Prolog
Pada dasarnya manusia dilahirkan memiliki fitrahnya tersendiri.
Rasulallah SAW bersabda, "Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah." (HR
Bukhari Muslim). Allah SWT juga menegaskan bahwa setiap jiwa manusia telah
berjanji untuk beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Firman Allah:
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): `Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: `Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi'."(QS al-A`raf [7]: 172). Hanya persoalan
kemudian, apakaha fitrah itu identik dengan karakter (character) dan
atau kepribadian (personality)?
Dalam Introduction to Psychology: Exploration and
Aplication, Dennis Coon mendefinisikan karakter (character)
sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan
dengan atribut kepribadian yang dapat atau ditolak oleh masyarakat. Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pemaknaan
karakter seperti ini membedakannya dengan kepribadian (personality).
Term terkahir ini dimaknasi sebagai sifat dasar yang dibawa saat manusia
dilahirkan, baik dia bersifat koleris, sanguinis, phlegmatic, maupun melankolis.
Makna Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang
menekankan pada pembentukan (internalisasi) nilai-nilai karakter positif (akhlak
karimah) pada setiap anak didik. Selain itu, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil (manusia paripurna).
Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Peserta Didik
1. Keberhasilan
dan Kesuksesan ditentukan oleh Karakter (Soft Skill)
Berdasarkan
penelitian di Harvard University, Amerika Serikat, (Ali Ibraham Akbar, 2000), kesuksesan
seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh kecerdasan intelektual,
pengetahuan, dan kemampuan teknis (hard skill)saja, tetapi lebih banyak
ditentukan oleh kemampuan mengelola diri, orang lain, dan lingkungannya.
Penelitian ini mengungkapkan, 80% kesuksesan ditentukan oleh kecakapan soft
skill-nya, dan 20% kesuksesan ditentukan oleh kecakapan hard skill-nya.
Penelitian
terbaru menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan pada kemampuan
mengelola tiga titik pusaran kesadaran, yakni manusia, Tuhan, dan alam. Setiap
orang yang mampu menyadari posisi dirinya dalam relasi tripartite
(Manusia-Tuhan-alam) memiliki ketahanan mental, survive (daya juang) dan
kreatifitas positif ketika menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
2. Pendidikan
Karakter Terbentuk dari Lingkungan
Pada
dasarnya, ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya, peserta didik (anak)
berusaha untuk mengembangkan pemahaman yang benar tentan bagaimana dunia dan
manusia bekerja atau mempelajari “aturan main” (sunnatullah) dari segala
aspek yang ada di dunia ini. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang
berkarakter baik (berakhlak karimah) jika dapat tumbuh pada lingkungan
berkarakter baik pula. TRekait dengan hal ini, Theodore Roosevelt, “To educate
a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (mendidik
seseorang hanya pada aspek kecerdasan, tanpa aspek moral, adalah mendidikan
ancaman (marabahaya) kepada masyarakat).
3. Indonesia
membutuhkan SDM yang Tangguh
Indonesia memerlukan sumberdaya
manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam
pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki
peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Siapa
Bertanggung Jawab Pada Pendidikan Karakter
Tempat pertama dan utama dari Pendidikan karakter adalah rumah
tangga dan masyarakat. Karenanya, sebuah pendapat mengatakan bahwa pendidikan
karakter terkait dengan persoalan keturunan (generative) dan kebiasaan (behavior).
Selebihnya, tempat pendidikan, seperti sekolah, madrasah, dan pesantren umumnya
adalah kelanjutan dan pembentukan lanjutan dari pendidikan karakter pada
keluarga.
Namun, umumnya, keluarga modern telah kehilangan salah satu
fungsinya, yakni fungsi edukasinya. Idealnya, rumah tangga berfungsi sebagai
tempat pendidikan, terutama pendidikan nilai, etika, bahasa, dan juga
kecerdasan intelektual dasar; Kedua orang tuanya berperan sebagai guru utama
bagi anak-anaknya. Hanya saja, fungsi keluarga seperti demikian telah tergerus
oleh perkembangan jaman, karir, kebutuhan ekonomis, dan lainnya. Karenanya,
lembaga pendidikan kemudian seakan-akan “mengambil alih” atau “diberi beban”
untuk menjadi lembaga pendidikan “sepenuhnya” bagi anak-anak.
Kini, sekolah (madrasah) dan pesantren menjadi tumpuan masyarakat
dan pemerintah untuk pendidikan karakter. Oleh karena itu, semua guru
mata pelajaran harus bertanggung jawab dalam pembentukan karakter siswa.
Kondisi ini agar materi dan metode penyampaian yang digunakan dapat mengarah
pada pembinaan moral dan kepribadiaan. Pendidikan karakter pada mata pelajaran
tertentu mungkin akan efektif, tapi pada umumnya tiap mapel harus ada kaitan dan
saling melengkapi. Hal ini karena tidak mungkin suatu pelajaran membentuk
karakter secara khusus, ungkapnya.
Agar semua pendidik dapat memahami pendidikan karakter kepada
siswa. Dalam penyampaian materi kepada peserta didik harus mampu
mengintegrasikan. Kalau guru SD mungkin bisa memberikan pembinaan secara
komprehensif, karena mengampu semua matpel. Tetapi untuk
tingkat SMP ke atas butuh integrasi agar tidak sulit membentuk
karakter. Misalnya, dia guru Biologi atau Matematika, maka mereka tetap harus
bertanggung jawab mengintegrasikan pembinaan moral kepada siswa.
Ciri
Pendidkan Karakter
Pendidikan karakter menurut FW Foerster (pencetus pendidikan
karakter dari Jerman; 1868-1966) memiliki empat ciri.
- Pendidikan karakter menekankan
setiap tindakan berpedoman pada nilai-nilai normative. Keteraturan
interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai
menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
- Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang
teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau
takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang..
Dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan
tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi
situasi baru.
- Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan
mengamalkan berbagai aturan dan norma yang diyakininya hingga menjadi
nilai-nilai bagi pribadinya. Di situ seseorang menginternalisasikan
aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat
dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain.
- Keteguhan dan kesetiaan. Kateguhan adalah daya tahan
anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Sedangkan kesetiaan
merupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilihnya.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan
manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern
sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku
alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter
inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya (Doni
Koeseoema, 2007).
Tempat pertama dan utama dari Pendidikan karakter adalah rumah
tangga dan masyarakat. Karenanya, sebuah pendapat mengatakan bahwa pendidikan
karakter terkait dengan persoalan keturunan (generative) dan kebiasaan (behavior).
Selebihnya, tempat pendidikan, seperti sekolah, madrasah, dan pesantren umumnya
adalah kelanjutan dan pembentukan lanjutan dari pendidikan karakter pada
keluarga. Oleh karena itu, pendidikan pun ikut mewarnai karakter dari
individunya.
Karakter Apa
Saja Yang Perlu Dididikkan?
Dalam
Islam, manusia digambarkan memiliki potensi baik (taqwa) dan buruk (fujur).
Potensi baik itu berupa:
- Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);
- . Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupaâqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.
- . Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs,jihâd dan amal saleh.
Potensi positif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang
bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh.
Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas,
komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dancompetency yang
bagus pula (professional).
Kebalikan dari potensi positif di
atas adalah potensi negatif. Hal ini itu disimbolkan dengan kekuatan
materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian,
pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai
material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan,
dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan.
Hampir sama dengan energi
positif, energi negatif terdiri dari:
a) Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr
(kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq
(kefasikan) dan syirik (kesyirikan)
yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk
etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi
makhluk yang serba material (asfala sâfilîn);
b) kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran
sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak
merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani)
dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu
akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain
Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût).
c) sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini
merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan
kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang
nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu
meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya)
dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang
yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal
alsayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini
dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang
memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan
pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Berdasarkan
hal tersebut maka, pendidikan karakter diarahkan pada pembentukan karakter baik
(akhlak mulia). Dari sekian banyak karakter positif, setidaknya, menurut
pandangan penulis, terdapat beberapa karakter yang perlu dididikkan,
diinternalisasi, dibiasakan kepada peserta didik, yakni:
1. Karakter
Mengimani dan Mencintai Allah.
2. Kemandirian,
Keteguhan, dan Tanggung Jawab
3. Kejujuran
dan amanah.
4. Hormat,
Rendah Hati, dan Sopan Santun
5. Dermawan,
Empatik, suka menolong, dan Gotong Royong
6. Percaya
diri dan Pekerja Keras.
7. Kepemimpinan
dan Keadilan.
8. Toleransi
aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar