Sebaiknya bila umat Islam tak hanya
mengetahui syariat atau aturan dalam agama, melainkan juga memahami apa hakikat
di balik syariat tersebut. Pemikiran inilah yang mendasari Pondok Pesantren (Ponpes)
Darunnajat yang terletak di Desa Pruwatan, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah, untuk memulai kiprahnya. Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes)
Darunnajat, KH Aminuddin Masyhudi, menuturkan bahwa sejak awal ia memang
terobsesi mengajarkan ilmu agama kepada para santrinya. Tidak hanya menekankan
pada sisi syariat, melainkan juga mengarahkan mereka untuk mengerti hakikat
dari perintah dalam ajaran agama tersebut. "Dengan demikian mereka akan
merasakan hal yang lebih dari sekadar menjalankan syariat," paparnya.
Aminuddin lebih lanjut menyontohkan,
ketika berpisah dengan Ramadhan, banyak Muslim yang bersuka cita telah
menyelesaikan ibadah tersebut. Hal itu, katanya, boleh saja dilakukan sebagai
tanda syukur kepada Allah. Namun, bagaimana agar umat Islam juga mendapat
pemahaman yang tidak hanya sebatas itu. Mereka, tak semestinya hanya memikirkan
kemampuan untuk menjalankan ibadah puasa. Secara hakikat seorang Muslim
mestinya bersedih dengan berlalunya bulan Ramadhan. Pasalnya, ibadah yang
dilakukan pada bulan penuh berkah itu dinilai berlipat oleh Allah SWT dan hal
itu tak berlaku lagi setelah Ramadhan usai. ''Muslim yang mengerti hakikat,
perpisahan itu merupakan sebuah bencana bagi dirinya. Bukankah selama Ramadhan
mereka mendapatkan hitungan pahala yang berganda, namun kini hitungan berganda
telah berkurang,'' jelasnya.
Bagaimana mengondisikan para santri
untuk mencapai harapan tersebut? Aminuddin menyatakan, sebelum para santri
belajar di ponpes, mereka diminta meluruskan niatnya agar tidak semata-mata
ingin mendapatkan ijazah. Pasalnya, dalam praktik belajar sehari-hari
Darunnajat lebih menekankan penempaan batin dalam mendorong para santrinya
memiliki kedekatan dengan Allah. Tak hanya mengkaji kitab kuning sebagai
rujukan utama, atau mengetahui hukum halal dan haram, tapi mereka pun diajak
menjalankan tuntunan agama secara intens dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
mereka secara rutin diajak untuk mengaji dan menunaikan shalat malam. "Ini
akan membuat batin mereka menjadi tenteram dan memiliki kekuatan untuk
menjalani dan memecahkan masalah kehidupan yang mereka hadapi."
Sebelum belajar di Ponpes Darunnajat,
para santri baru diwajibkan mengikuti kegiatan orientasi. Hal ini dilakukan
agar mereka tak merasa kaget dengan kegiatan ponpes. Bisa jadi mereka akan
menjalani kegiatan yang tak biasa dilakukan sebelumnya, shalat Tahajud
misalnya. Namun kemudian mereka kelak akan terbiasa bangun di sepertiga malam.
Bahkan pihak pesantren membentuk petugas khusus untuk kegiatan shalat Tahajud
ini. Aminuddin menyatakan bahwa latihan ini memang terasa sangat berat, maka
dibutuhkan keteladanan dari pimpinan maupun pengajar Ponpes Darunnajat.
"Alhamdulillah dengan keteladanan, para santri dengan semangat dan tabah
menjalani kegiatan tersebut."
Selain kajian kitab kuning, Darunnajat
juga melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti sekolah lainnya. Ponpes ini
tidak hanya mengadopsi kurikulum dari Departemen Agama (Depag), tetapi juga
menambahkan dengan muatan lokal. Bahasa Arab dan Inggris diajarkan sebagai muatan
lokal. Dan kedua bahasa ini wajib digunakan sebagai bahasa komunikasi
antarsantri. Meski, kata Aminuddin, aturannya tak seketat yang diterapkan di
pondok pesantren lainnya, seperti di Gontor. Karena itu, ia pun mengakui
keterbatasan kemampuan para santrinya dalam berbicara bahasa Inggris; terlebih
lagi ketrampilan menulisnya.
Meski demikian, Darunnajat tetap
berupaya meningkatkan kwalitas pendidikan para santri dengan menyediakan staf
pengajar yang berkompeten dalam bidangnya. Di antara para pengajar yang ada
adalah alumni dari Ponpes Darussalam Gontor yang sangat populer di tanah air,
Univeristas Islam Negeri, maupun alumni Darunnajat sendiri. Tak hanya itu.
Ponpes Darunnajat juga memberikan kegiatan ekstrakurikuler kepada para
santrinya dengan memberikan pelajaran komputer. Mereka juga dilibatkan dalam
organisasi santri yang bernama Perhimpunan Santri Darunnajat (Persada). Melalui
Persada itu, para santri dapat berlatih mengelola koperasi dan unit kegiatan
lainnya.
Ihwal keberadaan ponpes yang
dimpimpinnya sekarang, Aminuddin mengisahkan bahwa ponpes itu bermula dari
pengajian yang diadakan kakeknya ketika ia masih kecil. Sang kakek, KH Abdul
Ghani, pernah berucap bahwa di daerah ia tinggal kelak berdiri sebuah pasar.
Semula ia tak mengerti apa yang dimaksudkan kakeknya itu. Ternyata maksud
kakeknya adalah pasar ilmu, yang tak lain adalah pesantren yang diasuhnya
sekarang ini. Kegiatan itu pun kemudian dilanjutkan oleh ayahnya pada 1935.
Seiring dengan obsesinya dalam menularkan ilmunya kepada para santri, Aminuddin
kemudian memimpin dan mengelola pengajian itu yang akhirnya menjadi sebuah
pondok pesantren.
Ia sendiri sebelum akhirnya memimpin
pondok pesantren, membekali diri dengan ilmu pengetahuan agama. Pada 1967-1968,
ia menempuh ilmu di Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Selepas itu,
ia pun menggali potensinya di Ponpes Darussalam, Gontor, Ponorogo, pada 1973.
Setahun kemudian ia belajar di Assyafiiyah, Jakarta. Tampaknya, rasa dahaga
Aminuddin akan ilmu agama belum juga terpuaskan. Ia kemudian memutuskan
berangkat ke Kairo dan bermukim di sana selama empat tahun.
Usai belajar di Kairo, ia memutuskan
untuk kembali ke tanah kelahirannya, di Desa Pruwatan. Aminuddin tak
menyia-nyiakan kesempatan. Ia mulai turut serta menularkan ilmunya kepada jamaah
pengajian yang dikelola sang ayah, KH Masyhudi, di sekitar dan luar Desa
Pruwatan, setiap malam. Tak hanya itu, ia pun menularkan kemampuan berbahasa
kepada mereka. Hasilnya, tahun 1984 menjadi sebuah tonggak sejarah yang tak
dapat dilupakan karena ia mampu menampilkan delapan orang asuhannya untuk
berpidato bahasa Inggris, Arab, dan Belanda dalam sebuah lomba. Mereka pun
meraih kemenangan. Sejak saat itu pengembangan dilakukan, baik sarana untuk
belajar dan kegiatan lainnya. Kini pesantrennya telah berkembang cukup pesat
untuk ukuran Bumiayu. Darunnajat telah memiliki madrasah ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah. Santrinya pun kian bertambah, hingga sekarang
Darunnajat memiliki tak kurang dari 1.000 santri. Mereka tak hanya datang dari
dari daerah Pruwatan dan Bumiayu saja, melainkan juga ada dari Tegal, Brebes,
Losari, Cirebon, Medan, Palembang, dan Kalimantan.
ferry kisihandi/dokrep/Desember 2003
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tarbiyah/09/01/07/24730-menempa-santri-dengan-tahajud;
Rabu, 07 Januari 2009 22:36 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar