Perhelatan mengenai apakah pesantren dan madrasah boleh menerima siswa non-muslim terus bergulir. Pro dan kontra pun muncul merespon wacana tersebut. Sebagian orang memandang bahwa pesantren dan madrasah adalah lembaga pendidikan terbuka dan inklusif, karenanya tidak ada alasan bagi kedua lembaga tersebut untuk menolak siswa dari kalangan non-muslim, terlebih bagi siswa (keluarga atau siapapun) yang mau mempelajari Islam atau bahkan hendak masuk Islam. Selama siswa (dan orang tuanya) tersebut mau menerima sistem yang diterapkan di madrasah dan pesantren, maka madrasah dan sekolah harus menerimanya dan memberikan pelayanan sebaik mungkin.
Hanya persoalannya apakah madrasah dan pesantren siap untukmemberi pelayanan yang baik ketika ada siswa non-muslim di lingkungannya? Jawabannya, seharusnyalah kedua lembaga pendidikan Islam ini siap menghadapi kondisi tersebut. Hal ini serupa dengan kasus siswa-siswi Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan non muslim, terutama sekolah-sekolah kristen. Banyak siswa muslim yang sekolah tersebut, tetapi tidak menemui kendala berarti ketika mengikuti pelajaran atau bersekolah dan mendapat pelayanan yang baik, kecuali "kekhawatiran" terjadinya konversi agama (sebagaimana dilontarkan oleh kalangan "kontra").
Bagi kalangan yang kontra, siswa non-muslim sebaiknya tidak melakukan studi di madrasah dan pesantren dengan alasan sistem pendidikan pesantren dan madrasah didesain untuk kalangan muslim, sehingga ketika siswa non-muslim memasuki salah satu dari keduanya atau kedua-duanya dikhawatirkan akan teralienasi, termarginalisasi, dan "merasa hak asasinya terkooptasi". Misalnya, jika siswa non-muslim untuk ikut belajar pada mata pelajaran keislaman (terutama muatan lokal), maka itu dikhawatirkan dipersepsi sebagai "pemaksaan" konversi (perpindahan agama). Jika, ia menolak mengikutinya dengan alasan tidak sesuai dengan keyakinannya, maka apakah pihak sekolah dapat memaksanya? jika memaksanya, apakah pihak sekolah tidak akan disebut "melanggar HAM"? Selanjutnya, keberadaan siswa non-muslim, sedikit banyaknya, mengharuskan pihak pesantren dan madrasah mengubah kurikulumnya, setidaknya untuk mengcover sebagian pembelajaran bagi siswa non-muslim.
------
REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -
Ulama Sumatera Barat, Buya Mas'oed Abidin, mengisyaratkan semestinya sudah ada
madrasah dan pesantren Islam yang mau menerima murid atau penuntut ilmu dari
kalangan non muslim, sehingga tercipta pemahaman yang benar secara multikultural.
"Sebab pendidikan multikultural bukan cara baru, dalam Islam terkenal
keluasan pikir Rasullulah SAW ketika menawan musuh-musuh Quraisy yang belum
Islam di Madinah," kata Buya Mas'oed Abidin di Padang, Senin.
Menurut Buya, ketika itu,
karena di antara mereka (tawanan Rasullullah, red) ada yang tidak mempunyai
kemampuan materi untuk membayar tebusan sebagai syarat pembebasan tersebut. Maka
Rasulullah SAW, katanya, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajar
sepuluh orang anak-anak Muslim sampai paham dan mengerti tulis baca dan
berhitung (matematika). "Setelah mereka menyelesaikan tugas tersebut, maka
mereka dimerdekakan," ujarnya hal ini suatu peristiwa historik bahwa
guru-guru non Muslim pernah dan boleh mengajarkan ilmu praktis di sekolah
Muslim. Peristiwa bersejarah tersebut, katanya, merupakan gambaran Islam
melaksanakan sistem pendidikan multikultural.
Akan tetapi yang mesti
dijaga adalah mereka guru-guru tersebut agar tidak mengajarkan akidah.
"Dalam dunia modern atau sejak zaman Banil Ahmardi Spanyol dan Bhada masa
Khulafak Rasyidin bahkan sampai sekarang di Mesir, Kairo menjadi tempat
menuntut ilmu-ilmu Islam oleh penuntut thalabah non Muslim," katanya. Bahkan
tidak sedikit yang tertarik mendalami dan memasuki akhirnya mentaati ajaran
Islam tersebut. Perlu dipahami bahwa ilmu itu benar dan tegas. Ilmu tidak hanya
milik satu keyakinan, ilmu adalah milik universal. "Makanya Rasul
memerintahkan tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat dan menuntut
ilmu itu wajib hukumnya," katanya.
Senin,
17 Oktober 2011 14:15 WIB
Perhelatan mengenai apakah pesantren dan madrasah boleh menerima siswa non-muslim terus bergulir. Pro dan kontra pun muncul merespon wacana tersebut. Sebagian orang memandang bahwa pesantren dan madrasah adalah lembaga pendidikan terbuka dan inklusif, karenanya tidak ada alasan bagi kedua lembaga tersebut untuk menolak siswa dari kalangan non-muslim, terlebih bagi siswa (keluarga atau siapapun) yang mau mempelajari Islam atau bahkan hendak masuk Islam. Selama siswa (dan orang tuanya) tersebut mau menerima sistem yang diterapkan di madrasah dan pesantren, maka madrasah dan sekolah harus menerimanya dan memberikan pelayanan sebaik mungkin.
Hanya persoalannya apakah madrasah dan pesantren siap untukmemberi pelayanan yang baik ketika ada siswa non-muslim di lingkungannya? Jawabannya, seharusnyalah kedua lembaga pendidikan Islam ini siap menghadapi kondisi tersebut. Hal ini serupa dengan kasus siswa-siswi Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan non muslim, terutama sekolah-sekolah kristen. Banyak siswa muslim yang sekolah tersebut, tetapi tidak menemui kendala berarti ketika mengikuti pelajaran atau bersekolah dan mendapat pelayanan yang baik, kecuali "kekhawatiran" terjadinya konversi agama (sebagaimana dilontarkan oleh kalangan "kontra").
Hanya persoalannya apakah madrasah dan pesantren siap untukmemberi pelayanan yang baik ketika ada siswa non-muslim di lingkungannya? Jawabannya, seharusnyalah kedua lembaga pendidikan Islam ini siap menghadapi kondisi tersebut. Hal ini serupa dengan kasus siswa-siswi Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan non muslim, terutama sekolah-sekolah kristen. Banyak siswa muslim yang sekolah tersebut, tetapi tidak menemui kendala berarti ketika mengikuti pelajaran atau bersekolah dan mendapat pelayanan yang baik, kecuali "kekhawatiran" terjadinya konversi agama (sebagaimana dilontarkan oleh kalangan "kontra").
Bagi kalangan yang kontra, siswa non-muslim sebaiknya tidak melakukan studi di madrasah dan pesantren dengan alasan sistem pendidikan pesantren dan madrasah didesain untuk kalangan muslim, sehingga ketika siswa non-muslim memasuki salah satu dari keduanya atau kedua-duanya dikhawatirkan akan teralienasi, termarginalisasi, dan "merasa hak asasinya terkooptasi". Misalnya, jika siswa non-muslim untuk ikut belajar pada mata pelajaran keislaman (terutama muatan lokal), maka itu dikhawatirkan dipersepsi sebagai "pemaksaan" konversi (perpindahan agama). Jika, ia menolak mengikutinya dengan alasan tidak sesuai dengan keyakinannya, maka apakah pihak sekolah dapat memaksanya? jika memaksanya, apakah pihak sekolah tidak akan disebut "melanggar HAM"? Selanjutnya, keberadaan siswa non-muslim, sedikit banyaknya, mengharuskan pihak pesantren dan madrasah mengubah kurikulumnya, setidaknya untuk mengcover sebagian pembelajaran bagi siswa non-muslim.
------
REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -
Ulama Sumatera Barat, Buya Mas'oed Abidin, mengisyaratkan semestinya sudah ada
madrasah dan pesantren Islam yang mau menerima murid atau penuntut ilmu dari
kalangan non muslim, sehingga tercipta pemahaman yang benar secara multikultural.
"Sebab pendidikan multikultural bukan cara baru, dalam Islam terkenal
keluasan pikir Rasullulah SAW ketika menawan musuh-musuh Quraisy yang belum
Islam di Madinah," kata Buya Mas'oed Abidin di Padang, Senin.
masalahnya bang, ada peraturan yg mengatakan bahwa sekolah umum wajib menyediakan pelajaran agama sesuai agama yg dianut siswanya. nah sekarang kalangan muslim banyak yg protes thdp sistem sekolah non muslim/kristen yg tdk memberikan pelajaran non muslim, sedangkan setahu saya tidak ada pesantren, madrasah yg mau memberikan pelajaran non muslim juga, tapi tidak ada tuh yg protes.
BalasHapus