Madrasah
dan Pesantren Bukan Lembaga Kelas Dua
Dalam
berbagai kesempatan, Menteri Agama, Suryadharma Ali (20/7/2011) berharap agar
mutu lembaga pendidikan agama di lingkungan Kementrian Agama, termasuk Madrasah
dan Pesantren, semakin meningkat, sehingga kesan bahwa Madrasah dan Pesantren
sebagai lembaga pendidikan kelas "dua" dapat diminimalisir dan
dihilangkan. Ia selalu mengatakan, "Madrasah dan Pesantren harus menjadi
nomor satu". Kesan Madrasah dan Pesantren sebagai tempat yang kumuh,
tradisional, terbelakang, dan terkungkung (tertutup) harus terus digerus dengan
pencitraan yang lebih positif dan baik. Untuk itu, kemenag dan madrasah harus mencari terobosan-terobosan kreatif untuk meningkatkan sistem pengelolaan, sistem pendidikan, dan kualitas output madrasah. Potensi SDM, Fasilitas, dan Sumber Daya Finansial, Madrasah (dan Pesantren) tidak kalah dengan lembaga pendidikan lainnya.
Baginya,
peningkatan anggaran pendidikan agama dan keagamaan harus diiringi oleh
peningkatan kualitas pendidikan agama dan kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Siswa-siswi Madrasah dan Pesantren harus "diantarkan" difasilitasi
dan dimediasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan memperoleh prestasi
akademis dan non-akademis sebaik mungkin. Dengan peningkatan bangunan fisik dan
fasilitas lainnya, seperti laboratorium bahasa, fisika, kimia, seni, dan olah
raga, madrasah dan pesantren dapat setara dengan lembaga pendidikan lainnya,
bahkan dapat berkompetisi serta melampauinya. Misalnya, pembelajaran "bilingualism"
telah lama dipraktekkan oleh banyak madrasah dan pesantren di Indonesia.
Selebihnya, alumni madrasah dan pesantren telah banyak yang dapat melanjutkan
studi lanjut di berbagai Perguruan Tinggi di luar negeri, baik di Timur Tengah
maupun di Eropa. Hal ini menunjukkan pengakuan PT di luar negeri terhadap
kualitas alumni madrasah dan pesantren
Madrasah
Harus Go International
REPUBLIKA.CO.ID
(Semarang) menyebutkan bahwa Kementerian Agama mendorong madrasah-madrasah
untuk terus meningkatkan kualitasnya hingga mencapai taraf internasional. Upaya
ini dimaksudkan agar madrasah mampu go
international, serupa dengan proyek RSBI yang digulirkan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (dulu Kemendiknas). Entah karena
terprovokasi Kemendiknas, atau memang sudah terdapat dalam setplan-nya, Kemenag
pun berusaha keras untuk mewujudkan (R)MBI.
Sekalipun
RSBI ini masih polemik dan hasilnya belum dievaluasi secara proporsional, namun
nampakya usaha pemerintah untuk mewujudkan sekolah bertaraf internasional masih
terus berlanjut. Setidaknya, terdapat beberapa faktor yang membuat (R)SBI ini
dianggap sebagai proyek "prematur".
Pertama, program (R)SBI
dirintis pada sekolah-sekolah yang ada atau ditempelkan pada sekolah yang
dinilai siap menyelenggarakan (R)SBI. Sebagian kalangan menyebut bahwa proses
"hybridasi (penempelen)" seperti ini mengandung kelemahan, karena
terkesan mendadak, tidak dipublish secara proporsional, dan menggunakan standar
yang tidak transfaran dalam menentukan sekolah yang layak dan laik
menyelenggaraka (R)SBI. Terdapat usulan, (R)SBI sebaiknya didesain pada sekolah
mandiri, yang sejak awal dipersiapkan untuk SBI, baik dari segi SDM, fasilitas,
pembiayaan, dll; dengan perencanaan dan implementasinya yang matang.
Kedua, siswa-siswi yang menikmati (R)SBI ini ternyata
lebih banyak berasal dari kalangan menengah ke atas (atau baru kalangan
"kaya" (berduit) saja), karena sekolah jenis ini menentukan tarif
tertentu dengan dalih program, fasilitas, dan kelonggaran regulasi. sementara
itu, kalangan miskin tidak dapat menikmati sekolah jenis ini karena
keterbatasan atau ketidakmampuan biaya. Ini jelas dapat dipandang sebagai
tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara (pemerintah) terhadap
masyarakatnya. Program subsidi silang atau beasiswa penuh (full
funding) yang sering digembar-gemborkan oleh pemerintah dan pengelola
(R)SBI pun banyak terkendala, mismanagement, bahkan jatuh pada
"pihak" yang salah.
Ketiga, ketika pemerintah melaunching program ini, banyak
sekolah yang mengajukan program ini karena hanya melihat nilai proyek yang
dikucurkan oleh pemerintah atau yang dapat diterima mereka. Sebagiannya, memang
memenuhi kualitas untuk naik tingkat menjadi SBI, tetapi sebagian lagi banyak
yang yang tidak memenuhi persayaratan atau potensi internalnya
morat-marit. Misalnya saja, ketika (R)SBI ini mengharuskan pembelajarannya
menggunakan "bilingualisme", banyak sekolah tidak mempunyai SDM yang
cukup untuk itu. Karenanya, sebagian (R)SBI itu hanya labeling semata,
sementara pembelajarannya masih pola lama. Hal ini menunjukkan ketidakmatangan
bersama untuk mewujudkan (R)SBI ini.
Keempat, karena perencanaan yang tidak matang, standardisasi
yang "semu", mismanagement, ketidaksiapan sekolah, dan persoalan
lainnya yang ada, telah menyebabkan sistem pendidikan (R)SBI tidak berjalan
sebagaimana mestinya, sebagaimana diharapkan pemerintah. Karenanya, kemudian
banyak sekolah yang mulanya ditempeli dengan (R)SBI, kini kembali menjadi
sekolah biasa. Ini menunjukkan bahwa program (R)SBI menyisakan agenda yang
banyak untuk diperbaiki oleh semua pihak, terutama oleh para pengambil
kebijakan.
Akankah
kelemahan (R)SBI tersebut dialami oleh kemenag dan lembaga-lembaga pendidikannya
juga? semoga tidak. Hal ini setidaknya karena banyak lembaga pendidikan di
lingkungan kemenag yang telah menerapkan bilingualism dan multilingualism dalam
pembelajarannya, terutama di pontren-pontren modern. Mereka tumbuh kembang
secara mandiri, bottom up dan evolutif, atau tidak dihybrid.
Hanya saja ketika program ini disokong atau ditangani kemenag, apakah
kemandirian ini akan semakin kuat atau sebalaiknya? apakah lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang kemudian mengajukan proposal untuk menuju "bertaraf
internasional" akan dapat memenuhi sejumlah persyaratan dan proses yang
ditetapkan? wallahu a'lam.
Peningkatan
Kualitas Penguasaan Bahasa Inggris dan Arab
Untuk
mewujudkan Madrasah Bertaraf Internasional (MBI), kemenag menempuh berbagai
upaya untuk hal tersebut. salah satunya melalui penguatan kemampuan bahasa Arab dan Inggris bagi guru-guru madrasah. Kemampuan ini selain untuk meningkatkan kualitas komunikasi guru dengan dunia luar, diharapkan pula penguasaan bahasa Asing akan berdampak pada sistem pembelajaran "bilingual" dan akhirnya berdampak pada peningkatan mutu alumni madrasah. "Sudah saatnya madrasah lebih (serius lagi) meningkatkan kualitas pendidikannya," kata Direktur Pendidikan Madrasah
Kementerian Agama, Dedi Djubaedi, usai pembukaan workshop bahasa Inggris bagi
guru madrasah se-Jawa Tengah, di Semarang, Selasa (25/10/2011). Workshop
bertajuk 'Practical Activities and Suggestions for Teaching English Using
Materials from Kang Guru Indonesia' itu digelar di Madrasah Tsanawiyah (Mts)
Darussalam, Ngadirgo, Mijen Semarang, mulai 25-26 Oktober 2011.
Kegiatan
tersebut diprakarsai oleh Forum Komunikasi MTs Satu Atap-The Australia
Indonesia Basic Education Project (AIBEP) dan Pemerintah Australia, diikuti
oleh sekitar 80 guru MTs yang ada di wilayah Jawa Tengah. Dedi mengaku,
pemerintah menyambut baik kerja sama yang dilakukan dengan Pemerintah Australia
dalam penguatan kemampuan berbahasa Inggris itu, sebab madrasah diharapkan
mampu bersaing secara kualitas di taraf internasional. "Kami berharap kerja
sama semacam ini terus dikembangkan, agar madrasah-madrasah bisa menjadi
sekolah bertaraf internasional dan berani bersaing dengan negara lain dalam
mencetak generasi melalui pendidikan," katanya.
Ketua
Forum Komunikasi SA-AIBEP, K.H. Saiful Rahman menambahkan, kerja sama semacam
itu merupakan kedua kalinya setelah pada 2007 lalu Pemerintah Australia bekerja
sama dengan Indonesia dalam pembangunan gedung madrasah. Pada 2007 lalu, kata
dia, kerja sama dilakukan dalam pembangunan gedung MTs Satu Atap yang pada 2010
lalu sudah rampung pembangunannya, kemudian dilanjutkan dengan kerja sama
terkait penguatan sumberdaya manusia (SDM). "Setelah pembangunan sekolah
selesai, kami bekerja sama kembali dalam meningkatkan kualitas guru madrasah,
terutama dalam kemampuan berbahasa Inggris. Ini perlu dalam pembelajaran mata
pelajaran bahasa Inggris," katanya.
Sementara
itu, Project Manager Kang Guru Indonesia, Kevin Dalton, selaku wakil dari
Pemerintah Australia, mengungkapkan kegembiraannya bekerja sama dalam kegiatan
itu, sebab respons yang diberikan ternyata sangat positif. Ia mengaku, sangat
menyukai Indonesia dan masyarakatnya, sekaligus berterima kasih terhadap
seluruh pihak yang mendukung kegiatan itu, seraya berharap kerja sama serupa
bisa lebih dikembangkan di masa yang akan datang.
Sumber:
saat ini madrasah memang masih dianggap kelas 2..., kami mengalaminya sendiri. bahkan u/ membangun kredibilitas kami di masyarakat, perlu perjuangan keras. meningkatkan sarana-prasarana, sdm, mutu pendidikan di madrasah kami. entah kenapa, mayoritas penduduk yg beragama islam, malah cenderung memandang sebelah mata. jika kita bersatu tnp adanya unsur curiga, mungkin madrasah2 di indonesia semakin maju... (tidak hanya kalangan berduit sj yg dpt membangun dan memfasilitasi madrasah yg sdh dibangun dgn modern). hmm... runyam jk pikirkan keadaan, terpenting usaha, doa, tak pernah henti... semoga seluruh madrasah di indonesia semakin jaya tanpa adanya diskriminasi... ^_^. terima kasih share-nya pak...
BalasHapus