri Agama mengurusi madrasah, pesantren, perguruan tinggi agama baik Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Bahkan tahun ini anggarannya Rp 27 trilyun, bandingkan dengan APBN haji hanya Rp 250 milyar," papar Suryadharma.
Kesan masyarakat ini tidaklah salah sepenuhnya. Setidaknya karena aspek pengelolaan haji dan kerukunan umat beragama mendapatkan porsi publikasi (atau pemberitaan) yang cukup banyak dibanding pendidikan. Selain itu, pembangunan pendidikan yang dikelola kemenag sepertinya tidak dapat menjangkau seluruh lembaga pendidikan, hanya terbatas pada pendidikan formal (RA, MI, MTs, MA, PTAI), itu pun dengan jangkauan yang masih terbatas, terutama terbatas pada lembaga pendidikan yang berada di wilayah kota atau pinggiran kota. Sementara itu lembaga pendidikan non-formal dan dikelola masyarakat seperti pesantren, majlis taklim, mesjid-madrasah, tempat-tempat pengajian rumahan, dan lainnya, terutama berada di pelosok-pelosok desa masih belum banyak terakases. Karenanya wajar apabila banyak pengelola pendidikan Islam memandang bahwa Pemerintah telah memandang satu mata atau bahkan tidak memandang (atau mengakui) keberadaan mereka sama sekali.
Sebagai bagian dari apologi, Menag memandang bahwa pendidikan agama telah mengalami kemajuan dibanding masa lalu. Sudah cukup banyak prestasi yang diraih, seperti prestasi siswa MAN Insan Cendekia Serpong yang meraih medali pada olympiade sains, serta mutu siswa madrasah seperti di Sumatera Barat yang mencapai level pendidikan lebih tinggi. "Saat ini ada lembaga pendidikan agama yang bukan hanya mengajarkan Bahasa Inggris dan Arab, tapi mengajarkan juga bahasa Mandarin," katanya. Ia berharap, lembaga pendidikan pesantren terus mencetak kader ulama yang siap menghadapi tantangan. "Ulama yang bisa mengikuti perkembangan zaman, karena kita selalu bicara bahwa Islam selalu mengikuti perkembangan zaman," imbuh Menag.
Secara objektif, kemajuan kuantitas dan kualitas dalam pembangunan lembaga pendidikan Islam memang mengalami kemajuan. Sebagai indikatornya adalah jumlah lembaga pendidikan Islam semakin banyak, dan kualitasnya pun cukup baik. Namun rasio antara yang telah mengalami kemajuan dan dengan yang masih "tertatih-tatih", "statis", dan bahkan "gulung tikar", masih belum berbanding. Terkadang dikesani, pemerintah terus membantu dan membina lembaga-lembaga pendidikan yang sudah maju, sementara yang "belum maju" malah dibiarkan. Pada sisi lain, peningkatan kualitas lembaga dan sistem kurikulumnya juga berimbas pada naiknya standar pembiayaan yang ditanggung masyarakat untuk dapat memasukkan anak-anaknya ke lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Sehingga, siswa-siswa unggulan (cerdas dan berakhlak karimah) banyak yang kemudian tidak dapat bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut karena mahalnya biaya pendidikan.
Sumber:
- http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7849
- (http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2011/10/22/138298/Sebuah-Madrasah-di-Sukabumi-Hampir-Ambruk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar