PESANTREN, MADRASAH, DAN SEKOLAH

PENJELAJAHAN RECITAL, INTELEKTUAL, DAN SPIRITUAL TAK BERTEPI

Home | Sastra Muslim | Dunia Islam | Studi al-Qur'an | Semiotika | Cross Cultural Understanding

Selasa, 20 Desember 2011

Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning

By: Martin van Bruinessen

       One of Indonesia's great traditions is that of Muslim religious learning as embodied in the Javanese pesantren and similar institutions in the outer islands and the Malay peninsula. The raison d'être of these institutions is the transmission of traditional Islam as laid down in scripture, i.e., classical texts of the various Islamic disciplines, together with commentaries, glosses and supercommentaries on these basic texts written over the ages. These works are collectively known, in Indonesia, as kitab kuning, "yellow books", a name that they owe to the tinted paper on which the first Middle Eastern editions reaching Indonesia were printed. The corpus of classical texts accepted in the pesantren tradition is - in theory at least - conceptually closed; the relevant knowledge is thought to be a finite and bounded body. Although new works within the tradition continue to be written, these have to remain within strict boundaries and cannot pretend to offer more than summaries, explications or rearrangements of the same, unchangeable, body of knowledge. Even radical reinterpreta­tions of the classical texts are not acceptable. The supposed rigidity of this tradition has come in for much criticism, both from unsympathetic foreign observers and from reformist and modernist Muslims themselves. In practice, however, the tradition appears to be much more flexible than the above sketch would suggest.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.31 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: kurikulum Pesantren, Pesantren

Jihad, ‘pesantren’ and terrorist encounters


By: Muhammad Adlin Sila* 
Canberra, Sun, 08/14/2011 7:00 AM

The Jakarta Post recently reported that the bombing in Umar bin Khattab Islamic boarding school (pesantren) in Sonolo, near the West Nusa Tenggara town of Bima, was related to Umar Patek, a wanted terrorist suspect arrested in Pakistan (The Jakarta Post, July 25, 2011).  Bima came to the police’s attention late last June, when a 16-year-old student was arrested for allegedly stabbing a policeman to death. The police believe the young boy was a member of an Islamic militant group and that the boy insisted he killed the officer as a reprisal for the police manhunt for jihadists. 
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.16 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren dan Radikalisme

Rabu, 14 Desember 2011

Kurikulum Pendidikan Islam Tidak Mengajarkan Radikalisme

    
www.hurriyet.com.tr 
     
         Jauh-jauh hari, pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika dan sekutu-sekutunya dengan Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, Samuel Huntington memprediksi (bahkan mendesain) adanya "benturan peradaban" antara Barat dan Timur. Salah satunya adalah benturan peradaban antara Barat (baca: Amerika dan Eropa Barat) dengan Negara-Negara Muslim. Tesis-tesinya tentang hal itu diformulasikan dalam The Clash of Sivilization and Remaking of World Order (1998). Bukunya ini, dilengkapi dengan buku-buku sejenis dari penulis Barat lainnya, menjadi world view (pandangan dunia) politik Barat, yang memosisikan Timur (terutama dunia Islam) sebagai "kawan dalam pertikaian" (lawan) dari peradaban Barat. Karenanya, kemudian Barat berusaha untuk menghegemoni dunia Muslim, dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.04 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kurikulum Pendidikan Islam, Pendidikan Islam dan Radikalisme, Pesantren dan Radikalisme

Selasa, 13 Desember 2011

PENDIDIKAN ISLAM UNTUK PERBAIKAN MORAL BANGSA

Islam adalah "ajaran" (teaching) dan nilai ilahiyyah (divinity values) yang akan membawa manusia ke jalan keselamatan (salima= selamat, damai). Karenanya, mengajarkan Islam sama halnya dengan mengajarkan dan membumikan nilai-nilai keselamatan dan kedamaian. Kesalamatan dan kedamaian dari Islam ini adalah bersumber dari ketaatan kepada sang Khalik (Allah Swt) dan aktualisasi dari pemeluk Islam untuk menyebarkan kasih sayang dan anugerah dari Allah swt untuk semulia-mulianya kehidupan.  Wajar apabila dikatakan bahwa keagungan Islam terletak pada keluhuran budi dan akhlaknya, sebagaimana Rasulullah bersabda bahwa "Tidaklah Aku di utus [ke muka bumi ini], terkecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia". Dapat dikatakan pula bahwa inti ajaran Islam adalah "akhlak", yakni akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, dan akhlak kepada alam.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 03.55 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam

Rabu, 07 Desember 2011

Menag Persilahkan Donatur Asing Bangun Lembaga Pendidikan di Indonesia

          Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk melaksanakan dan mengelola pendidikan di Indonesia mengharuskan adanya pembagian dan distribusi wewenang, tanggung jawab, dan partisipasi dari pihak non-pemerintah (atau NGO, non-Goverment organization) dalam sistem pendidikan di Indonesia. Karenanya, wajar apabila keterlibatan masyarakat, swasta, dan investor asing dalam wajah pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam.  Keterlibatan masyarakat, misalnya, muncul dalam bentuk pembiayaan rutin siswa karena pemerintah tidak dapat membiayai seluruh komponen pembiayaan pendidikan setiap siswa, sekalipun pemerintah mengembar-gemborkan "pendidikan gratis untuk rakyat". Realisasinya, pemerintah hanya membiayai dana rutin saja, sedangkan lainnya tetap ditanggungjawabi oleh masyarakat. Keterlibatan swasta sangat kentara dalam pendidikan di, baik  dalam pendidikan formal maupun non-formal. Pesantren adalah salah satu contoh representatif keterlibatan lembaga non-pemerintah dalam pengelolaan pendidikan. 
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 18.30 5 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kebijakan Tentang Madrasah, Kebijakan Tentang Pendidikan, Madarasah, Pesantren

Pesantren, Milik Ummat dan Tidak ada Pesantren Plat Merah

Data Pesantren di Indonesia  
         Berdasarkan hasil pendataan Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2008,  keseluruhan pesantren di Indonesia adalah berjumlah  25.785 pesantren. Berdasarkan sebaran geografisnya, pesantren-pesantren di Indonesia dapat didistribusikan sebagai berikut:
  1. Pulau Jawa : 77.8 persen
  2. Luar Jawa : 22.2 persen

       Persentase di atas dapat dimaknai bahwa kebanyakan pesantren terdapat di Pulau Jawa, sedangkan selebihnya berada di luar Jawa.  Hal ini terkait dengan aspek historis keberadaan pesantren di Nusantara, bahkan di dunia Islam. Secara antropologis, Pesantren dapat diposisikan sebagai "keunikan" dari lembaga pendidikan Islam karena memiliki kekhasan, yakni salah satunya berporos pada tradisi Jawa. Kekhasan ini tidak dapat ditemui sepenuhnya dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah-wilayah dunia Islam lainnya. Sekalipun demikian, terdapat hal yang perlu dimaknai juga, bahwa kini pesantren bukan lagi dicitrakan sebagai lembaga pendidikan khas Jawa, tetapi telah menjadi identitas nasional Indonesia. Pesantren telah diidentikkan dengan salah satu ciri khas pendidikan Islam Indonesia, atau terkait dengan identitas Islam Indonesia itu sendiri.      
    Berdasarkan kategori "Konsep dan Sistem Pendidikan Pesantren"nya, pesantren-pesantren tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yakni salafiyah (tradisional), 'ashriyyah (modern), dan campuran.
  1. Salafiyah : 41,5 persen
  2. Ashriyah/ Modern : 9,6 persen
  3. Campuran  : 48,9 persen
      Istilah salafiyah (tardisional) di atas perlu mendapatkan penjelasan, karena secara antopologis-sosiologis, istilah ini kini mengalami pembiasan. Istilah "salafiyah" jika diatributkan kepada pesantren berati pesantren yang menerapkan sistem pendidikan tradisional dalam proses pendidikannya, terutama kurikulum (pembelajaran)-nya, seperti menerapkan sistem sorogan dan bandongan. Istilah salafiyah juga digunakan oleh kalangan "Wahabiyah", yang dimaknai sebagai upaya kembali ke jalan salaf al-shalih dengan mengedepankan aspek pemurnian (puritanisme).

Tidak Ada Pesantren Plat Merah (Milik Pemerintah)
Kediri (Pinmas)--Menteri Agama RI Suryadharma Ali menegaskan pentingnya Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai salah satu pilar penyelenggaraan kegiatan pendidikan di Indonesia. Meski diakui Suryadharma, mayoritas Madrasah dan Ponpes di Indonesia dikelola oleh swasta, namun tak menghalangi kontribusi lembaga pendidikan ini dalam mencerdaskan masyarakat Tanah Air. "Ponpes 100 persen swasta. Tidak Ada Ponpes plat merah alias milik pemerintah. Sama halnya dengan madrasah 94 persen dikelola swasta yaitu oleh para kyai dan ulama. Tapi keduanya berkontribusi besar bagi Indonesia," ujar Menag saat mengunjungi Pondok Pesantren Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, Sabtu (3/12/2011).
Menag menyatakan, Kementerian Agama (Kemenag) RI secara khusus mengapresiasi dan selalu mendukung secara kegiatan belajar mengajar yang digelar oleh Ponpes maupun sarana pendidikan keagamaan lainya seperti madrasah. "Hadirnya berbagai Madrasah dan Ponpes sejak puluhan tahun silam menjadi semacam pintu masuk ilmu pengetahuan bagi bangsa Indonesia," tandasnya. Hal tersebut tambahnya, tidak terlepas dari peran ulama yang secara tulus mendedikasikan hidupnya untuk membangun Ponpes atau madrasah. "Saya salut kepada alim ulama. Karena tanpa alim ulama, buta huruf latin dan Alquran masih besar tapi dengan peran alim ulama melalui Ponpes atau Madrasah maka buta aksara bisa menurun," kata Suryadharma.
Kunjungan Menteri Agama ke Ponpes Al Falah ini dalam rangka memperingati khaul pendiri Ponpes Al Falah, K.H.Ahmad Djazuli. Menag menilai, kontribusi kiai Ahmad Djazuli terhadap pendidikan Islam dalam bidang Ponpes sangatlah besar. "Sungguh penghargaan luar biasa saya bisa menghadiri acara khaul ini. Karena khaul membawa kita untuk mengenang Kiai Ahmad Djazuli. Mengingat Apa yang telah dilakukanya selama ini sangat bermanfaat," kata Suryadharma di hadapan pengurus dan santri. Kiai Ahmad Djazuli mendirikan Ponpes Al Falah pada tahun 1925 silam. Dalam perkembangannya, Al Falah menjadi salah satu Ponpes Salafi terkemuka di wilayah Jawa Timur. Pesantren Salafi lainya yang cukup terkemuka yaitu Ponpes Lirboyo.
Suryadharma mengungkapkan, salah satu contoh kontribusi Kiai Ahmad Djazuli tersebut yaitu berdirinya Ponpes Al Falah. Ia memandang, Ponpes Al Falah telah menghasilkan alumni yang berprestasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Alumni Al Falah bersama lulusan Ponpes lainya di Tanah Air ini turut menjaga keimanan umat Islam di Indonesia. "Kekuatan alumni menjaga agama Islam dan umat Islam meningkatkan keimanan, hal ini tentu sangat luar biasa," katanya.
Hal tersebut tambahnya, tak terlepas dari peran alim ulama yang berada dalam lingkungan Ponpes Al Falah dan alim ulama lainnya dalam membimbing umat tanpa mengharapkan pamrih. "Saya juga kagum kepada alim ulama karena punya semangat luar biasa bimbing umat. Ulama mempunyai kekayaan luar biasa tapi hatinya didedikasikan dalam komitmen dan keikhlasan yang mendorong mengabdi kepada umat," kata Menag Suryadharma Ali.

Problem: Pesantren Masih dianggap Pinggiran
      Salah satu persoalan yang dihadapi oleh pesantren adalah persepsi "pinggiran" yang ada pada masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pesantren masih dipandang sebelah mata oleh Pemerintah jika dibandingkan dengan perhatian Pemerintah terhadap lembaga pendidikan "Berflat Merah" alias Negeri. Sebagian indikatornya adalah keberadaan pesantren dalam Undang-Undang, yang masih tidak proporsional (dibanding sekolah [negeri] dan PTN), akses pesantren terhadap sistem pendidikan nasional, sertaalokasi dana negara (APBN) terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas pesantren.
    Sebagai upayanya untuk menguatkan posisi pesantren (dan lembaga pendidikan Islam lainnya) [atau juga sekaligus untuk pencitraan politis], Menag secara implisit menyebutkan, "Jangan sampai ada pondok pesantren atau madrasah dipandang sebelah mata". Pernyataan ini, poada satu sisi, mengisyaratkan bahwa secara institusional, ponpes masih menghadapi kendala, yakni berada di pinggir atau dipinggirkan dalam konteks sistem dan proses pendidikan di Indonesia. Pada satu sisi, statemen ini juga merupakan upaya penyadaran kembali akan posisi pesantren--yang kini banyaknya di posisi "marginal" agar berupaya keras dapat bergeser ke posisi sentral. Salah satunya dengan integrasi dan adaptasi sistem pendidikan nasional.

Sumber:

  1. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=8851
  2. http://www.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=7849
Diposting oleh Dadan Rusmana di 18.04 2 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Jumat, 02 Desember 2011

Pendidikan Islam di Eropa: Jerman


          Pencarian pengakuan dan identitas dari para imigran Muslim, terutama Turki Muslim, di Jerman dan negara Eropa lainnya terus berproses. Upaya integrasi yang dilakukan oleh pemerintah, kaum muslim, dan lainnya terus dilakukan, agar eksistensi kaum muslim di sana dapat sejajar dengan penduduk Jerman lainnya. Upaya tersebut, sedikit demi sedikit membuahkan hasil, di antaranya "Masuknya studi Islam di berbagai lembaga kajian dan pendidikan'" di Jerman, bahkan Islam menjadi bagian dari kurikulum pendidikan bagi kalangan Muslim di Jerman, sebagaimana digambarkan dalam beberapa tulisan bagian awal. Pada bagian kedua, beberapa tulisan menggambarkan pro-kontra dari para petinggi Jerman mengenai Islam dan muslim dalam konteks eksistensi, integrasi, dan kontribusi kaum Muslim terhadap "kebangsaan dan peradaban" Jerman.    Tulisan-tulisan ini dikumpulkan dari situs http://www.republika.co.id, sebagaimana disebutkan dalam sumber (tulisan di bagian akhir), dengan beberapa modifikasi. 
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 16.48 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam, Pendidikan Islam di Amerika dan Eropa

Rabu, 30 November 2011

Beberapa Kelemahan Dunia Pendidikan di Indonesia


      Dadan Rusmana

     Perlu diakui bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan. Beberapa tulisan di bawah ini menunjukkan bahwa  setidaknya ada beberapa kelemahan wajah pendidikan kita, yakni 1) Kecerdasan Terlalu diutamakan, Pengabaian terhadap Pendidikan Akhlak, 2) orientasi pada dunia kerja yang berlebihan, namun tidak memiliki standar komptensi kerja, atau tidak memiliki link and match, 3) Pengembangan pendidikan kita tidak didasarkan pada riset yang proporsional, 4) desentralisasi atau otonomi daerah yang tidak berjalan sesuai dengan standar, dan 5) Kesenjangan antara regulasi dan implementasi.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 16.11 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kelamahan Pendidikan di Indonesia, Manajemen Pendidikan Islam

Senin, 28 November 2011

Fatamorgana Guru Desa dan Kota

     Sebuah tulisan yang cukup bagus dan sangat perlu untuk dibaca oleh siapa pun terutama bagi kalangan pendidikan dan pemerhati pendidikan. Tulisan di bawah ini berusaha menunjukkan diferensiasi (perbedaan) antara guru di desa (terlebih di daerah pedalaman) dan di kota. Sekalipun berprofesi yang sama, namun status dan pendapatan jelas ada perbedaan; waupun terkadang "kecukupan" hanyalah persepsi dan sangkaan belaka (fatamorgana).

-------

Oleh M As'adi


Enaknya menjadi guru di Ibu Kota Jakarta karena mendapat tunjangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang besarnya bisa mencapai Rp 2-4 juta per bulan. Namun, apakah memang seenak itu menjadi guru di kota besar?  Guru Pendidikan Kewarganegaraan SMAN 6 Jakarta Rusyanto (48 tahun) mengatakan, guru di Jakarta harus bekerja penuh waktu. Dari pukul 06.00 WIB sudah harus sampai di sekolah dan baru pulang pukul 15.00 WIB. 
Selain itu, jabatannya sebagai wakil kepala sekolah menuntutnya untuk meninjau kegiatan siswa hingga pukul 18.00 WIB. Karena itu, Rusyanto menilai layak diberikannya tunjangan kinerja daerah (TKD) kepada para guru. Rusyanto mendapatkan TKD Rp 3,4 juta yang dinaikkan secara berkala setiap dua tahun. Awal tahun ini, TKD yang ia terima meningkat drastis dari TKD sebelumnya Rp 2,3 juta.
Kenaikan TKD dilihat dari kinerja seperti kehadiran dan jam kerja. Jika sering terlambat dan cepat pulang berarti kinerjanya buruk. Di luar TKD, guru di Jakarta juga mendapatkan tunjangan profesi setiap enam bulan yang besarnya sama dengan gaji pokok, yakni Rp 3 juta. Ini untuk membantu guru yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. ''Tuntutan zaman sekarang berbeda. Guru SD zaman sekarang harus lulusan S1, berarti guru SMA harus lebih tinggi lagi,'' ujar pemegang gelar S2 dari Universitas Hamka itu. Rusyanto pun masih berharap pemerintah dapat memberikan dispensasi pada guru untuk bersekolah lagi. 
Jadi, enak apa tidak menjadi guru di Jakarta? Walau mendapat berbagai fasilitas tunjangan, menurut Rusyanto, menjadi guru di daerah banyak waktu luangnya sehingga bisa menambah nafkah dengan bekerja sambilan. ''Di daerah, guru bisa pulang jam 12 atau jam 1. Terus bisa kerja sampingan kayak garap sawah,'' kata Rusyanto enteng.
Benar juga pendapat Rusyanto mengenai guru daerah yang bisa bekerja sambilan itu. Tengok saja apa yang dilakukan Okta (30) yang setiap hari bangun pukul 04.30 WIB untuk memberi makan seribu burung puyuh yang dipelihara di belakang rumahnya di Jorong Taratak Nagari Kubang, Kecamatan Guguak, Kabupaten Limopuluah Koto, Sumatra Barat. 
Setelah memberi makan puyuh, Okta menunaikan shalat Shubuh, lalu bersiap-siap menaiki motornya ke SMPN 5 Guguak, tempat dia mengajarkan mata pelajaran Teknologi Informasi Komputer. Jarak sekolahnya cuma tujuh kilometer, namun lokasinya terpencil dan jalannya sulit, penuh tanjakan curam di perbukitan. Jangan tanya apa jalannya sudah diaspal.
Okta sudah mengajar sejak sekolah itu berdiri pertengahan 2009 silam. Karena masih baru, sekolah itu menerima banyak tenaga honorer dan bahkan hingga kini hampir seluruh gurunya masih berstatus tenaga tidak tetap. Jangan tanya soal gaji atau tunjangan guru honorer di sekolah itu. ''Rata-rata setiap bulan saya menerima Rp 75 ribu,'' ucap Okta. Itu belum termasuk potongan sebesar Rp 2.500 untuk iuran sosial. 
Penghasilan dari mengajar ini pun sumbernya bukan dari pemerintah daerah, melainkan sebagian kecil dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang seharusnya bukan untuk honor guru bantu. Jumlah itu jelas tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, bahkan tak cukup untuk membeli bensin motornya.
Jadi, guru seperti Okta terpaksa bekerja sambilan bukan hanya untuk menambah penghasilan, tapi bertahan hidup. Bahkan menilik dari rupiah yang didapat, profesi guru justru adalah sambilannya. Sementara, beternak puyuh menjadi penopang napas utama.
Meski enggan menyebutkan keuntungan yang diperoleh, Okta mengaku bersyukur usaha ternaknya itu masih mampu menyambung hidup bersama sang istri. ''Sementara saya mendengar ada guru-guru yang sudah sertifikasi, tapi masih mengeluh. Padahal penghasilan mereka sudah di atas lima juta,'' ujarnya.
Kerja sambilan juga dilakoni oleh Darmono (35), guru honorer atau bahasa kerennya wiyata bakti di SDN Tegalroso, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Istrinya, Nur Ulfa (27), juga guru honorer di SDN Campursalam, Parakan. Masing-masing hanya menerima honor Rp 100 ribu per bulan, satu persen dari gaji yang bisa diterima seorang guru yang sudah berstatus PNS yang bersertifikasi.
Apa akal untuk menyambung hidup? Darmono membantu usaha penganan rengginang milik sang mertua dengan menjadi tenaga pemasar. Kalau kebetulan petani Temanggung panen tembakau, Darmono alih profesi menjadi pengepul daun tembakau kering yang biasa dibuat cerutu. ''Meski kembang kempis, setidaknya kami bisa memenuhi kebutuhan hidup kami. Saya tidak tahu, secara matematis kami mestinya tak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami,'' kata Darmono.
Meski 'gaji' minim, jam mengajar Darmono sama dengan guru PNS, yakni 24 jam sepekan. Bahkan acap kali disampiri pekerjaan administrasi BOS atau administrasi sekolah karena tak ada tenaga tata usaha. Jika ada ujian, para guru honorer ini menjadi yang paling sibuk. ''Karena kamilah guru paling enthengan ketika kepala sekolah minta bantuan. Memang kadang ada honornya, tapi lebih banyak kerja bakti,'' kata Darmono. Di Kabupaten Temanggung, saat ini ada 1.300 GTT yang mengajar di SD. Berbagai kiat mereka lakukan untuk bertahan hidup. Eko Danang yang menjadi guru tidak tetap SDN 1 Parakan membuka les bahasa Inggris di rumahnya. Pramono yang mengajar di SMPN Kandangan membuka koperasi simpan pinjam. 
Sedangkan Ummi, guru SDN Bejen, Kecamatan Bejen, Temanggung, bersama teman-teman senasib dalam Forum Guru Tidak Tetap (Forgutt) merintis usaha membuat dodol dan sirup jambu biji. ''Kebetulan daerah kami sentra jambu biji. Untuk menambah penghasilan, kami tengah merintis usaha ini,'' katanya. Waktu luang bagi guru honorer di daerah berarti waktu untuk mencari pengganjal hidup, bukan mencari sertifikasi atau melanjutkan sekolah lagi, seperti sejawat mereka yang sudah menjadi PNS, terutama di kota besar. Peran mereka juga mulai tergusur dengan masuknya tenaga guru PNS muda. ''Kalau kita jujur, dedikasinya acap kali justru lebih bagus guru tidak tetap dibandingkan guru PNS. Tuntutan kami tidak berlebihan. Coba bandingkan dengan buruh yang punya standar penggajian, sementara guru tidak ada. Meski tidak jadi PNS, harapan kami setidaknya memiliki penghasilan layak,'' tambah Darmono.c27/c04/c29 ed: rahmad budi harto

Sumber: http://koran.republika.co.id/koran/14/148778/Fatamorgana_Guru_ Desa_dan_Kota; Selasa, 29 November 2011 pukul 08:52:00
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.39 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Sekolah

Masih Adakah Pungli di Sekolah????


Pendidikan Membutuhkan Pembiayaan!
Untuk mengenyam pendidikan formal, dan juga non-formal, pastinya membutuhkan biaya; Itu adalah sebuah kepastian. Sekecil apa pun kegiatan dalam upaya pembelajaran dan pendidikan, baik untuk anak-anak, remaja, maupun dewasa, pasti membutuhkan biaya. Untuk mengajarkan anak makan, minum, dan berpakaian, misalnya, pasti membutuhkan media, dan media pastinya harus di”ada”kan (dihadirkan), dengan cara apapun (umumnya membeli), dan pasti hal tersebut membutuhkan biaya untuk meng”ada”kannya”. Selain itu juga perlu adanya pendidik, hanya saja dalam pembelajaran seperti ini orang tua lebih banyak berperan, dan orang tua tidak perlu mengeluarkan pembiayaan untuk orang lain.
Contoh lain, misalnya, seorang anak yang ingin belajar bersepeda, pasti ia membutuhkan sepeda, sebagai media pembelajaran. Untuk dapat mengendarai sepeda, tidak mungkin hanya dengan belajar teoritis saja, tapi harus praktek. Nah, untuk menghadirkan sepeda, pasti membutuhkan biaya, baik mengahdirkan sepedanya itu dengan cara membeli, menyewa, ataupun meminjam (gratis). Membeli dan menyewa berarti orang tua harus mengeluarkan uang untuk membeli atau menyewanya; sedangkan meminjam, pada hakikatnya, ada yang mengeluarkan pembiayaan, yakni si pemberi pinjaman. Intinya, sekedar menegaskan, tidak ada satu pun aktivitas pembelajaran dan pendidikan yang tidak melibatkan unsure pembiayaan. Hanya saja kebanyakan orang tua tidak menyadari bahwa setiap aktivitas pembelajaran, pasti membutuhkan pembiayaan, sekecil apa pun.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.25 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Sekolah

Skill dan Riset Perkaya Program Pesantren

     Dua tulisan di bawah ini menunjukkan program pengayaan pesantren. Tulisan pertama ditulis oleh Nashih Nashrullah dalam http://koran.republika.co.id/koran/14/148774/ Perkaya_Program_Pesantren; Selasa, 29 November 2011 pukul 08:32:00. Sedangkan tulisan kedua merupakan reportase pendapat Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir dalam http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=1968

Selain agama, santri dibekali keterampilan
Diversifikasi program pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia akan menjadi fokus perhatian. Tujuannya, untuk meningkatkan daya saing pesantren. Ini berarti, para santri tak hanya berkutat pada pendalaman agama tetapi mereka juga didorong untuk menguasai keterampilan yang dapat diandalkan.  Nantinya, tak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat diminta ikut bergerak.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.00 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: kurikulum Pesantren, Pengembangan Pesantren

Sabtu, 26 November 2011

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia: Masih Tetap di Jajaran Bawah

Indeks Manusia Indonesia Hanya di Peringkat 124 Dunia
Pada laporan IPM 2011 yang dikeluarkan UNDP pada 2 November, Indonesia mendapat angka 0,617 dan menempati peringkat 124 dari 187 negara. Angka tersebut didapat dari perhitungan Gross National Income (GNI) per kapita (dalam PPP dolar AS), yaitu 3.716 dolar AS, angka harapan hidup (life expectancy at birth) 69,5 tahun, serta angka harapan anak usia sekolah (expected years of schooling) 13,2 tahun, dan rata-rata lama mengenyam bangku pendidikan bagi penduduk usia di atas 25 tahun (means years of schooling)  5,8 tahun. GNI adalah nilai dari seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan satu negara dalam satu tahun. GNI per kapita yang dihitung dalam purchasing power parity (PPP) atau kemampuan daya beli dalam dolar AS tersebut menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur IPM 2011 bersama dengan indikator lain di bidang kesehatan dan pendidikan.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.56 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Indeks Pembangunan Indonesia

Madrasah-Madrasah di Negeri "Singa"

Perkembangan Madrasah di Singapura: Overview
Madrasah di Singapura mengalami perkembangan cukup pesat pada tahun 1990-an seiring dengan meningkatnya antusiasme masyarakat muslim Singapura untuk menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an. Selain itu, keberadaan kaum imigran, terutama dari Arab dan India Muslim, telah mendorong perkembangan madrasah ini, dengan berdirinya madrasah-madrasah untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak imigran. Selain hal tersebut, “campur tangan” pemerintah untuk mengatur keberadaan madrasah ini pun turut andil mendongkrak popularitas madrasah ini.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 13.48 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah

Pendidikan Karakter

Prolog
    Pada dasarnya manusia dilahirkan memiliki fitrahnya tersendiri. Rasulallah SAW bersabda, "Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah." (HR Bukhari Muslim). Allah SWT juga menegaskan bahwa setiap jiwa manusia telah berjanji untuk beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Firman Allah: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): `Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: `Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'."(QS al-A`raf [7]: 172). Hanya persoalan kemudian, apakaha fitrah itu identik dengan karakter (character) dan atau kepribadian (personality)?
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 12.04 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam, Pendidikan Karakter

Jumat, 25 November 2011

Geliat Pendidikan Islam di Negeri Paman Sam

    Amerika sebagai negara metropolitan, multietnis, dan multireligius memberikan kebebasan bagi warga negaranya untuk terus melakukan kajian dan studi dalam berbagai bidang yang dapat mendorong kemajuan peradaban bangsa Amerika. Sebagian warga negara Amerika merupakan pemeluk agama Islam atau muslim. Sekalipun dalam bayang-bayang stereotype bahwa Islam (Muslim) identik dengan teroris, warga muslim Amerika, yang umumnya berasal dari kaum Imigran, terus melakukan upaya dakwah untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama perdamaian, agama keselamatan, dan rahmat lil 'alamin. Pasca keruntuhan WTC, 11 September, George W. Bush memukul genderang perang yang memojokkan kaum muslim di seluruh dunia dan menuduhnya sebagai teroris, akativitas kajian Islam di Amerika dan Eropa justeru terus meningkat. 
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.25 2 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam di Amerika dan Eropa, Perguruan Tinggi

Selasa, 22 November 2011

Alquran dan Bhagavad Gita diajarkan Bersama di Madrasah


Mengkaji dua kitab suci atau "Comparative Study of Holy Book", saat ini, masih merupakan bagian dari aktivitas Perguruan Tinggi. Di Universitas Islam Negeri (UIN) dan lainnya di Indonesia, pengkajian dua kitab suci atau lebih merupakan kajian khusus bagi jurusan Perbandingan Agama atau Prodi Religious Studies. Namun, hal itu pun hanya sekilas saja, tidak dilakukan secara intensif dan mendalam. Umumnya, di PT yang diberi "label" keagamaan tertentu, seperti IAIN/UIN/STAI atau Theologia, dll hanya memokuskan kajiannya pada kitab suci umat beragama tertentu. Sekalipun ada perbandingan dengan kitab suci agama lainnya, tetapi proporsinya tidak sebanding.

Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.06 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah

Siapkah Pesantren dan Madrasah Menerima Siswa Non-Muslim???


Perhelatan mengenai apakah pesantren dan madrasah boleh menerima siswa non-muslim terus bergulir. Pro dan kontra pun muncul merespon wacana tersebut. Sebagian orang memandang bahwa pesantren dan madrasah adalah lembaga pendidikan terbuka dan inklusif, karenanya tidak ada alasan bagi kedua lembaga tersebut untuk menolak siswa dari kalangan non-muslim, terlebih bagi siswa (keluarga atau siapapun) yang mau mempelajari Islam atau bahkan hendak masuk Islam. Selama siswa (dan orang tuanya) tersebut mau menerima sistem yang diterapkan di madrasah dan pesantren, maka madrasah dan sekolah harus menerimanya dan memberikan pelayanan sebaik mungkin. 

Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.03 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Pendidikan Islam, Pesantren

Pemerintah Masih Diskrimatif Terhadap Madrasah Swasta dan Pesantren

Anggapan Madrasah dan Pesantren sebagai lembaga pendidikan "kelas dua" masih terus ada. Hal ini bukan hanya ada dalam persepsi pemerintah dan sebagian masyarakat, tetapi tercermin dalam berbagai aturan perundang-undangan dan kebijakannya. Dalam hal ini, misalnya, Pemerintah masih dinilai bersikap diskriminatif terhadap Pesantren dan Madrasah Swasta, baik dalam penyusunan regulasi (undang-undang, peraturan pemerintah, dan aturan lainnya) maupun dalam implementasinya di lapangan. Dari hal regulasi, diskriminasi pemerintah terhadap Pesantren dan Madrasah Swasta dapat ditimbulkan dari sisdiknas. Hal ini tercermin dari sistem regulasi pendidikan di Indonesia, terutama UU Sisdiknas nomor 20 Tahun 2003 pasa 55 ayat (4), sebagaimana tercermin dalam tulisan berikut.
 --------
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah wajib memberikan bantuan teknis, subisi dana, dan sumberdaya lainnya secara adil dan mereta ke lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Pasalnya, selama ini berlaku sikap tidak adil dan diskriminatif baik dari pemerintah pusat ataupn daerah terhadap lembaga pendidikan swasta. Terutama madrasah dan pesantren. Kesimpulan ini, menurut  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU, Said Aqil Siraj, menyusul diputuskannya Amar Putusan MK 58/PUU-VIII/2010 hasil uji materi terhadap UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 55 ayat (4), pada 23 September 2011.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.22 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kebijakan Tentang Madrasah, Kebijakan Tentang Pendidikan, Kebijakan Tentang Pesantren, Madrasah, Pendidikan Islam, Pesantren

Minggu, 20 November 2011

Model Pendidikan KH Ahmad Dahlan Layak Untuk Pengembangan Keberagamaan Keberagamaan

Drs. Suliswiyadi, M. Ag., (45 tahun) mengatakan, SLTA Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Magelang masih menerapkan pola pendidikan  hasil pemikiran Kyai Ahmad Dahlan. Dalam pemikirannya, Kyai Ahmad Dahlan pernah menyampaikan bahwa, pelajaran agama pada sekolah-sekolah  H I K  Muhammadiyah adalah pelajaran yang memberikan bekal ibadah bagi diri anak didik dan kepada Tuhan. Pelajaran agama adalah syarat-syarat untuk menunaikan dan menjalankan rukun iman, melakukan rukun Islam, dan mengajarkan akhlak budi pekerti yang baik sebagai kewajiban seorang Islam. Kyai Ahmad Dahlan juga mengatakan, “dengan terus terang  kami akui, kami membuat satu  perguruan Muhammadiyah yang kelah dapat diserahi sekolah schakel,  H I S dan kursus Belanda. Maka H I K Muhammadiyah harus terus dijaga dan tunjukkan kepada anak didik berbagai macam pengetahuan seperti  H I K openbaar. Pelajaran agama hendaknya menjadi rukun hidup bagi semua anak didik. Pemikiran Kyai Ahmad Dahlan tersebut sampai saat ini masih melekat menjadi pembelajaran keberagamaan di SLTA di wilayang Kabupaten Magelang.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.00 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Sekolah

Dua Karakteristik Pesantren di Sumatera Selatan



Pesantren bukanlah hanya dimiliki oleh Jawa, tetapi juga ada tersebar di berbagai wilayah lain di Nusantara, di Sumatera dan di Sulawesi. Karenanya, kini pesantren tidak lagi menjadi  "penciri"  lembaga pendidikan Islam-tradisional Jawa, tetapi telah menjadi salah satu "penciri" sistem kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia.  Bahkan, di luar Indonesia pun, pesantren telah mulai bersemai, seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Filipina. Sekalipun demikian, masing-masing pesantren mempunyai karakteristik khasnya masing-masing, baik dalam bentuk kelembagaan/manajemen, corak keilmuan (intelektual), pembelajaran life skill, maupun alumninya. Karakteristik tersebut ditentukan oleh banyak faktor, yakni pengelola, transmisi keilmua, lokalitas dan universalitas, serta proses adaptasi terhadap perubahan zaman.  
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 13.51 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Sabtu, 19 November 2011

Perubahan Sosial Dan Pendidikan Islam

Perubahan sosial adalah keniscayaan sebagai bagian dari sunnatullah. karenanya, perubahan sosial  terus dan pasti terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan, baik pada skala lokal, nasional, regional, dan internasional. Pada gilirannya, perubahan ini turut mempengaruhi pendidikan Islam, baik pengaruh itu bersifat langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pendidikan Islam perlu merespons agar kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan Islam terpenuhi. Jika itu tidak dilakukan oleh para pakar dan penentu kebijakan bidang pendidikan di negeri ini, kepercayaan masyarakat (public trust), termasuk pengguna (user) terhadap pelaksanaan pendidikan Islam semakin menyusut. 
Sebagai pakar dan Futurolog pendidikan, Malik Fadjar memiliki pemikiran-pemikiran yang responsif terhadap perubahan sosial masyarakat. Pemikiran pendidikan Islam Malik Fadjar bersifat antisipatif-akomodatif. Artinya, pemikiran pendidikan Islam Malik Fadjar mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan dan menerima perubahan-perubahan yang bersumber dari luar secara selektif.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 17.24 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam

Kamis, 10 November 2011

Geliat Prestasi Santri dalam Bidang Sains

 Republika.co.id (11/11/2011) menuliskan bahwa Tujuh santri dari Pesantren Bustanul Ulum, Pamekasan Madura, menyabet medali perunggu Olimpiade Matematika Internasional yang digelar terpisah, di Beijing dan India belum lama ini. Mereka berasal dari tingkat pendidikan madrasah tsanawiyah dan tingkat Aliyah, yakni empat berasal dari madrasah tsanawiyah dan dua dari madrasah Aliyah. Satu medali perunggu juga diperoleh tim matematika Aliyah. Sebelumnya, pada pertengahan bulan September 2011, 8 (delapan) siswa Madrasah Aliyah Insan Cendikia menyabet 8 penghargaan (3 Emas dan 5 Perak) dalam Olympiade Sain tingkat Nasional yang diselenggarakan di Menado Sulawesi Utara (http://www.kemenag.go.id/ index.php?a=detilberita&id=7706). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran ilmu-ilmu eksakta, seperti matematika dan sains, di Madrasah (dan Pesantren telah) mengalami perbaikan. Semoga raihan prestasi serupa juga dapat diikuti oleh madrasah (pesantren) lainnya.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 16.36 2 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Pesantren

Selasa, 08 November 2011

Pendidikan Islam Harus Beragam

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“ memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 12.23 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam

Minggu, 30 Oktober 2011

Pembukaan Kembali Madrasah Aliyah Kejuruan: Antara Harapan dan Realitas

Madrasah Aliyah Kejuruan akan dibuka kembali
        Madrasah aliyah kejuruan (MAK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Kementerian Agama Republik INdonesia yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari Madrasah Aliyah  atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Madrasah Aliyah.      
          Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam pada tahun 2012 akan membuka kembali program Madrasah Aliyah Kejuruan baik negeri maupun swasta. Program ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang siap bekerja dalam memasuki dunia usaha dan dunia industri. "Selain bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, lulusannya diharapkan siap kerja," kata Dirjen Pendis Mohammad Ali kepada wartawan di ruang kerjanya, kantor Kementerian Agama Jakarta, Jumat (9/9). Selain itu juga akan dibuka kembali program Madrasah Aliyah Pendidikan Keagamaan.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.22 3 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kebijakan Tentang Madrasah, Madrasah

Jumat, 28 Oktober 2011

Pesantren: Pusat Kebajikan dan Pendidikan Karakter

Presiden SBY: Ponpes Pusat Pendidikan dan Kebajikan (24/08/211)
Tasikmalaya (Pinmas)--Pondok pesantren sangat penting, bukan hanya pusat pendidikan tetapi juga harus kita jadikan pusat kebajikan. "Artinya, bukan hanya mendidik para santri, tapi pondok pesantren tidak boleh terpisah dengan masyarakat sekitarnya. Tidak boleh tertutup sehingga masyarakat sekitarnya tidak tahu apa yang dilakukan di pondok pesantren itu," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara buka puasa bersama di Pondok Pesantren Al Hasanah, Rabu (24/8/11) petang.
"Pondok pesantren yang baik dan bermanfaat bagi semua disamping mendidik para santrinya, juga ikut membimbing masyarakat sekitarnya untuk menjalankan kehidupan yang religius yaitu masyarakat yang
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.57 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Masih Banyak Pesantren dan Madrasah Yang Dipandang Sebelah Mata

Tragedi runtuhnya Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) al-Ikhlas di Lebak pada hari Senin tanggal 03 Oktober 2011 telah memicu keprihatinan bersama. Kejadian ini menewaskan seorang siswa dan melukai tujuh orang siswa MDA yang berasal dari kampung Tambleg Desa Cidikit Kecamatan Bayah.  Sementara itu, MetroTV (22/10/2011) menyebutkan bahwa sebuah madrasah di Sukabumi rusak parah dan hampir ambruk, yakni Madrasah Diniyah Nurul Hidayah di Kampung Cimanggu, Desa Cijurey, Kecamatan Geger Bitung, Kabupaten Sukabumi. Kejadian seperti ini memang bukan hal baru dan kali pertama, karena sebelumnya kejadian runtuhnya bangunan madrasah, sekolah, atau bangunan umum pendidikan lainnya kerap terjadi di Indonesia. Penanganan yang dilakukan pemerintah daerah dan pusat seakan terasa lamban, atau memang lamban, dan terkesan juga saling menuding (menyalahkan) satu antara lainnya.  Bahkan, pada sisi-sisi tertentu fenomena ini digunakan pula oleh pihak-pihak tertentu sebagai "intrik politik" untuk saling menjatuhkan; atau menggunakannya sebagai ajang "tebar pesona", sok jadi "Pro-rakyat."
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.22 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kebijakan Tentang Madrasah, Kebijakan Tentang Pendidikan, Kebijakan Tentang Pesantren, Madrasah, Pesantren

Kamis, 27 Oktober 2011

Madrasah: Bukan Lembaga Kelas Dua dan Upaya Go Internastional

Madrasah dan Pesantren Bukan Lembaga Kelas Dua
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama, Suryadharma Ali (20/7/2011) berharap agar mutu lembaga pendidikan agama di lingkungan Kementrian Agama, termasuk Madrasah dan Pesantren, semakin meningkat, sehingga kesan bahwa Madrasah dan Pesantren sebagai lembaga pendidikan kelas "dua" dapat diminimalisir dan dihilangkan. Ia selalu mengatakan, "Madrasah dan Pesantren harus menjadi nomor satu".  Kesan Madrasah dan Pesantren sebagai tempat yang kumuh, tradisional, terbelakang, dan terkungkung (tertutup) harus terus digerus dengan pencitraan yang lebih positif dan baik.  Untuk itu, kemenag dan madrasah harus mencari terobosan-terobosan kreatif untuk meningkatkan sistem pengelolaan, sistem pendidikan, dan kualitas output madrasah. Potensi SDM, Fasilitas, dan Sumber Daya Finansial, Madrasah (dan Pesantren) tidak kalah dengan lembaga pendidikan lainnya. 
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.07 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Madrasah Bertaraf Internasional, Pesantren

Menyoal Kualitas Guru


Guru Indonesia Dinilai Masih Kurang Kreatif dalam Mengajar
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tenaga pengajar Indonesia dituntut untuk lebih kreatif dalam menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) karena kurikulum tersebut justru memberikan kebebasan dan menggali kreatifitas dalam proses belajar mengajar. "Sebetulnya kurikulum ini (KTSP) justru menggali kreatifitas guru dan sekolah. Para pengajar bisa saja memakai keahlian dari tokoh masyarakat, ahli industri setempat. Tapi itu tidak terjadi karena guru masih berpikiran pemerintahlah yang memberikan guidance (arahan) atas apa yang harus dilakukan. jadi kreatifitas itulah yang belum terjadi di lapangan," kata Dekan Sampoerna School of Education (SSE), Prof Dr, Paulina Pannen, Rabu.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 06.13 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Profesionalisme Guru

Minggu, 23 Oktober 2011

Prestasi Madrasah Ibtidaiyah, Perlu Ditingkatkan

    Prestasi siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) masih belum mendapatkan perhatian yang proporsional dari pemerintah, pengelola, dan masyarakat. Hal ini setidaknya diindikatori oleh beberapa hal. Pertama, pencapaian prestasi siswa MI belum (atau tidak) dapat setara dengan prestasi yang diperoleh siswa-siswi SD, baik SD Negeri atau swasta. Hal ini menunjukkan sistem pendidikan yang diterapkan pada MI belum didesain secara baik; atau jika desainnya telah baik,  desain sistemnya diimplemetasikan belum mendapatkan pengawalan, monitoring, dan evaluasi yang proporsional (seharusnya). Kedua, keberadaan MI diberbagai wilayah, terutama di perkotaan, sulit atau sangat sedikit mendapatkan siswa, karena MI mendapatkan public trust (kepercayaan publik) yang rendah dibanding dengan SD. Rendahnya public trust ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik sistem, SDM, fasilitas, publikasi, maupun studi lanjut. Ketiga, SDM kepsek, guru, dan tenaga kependidikan di MI masih memiliki kompetensi (manajerial, profesional, sosial, dll) yang belum merata, atau cenderung "masih standar", atau belum banyak yang berkualifikasi "baik dan unggul".
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.29 2 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Madrasah Ibtidaiyah

Peguruan Tinggi Asing di Indonesia: Tantangan dan Ancaman?

      Apabila sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah asing telah cukup lama beroperasi dan mendapatkan izin operasional di Indonesia, kini giliran perguruan tinggi asing diwacanakan (bahkan akan dilaksanakan secepatnya) dapat menyelenggarakan pendidikannya di Indonesia. Dalam skala "kelas kerjasama" atau "mu'adalah" dengan PT di dalam negeri, seperti dalam program "double degree", PT asing, baik dari Asia, Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah telah lama ada dan diakui. Kini, pemerintah sedang merancang undang-undang yang mengatur pendirian dan pelaksanaan PT asing di Indonesia.
     Setidaknya ada beberapa faktor mengapa PT asing dapat beroperasi atau mendapat izin operasional di Indonesia. Pertama, masa globalisasi dan perdagangan bebas memberi kesempatan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di negara Indonesia, demikian pula dengan perguruan tinggi asing. Kedua, banyaknya warga negara Indonesia yang melakukan studi di LN; maka dengan beroperasinya PT asing bonafit di Indonesia dapat memberi keuntungan bagi warga negara Indonesia untuk mendapat pendidikan dari PT unggul di Indonesia, dan tidak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri. Ketiga, PT dalam negeri dapat bekerja sama dan berkompetisi langsung dengan PT asing tersebut. Keempat, keharusan asing memberikan dampak manfaat kepada lingkungan pendidikannya, masyarakat, pengembangan ipteks di Indonesia, akan memberikan manfaat lain dari keberadaan PT asing di Indonesia. 
      Namun demikian, keberadaan PT asing ini juga akan memberikan dampak "negatif". Pertama, PT dalam negeri akan berkompetisi langsung mendapatkan kepercayaan publik (public trust), terutama dari masyarakat Indonesia, bahkan tidak mustahil PT-PT unggulan dalam negeri akan diposisikan sebagai PT "kelas dua". Kedua, pembiayaan yang ditetapkan oleh PT asing, bagaimanapun, akan dapat dijadikan acuan pembiayaan oleh PT di dalam negeri; jika pembiayaan PT asing tersebut di atas rata-rata pembiayaan PTN/PTS, maka dapat saja di antara PTN/S tersebut akan mengikuti standar pembiayaan mereka. Maka tidak dapat dipungkiri standar pembiayaan bagi mahasiswa, baik yang ditanggung oleh Pemerintah ataupun masyarakat, dapat naik. Hal ini dapat saja semakin jauh dari jangkauan masyarakat Indonesia kelas menengah ke bawah.


------

Perguruan Tinggi Asing Bisa Berdiri di Indonesia  
      JAKARTA, KOMPAS.com - Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia. Kehadiran perguruan tinggi asing itu harus mendorong kemajuan ilmu-ilmu dasar di Indonesia. Namun izin yang diberikan pemerintah kepada perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia, seperti tertuang pada Pasal 90 Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dibahas pemerintah dan DPR itu, mendapat kritik dari sejumlah kalangan. Izin penyelenggaraan pendidikan tinggi asing yang diberikan pemerintah, dinilai sebagai upaya mendorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi. "Mengizinkan PT asing berdiri di Indonesia harus hati-hati, mesti mempertimbangkan betul bagaimana kondisi PT di Indonesia. PTN pun tidak semua bagus dan siap bersaing dengan kehadiran PT asing nantinya," kata Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmaloka, yang dihubungi dari Jakarta, akhir pekan lalu.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.18 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Perguruan Tinggi

Hanya 15% Pengajar Layak Disebut Dosen

       Jumlah pengajar yang ada di berbagai perguruan tinggi di Indonesia mencapai 220.000 orang. Namun hanya 15% yang layak menyandang status sebagai dosen. Sementara sisanya masih dipertanyakan kemampuan dan kemauan dalam melaksanakan tugas. Menurut Asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Dikti Prof Dr Khudzaifah Dimyati, tugas dosen bukan sekadar mengajar di kelas. Namun, mereka juga memiliki dua tugas pokok lain yakni meneliti dan mempublikasikan serta mengabdi kepada masyarakat. Dosen memiliki beberapa peran, yakni a) pendidik, b) peneliti atau pengembang keilmuan, c) pembimbing, d) evaluator,  
       "Orientasi pengembangan ilmu (penelitian) sangat minim. Padahal Dikti mengharapkan dosen meneliti dan hasilnya menjadi rujukan bagi dosen lain," kata Dimyati kepada Suara Merdeka, Sabtu (15/10/211). data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya 0,012%. Jumlah ini jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dengan 0,179%, sedangkan Amerika mencapai 25%. Kemudian untuk jumlah jurnal yang dipublikasikan oleh Indonesia pada 2004 hanya 371, padahal Malaysia dengan 700 jurnal, Thailand (2.125), dan Singapura (3.086).
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.00 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Perguruan Tinggi

Sabtu, 15 Oktober 2011

Pesantren dan Madrasah Benteng Pertahanan Moral Bangsa


Foto

        Yogyakarta, (www.ummat0nline.net) - Menteri agama Suryadharma Ali meminta agar para santri di pondok pesantren serta siswa madrasah untuk bangga menjadi siswa madrasah dan santri pondok pesantren. Pasalnya, pesantren dan madrasah merupakan benteng pertahanan terakhir moral bangsa."Banggalah kalian semua menimba ilmu di pondok pesantren dan madrasah. Sekarang ini banyak pemimpin yang membicarakan soal moral dan etika bangsa ini yang terus melorot. Ini karena pendidikan agama dikalahkan oleh pendidikan lain yang memang memberi dampak positif, namun juga (pendidikan lain itu) berdampak negatif," tegas Menag dalam sambutannya usai memberikan bantuan untuk Madrasah dan Pondok pesantren yang terkena dampak erupsi gunung Merapi di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Senin malam (13/12/2010).
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.29 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Sabtu, 01 Oktober 2011

Keunggulan Lulusan Madrasah

Menyoal Mutu Lulusan
     Mutu lulusan (output), sekolah dan madrasah, merupakan salah satu persoalan yang harus mendapatkan perhatian serius dan kajian mendalam. Hal ini mutlak dilakukan karena mutu lulusan dapat menjadi gambaran dari kulitas sistem Pendidikan dan Proses Belajar Mengajar (PBM) yang diterapkan oleh Madrasah. Hal ini pun dapat dijadikan benchmark (dasar pijakan) untuk mengambil kebijakan lanjutan dalam perbaikan dan pengembangan mutu Pendidikan dan PBM, baik pada skala Makro (negara), messo (Propinsi dan Kota), muapun mikro (sekolah dan Yayasan).
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 19.57 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Kamis, 29 September 2011

STUDI KELAYAKAN DINIYAH FORMAL (REKONSTRUKSI MADRASAH ALIYAH PROGRAM KHUSUS)


Kajian ini merupakan hasil observasi lapangan yang diarahkan untuk menggali pendapat masyarakat khususnya masyarakat yang memahami keberadaan MAPK. Diharapkan, hasilnya bisa berguna dalam rangka mencari format penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam (tafaqquh fiddin) ke depan. Lebih dari itu, kajian ini diharapkan bisa memberi masukan secara spesifik terkait dengan kebijakan Menteri Agama untukmerekonstruksi MAPK. Sebagai studi penggalangan pendapat, maka hasil penelitian lebih memberikan jawaban bagaimana formula terbaik yang lebih implemented, solusif dan aspiratif. Sehingga bobot teoretik dan kedalaman analisis menjadi sekunder.  Ruang lingkup penelitian mencakup semua unsur atau sub sistem  MAPK sebagai sistem pendidikan mencakup; kelembagaan, kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, kesiswaan, sarana prasarana dan pengelolaan. Bagaimana kondisi dan realitas yang ada, apakah masih memungkinkan untuk merekonstruksi MAPK, ataukah  perlu perbaikan dan penambahan sarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, dan fasilitas lainnya.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 12.32 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Kebijakan Tentang Madrasah, Madrasah, Madrasah Aliyah

Rabu, 03 Agustus 2011

3,65 Juta Santri di Indonesia, Mau Dibawa ke Mana?

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama H. Abdul Jamil, jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia, pada tahun 2011, mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren. Menurutnya, "Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahunnya. Ini merupakan sebuah kemajuan yang patut dibanggakan," katanya seusai pembukaan Musabaqah Fahmi Kubtubit Turats (Mufakat) di Pondok Pesantren (Ponpes) Nahdlatul Wathan Poncor, Lombok Timur, Selasa (19/7/2011). Jumlah ini merupakan potensi yang  banyak dan dapat menghasilkan output dan outcomes yang memiliki standar kompetensi lulusan yang tinggi jika dikelola dengan sistem yang baik. Persoalannya kemudian apakah, santri yang berjumlah 3,65 juta tersebut telah berada pada tempat (pesantren) yang tepat?
Terkait dengan hal tersebut, Abdul Jamil berpendapat bahwa mutu pendidikan di lingkungan ponpes juga cukup baik. Sebagian ponpes masih menerapkan pendidikan tradisional, namun banyak juga sudah modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah. Menurut dia, pendidikan di lingkungan ponpes sebagai salah satu ujung tombak dari terselenggaranya pendidikan agama Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan agama Islam yang tertuang dalam kitab suci Alquran dan Hadist NabiSAW. "Ponpes telah melahirkan tokoh-tokoh Islam yang sukses, sehingga menjadi teladan bagi kita semua, para alumni ponpes tersebut kita harapkan terus mengembangkan Ponpes di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan telah dijelaskan bahwa pendidikan di ponpes telah diakui," ujar Abdul Jamil.
Pandangan Abdul Jamil di atas tidak lah salah, namun juga tidak benar keseluruhannya. Pesantren-pesantren modern telah tumbuh berkembang, tetapi jumlahnya tidaklah sebanyak pesantren tradisional. Manajemen dan tata kelola sistem pendidikan yang baik telah banyak diterapkan di pesantren-pesantren modern, sehingga menghasilkan tata kelola yang baik, dari mulai perencanaan, proses implementasi, pengawasan, hingga evaluasi. Hasilnya, sebagaimana dapat disaksikan, telah mendorong lembaga pesantren "modern" dapat berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan modern lainnya. Namun,  pada sisi lain pesantren tradisional, yang jumlahnya 2/3 jumlah pesantren modern, belum menerapkan sistem manajemen pesantren yang "baik". Karenanya, santri-santri dengan jumlah di atas, dapat diasumsikan belum berada pada tempat yang dapat mengantarkannya menggapai "potensi" dan "kompetensi" yang diharapkan. Di sinilah, pemerintah, pesantren "modern", PTAI, LSM, dan lainnya dapat berperan untukmelakukan advolasi dalam upaya meningkatkan mutu manajemen (tata kelola) pesantren ke arah yang lebih baik.
Abdul Jamil pun mensinyalir tentang masih adanya dikotomi dari political will pemerintah dan persepsi sebagian masyarakat. Karenanya, ia berpandangan bahwa "tidak perlu dibeda-bedakan antara pendidikan di ponpes dam sekolah umum, karena memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana menciptakan kader pemimpin masa depan bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur." Namun, peristiwa demikian masih terus terjadi di Indonesia. "Sebenarnya kalau dilihat prospek kedepan pendidikan di ponpes memimiliki peluang besar untuk mengembangkan pendidikannya dengan membuka berbagai program pendidikan yang diminati banyak orang. Ponpes tidak hanya bertumpu saja pada pendidikan agama," ujarnya. 
Diposting oleh Dadan Rusmana di 13.30 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Minggu, 31 Juli 2011

KH Hasyim Muzadi: Pesantren tak Ajarkan Rakit Bom


REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR - Tokoh Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa pengajaran di pondok-pondok pesantren tidak mengajari santrinya merakit bom atau pun aksi terorisme. "Pesantren merupakan institusi Islam yang selalu mengajarkan kedamaian. Dalam sejarahnya, pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan. Apalagi sampai mengajari santri merakit bom," kata Hasyim Muzadi di Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/7/2011). Pernyataan Hasyim Muzadi disampaikan dalam "stadium general" dengan tema "Peran Islam Moderat Bagi Ketahanan Bangsa dan NKRI." Kegiatan tersebut dihelat secara bersama oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bogor, Pesantren Al-Ghazaly, dan Pemkot Bogor, yang dipusatkan di kompleks Al-Ghazaly, Kotaparis, Kota Bogor.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.38 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren, Pesantren dan Radikalisme

Senin, 18 Juli 2011

Pesantren Tidak Kebal Terorisme


Minggu, 17 Juli 2011 , 16:58:00 WIB
Laporan: Soemitro
Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=33314

       RMOL. Peristiwa bom  meledak di Pondok Pesantren Umar bin Khattab di Desa Sonolo, Kec Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu bukti lemahnya kurikulum pendidikan agama. Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional, harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 22.41 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren

Kamis, 14 Juli 2011

Nyai Ahmad Dahlan, Melawan Arus, Berdayakan Perempuan

      Lintasan sejarah Indonesia diwarnai oleh kiprahdan peran kaum perempuan dalam memperjuangkan upayanya memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai bidang, dan kontribusi mereka pada saatnya ikut mengkumulasi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Adalah Cut Nyak Dien, Kartini, dan Dewi Sartika adalah nama-nama yang tidak asing lagi bagi kita dari sekian banyak srikandi Indonesia yang telah mengharumkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Dari sekian srikandi Indonesia yang namanya dan kiprahnya perlu diteladani adalah Nyai Ahmad Dahlan. 

Kiprah Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan adalah puteri Kyai Haji Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Nyayogyokarto Hadiningrat (nama Yogyakarta waktu itu). Nama kecilnya adalah Siti Walidah. Ia dilahirkan pada tahun 1872 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Sebagai anak seorang ulama yang disegani oleh masyarakat, lebih-lebih menjabat Penghulu Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, ia menjadi puteri 'pingitan'. Pergaulannya sangat terbatas dan ia tidak belajar di sekolah formal. Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 12.58 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Tokoh Pendidikan Islam Indonesia

Kamis, 07 Juli 2011

KH Ahmad wahid Hasyim: Reformasi Pendidikan Islam

Mendiang K.H. Ahmad Wahid Hasyim, putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy'ari dinilai sebagai pembaharu sistem pendidikan di dunia pesantren. "Dulu, pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan tradisional tanpa pengelolaan memadai," kata Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Dr. Noor Achmad, di Semarang, Selasa (19/4/2011) dalam seminar 'Visi Pendidikan dan Kebangsaan K.H. Abdul Wahid Hasyim' di Unwahas.
Lebih lanjut, Noor Achmad menjelaskan, ia menjelaskan sistem pengajaran di pesantren ketika itu berjalan tidak teratur. Tidak ada jadwal penyelenggaraan yang tetap, kata dia, santri diperbolehkan setiap saat keluar masuk pesantren, ada yang mengaji seminggu, dua minggu, satu bulan, ada pula yang lebih. "Usia santri yang belajar di pesantren beragam, mulai tujuh tahun, 25 tahun, ada pula yang usianya 50-60 tahun dan pola belajar pesantren saat itu juga tidak sistematis," katanya.
Namun, kata dia, ayah K.H. Abdurrahman Wahid itu memelopori pengajaran pesantren dengan model klasikal tutorial dalam bentuk kelas-kelas berjenjang yang lebih sistematis dibanding sebelumnya. "Pembelajaran di pesantren mulai diperkaya dengan diskusi dan tanya jawab dan buku rujukan tidak hanya terpaku 'kitab kuning', melainkan beragam literatur keilmuan kontemporer," katanya.
Awalnya, kata dia, K.H. Hasyim Asy'ari tidak setuju dengan putranya itu, namun mengizinkannya mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan kurikulum pelajaran umum sebesar 70 persen. Ia mengatakan Madrasah Nizhamiyah hanya berumur empat tahun dan ditutup saat Wahid Hasyim mulai sibuk dan harus pindah ke Jakarta, namun pemikirannya ternyata terus belanjut. "Pada 1950, beliau melakukan reorganisasi Madrasah Tebuireng dengan pola yang kemudian menjadi standar pendidikan madrasah secara nasional, mulai madrasah ibtidaiyah (MI) hingga madrasah aliyah (MA)," kata Noor Achmad.
Direktur Dialoque Centre Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nur Kholis Setiawan menjelaskan terobosan yang dilakukan Wahid Hasyim merupakan kesadaran tantangan zaman yang selalu berkembang. "Perubahan sosial dan peradaban merupakan keniscayaan, Wahid Hasyim menginginkan para santri dibekali dengan kesiapan wawasan dan pengetahuan untuk menghadapinya," kata Nur Kholis.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM
Diposting oleh Dadan Rusmana di 16.21 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren, Tokoh Pendidikan Islam Indonesia

Jumat, 17 Juni 2011

Standar Nasional Pendidikan (SNP) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah


Standar Nasional Pendidikan
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :
1. Standar Kompetensi Lulusan
2. Standar Isi
3. Standar Proses
4. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
5. Standar Sarana dan Prasarana
6. Standar Pengelolaan
7. Standar Pembiayaan Pendidikan
8. Standar Penilaian Pendidikan
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.46 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Standar Nasional Pendidikan

Kamis, 16 Juni 2011

KH HASYIM ASY'ARI: ARSITEK SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


KH Hasyim Asy'ari: Ulama Pembaru Pesantren
KH Hasyim Asy'ari
Menyebut nama KH Hasyim Asy'ari, orang tentu akan berpikir pada pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tak salah memang, sebab dengan peran sebagai tokoh sentral, NU mampu menjadi organisasi keislaman yang diikuti banyak masyarakat Muslim di Indonesia. Selain itu, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang). Namanya juga sangat lekat dengan tokoh pendidikan dan pembaru pesantren di Indonesia. Selain mengajarkan agama pada pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Ia merupakan salah seorang tokoh besar Indonesia abad ke-20.

Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.01 1 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Tokoh Pendidikan Islam Indonesia

Rabu, 08 Juni 2011

Madrasah atau Sekolah Gratis??? Mana Ada?? Jargon Penguasa (Politisi) Semata

Sekolah/Madrasah Gratis: Wacana dan Diskriminasi
Wacana mengenai "sekolah gratis" dan "Madrasah Gratis" terus digulirkan. Hal ini pada dasarnya hanya merupakan jargon dari para politisi, karena pada hakikatnya "tidak ada pendidikan apa papun yang tidak membutuhkan pendanaan atau tidak terkait dengan kapital (dana)". Artinya semua proses pendidikan, sekecil apa pun terkait dengan pendanaan (pembiayaan). Persoalannya adalah "siapa yang menanggung pembiayaan (pendanaan) pendidikan? Pemerintah atau Masyarakat? Dalam term di atas, "sekolah dan madrasah gratis" dimaknai dengan "Pemerintah menanggung beberapa aspek pembiayaan rutin sekolah, dan membebaskan masyarakat dari beberapa pembiayaan rutin, yang biasa ditanggungkan kepada masyarakat." Beberapa pembiayaan yang ditanggung oleh pemerintah, misalnya, uang bangunan, SPP, gaji guru (tetap/sukwan) dan sebagian buku, yang ditanggung pemerintah antara lain melalui BOS.
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 14.19 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Madrasah, Sekolah

Kamis, 02 Juni 2011

Pendidik Harus Mengawal Implementasi PBM demi Terciptanya Kerukunan Umat Beragama



         Pada masa studi dahulu, sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya merasa bangga dengan berbagai keragamaan yang ada dan dimiliki bangsa Indonesia. Keragaman tersebut meliputi keragaman etnik, budaya, agama, potensi ekonomi, dan kreatifitas. Penanaman nilai keragamaan ini dikemas dalam slogan Bhineka Tunggal Ika. Namun, kini slogan ini seakan kehilangan pamor dan tajinya untuk mempersatukan berbagai keragaman yang ada dalam koridor Negara Kesatuan Negara Indonesia (NKRI). Kala itu sosialisasi slogan mengenai "keragaman" tetapi menuju tujuan yang sama sangatlah gencar dilakukan pemerintah, terutama melalui dunia pendidikan. Hasilnya adalah slogan "saya bangga menjadi Bangsa Indonesia" menjadi salah satu nilai yang tertanam dalam jiwa peserta didik.

Potensi Kebersamaan Umat Perlu Diperkuat 
       Semua elemen dan unsur agama di Indonesia seharusnya dimanage untuk memperkuat potensi kebersamaan umat. Hal ini, menurut Maftuh Basyuni, sangat perlu karena, “Memahami betapa kompleksnya persoalan masyarakat dunia dewasa ini, yang dalam berbagai hal dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat kita, maka selain intensitas silaturrahmi, kita perlu merespons dan memperkuat potensi kebersamaan umat dan masyarakat seperti melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),``
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 21.06 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pendidikan Islam

Senin, 23 Mei 2011

Hirarki NIat Mencari Ilmu

       Setiap perbuatan sangat tergantung pada niatnya, "innama al'a'malu bi al-niyyah", karena niat merupakan fondasi awal dari setiap perbuatan. Ia akan menjadi motivasi bagi setiap perbuatan dalam mencapai tujuan dan target dari perbuatan yang dilakukannya. Selain motivasi, niat akan mampu juga menjadi guide line dari perbuatan seseorang, agar ia menjadi fokus terhadap tujuan dari perbuatannya. Dengan niat pula, seseorang dapat memiliki visi dan pandangan optimistis. Karenanya, niat mempunyai posisi yang vital bagi setiap orang.  
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 15.31 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Niat mencari ilmu

Sabtu, 21 Mei 2011

Pesantren dalam Kepustakaan


          Pengkajian Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari kajian tentang pesantren. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam yang satu ini merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam dengan berbagai relasi fungsi dan peran yang dimainkannya dalam masyarakat Nusantra, Indonesia, dan dunia Internasional. Pada awalnya, kajian tentang pesantren merupakan sub-topik atau topik pelengkap dalam kajian ilmiah tentang Islam di Indonesia, misalnya dalam kajian Van Den Berg atau dalam The Cresent and The Rising Sun, karya H.J. Benda.
       Dua dekade  terakhir penelitian mengenai pesantren menjadi bagian dari pengarusutamaan kajian Islam di Indonesia, khususnya terkait dengan lembaga pendidikan Islam.  Pada satu sisi, pesantren dikaji dari sudut
Baca selengkapnya »
Diposting oleh Dadan Rusmana di 04.30 0 komentar
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Pesantren
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

PROFIL

  • Dadan Rusmana
  • Unknown

Terjemahkan Blog Ini

Raga Berjarak, Hati Tetap Bersatu. Selamat Berbagi dan bersaudara Fillah
DAFTAR ISI

PENDIDIKAN ISLAM

  • Kebijakan Tentang Pendidikan (4)
  • Kurikulum Pendidikan Islam (2)
  • Manajemen Pendidikan Islam (3)
  • Pendidikan Islam (18)
  • Pendidikan Islam dan Radikalisme (1)
  • Pendidikan Islam di Amerika dan Eropa (6)
  • Pendidikan Karakter (1)
  • Standar Nasional Pendidikan (2)
  • Tokoh Pendidikan Islam Indonesia (3)

PESANTREN

  • Kebijakan Tentang Pesantren (2)
  • Pesantren (27)
  • Pesantren dan Radikalisme (6)
  • Titian Muhibah Dunia Pesantren (3)
  • kurikulum Pesantren (6)

MADRASAH

  • Kebijakan Tentang Madrasah (7)
  • Madrasah (17)
  • Madrasah Aliyah (3)
  • Madrasah Bertaraf Internasional (1)
  • Madrasah Ibtidaiyah (1)
  • Madrasah Tsanawiyah (1)
  • Madrasah di Asia Selatan (1)

SEKOLAH

  • Sekolah (5)

Tema Lainnya

  • Indeks Pembangunan Indonesia (2)
  • Kelamahan Pendidikan di Indonesia (1)
  • Niat mencari ilmu (1)
  • Perguruan Tinggi (5)
  • Profesionalisme Guru (1)
  • UN (1)

Entri Populer

  • Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren
  • Beberapa Kelemahan Dunia Pendidikan di Indonesia
  • Pendidikan Islam di Eropa: Jerman
  • MADRASAH DI INDONESIA: SEKOLAH TERBAIK
  • Beberapa Cara Salah Mendidik Anak
  • Indeks Pembangunan Manusia Indonesia: Masih Tetap di Jajaran Bawah

ARSIP TULISAN

  • ►  2014 (8)
    • ►  Februari (3)
      • ►  Feb 13 (1)
      • ►  Feb 11 (2)
    • ►  Januari (5)
      • ►  Jan 18 (5)
  • ►  2013 (6)
    • ►  November (3)
      • ►  Nov 27 (1)
      • ►  Nov 19 (1)
      • ►  Nov 13 (1)
    • ►  Oktober (1)
      • ►  Okt 26 (1)
    • ►  Agustus (2)
      • ►  Agu 27 (1)
      • ►  Agu 22 (1)
  • ►  2012 (7)
    • ►  Juni (1)
      • ►  Jun 06 (1)
    • ►  Mei (1)
      • ►  Mei 30 (1)
    • ►  Februari (1)
      • ►  Feb 01 (1)
    • ►  Januari (4)
      • ►  Jan 22 (4)
  • ▼  2011 (55)
    • ▼  Desember (7)
      • ▼  Des 20 (2)
        • Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Contin...
        • Jihad, ‘pesantren’ and terrorist encounters
      • ►  Des 14 (1)
        • Kurikulum Pendidikan Islam Tidak Mengajarkan Radik...
      • ►  Des 13 (1)
        • PENDIDIKAN ISLAM UNTUK PERBAIKAN MORAL BANGSA
      • ►  Des 07 (2)
        • Menag Persilahkan Donatur Asing Bangun Lembaga Pen...
        • Pesantren, Milik Ummat dan Tidak ada Pesantren Pla...
      • ►  Des 02 (1)
        • Pendidikan Islam di Eropa: Jerman
    • ►  November (16)
      • ►  Nov 30 (1)
        • Beberapa Kelemahan Dunia Pendidikan di Indonesia
      • ►  Nov 28 (3)
        • Fatamorgana Guru Desa dan Kota
        • Masih Adakah Pungli di Sekolah????
        • Skill dan Riset Perkaya Program Pesantren
      • ►  Nov 26 (3)
        • Indeks Pembangunan Manusia Indonesia: Masih Tetap ...
        • Madrasah-Madrasah di Negeri "Singa"
        • Pendidikan Karakter
      • ►  Nov 25 (1)
        • Geliat Pendidikan Islam di Negeri Paman Sam
      • ►  Nov 22 (3)
        • Alquran dan Bhagavad Gita diajarkan Bersama di Mad...
        • Siapkah Pesantren dan Madrasah Menerima Siswa Non-...
        • Pemerintah Masih Diskrimatif Terhadap Madrasah Swa...
      • ►  Nov 20 (2)
        • Model Pendidikan KH Ahmad Dahlan Layak Untuk Penge...
        • Dua Karakteristik Pesantren di Sumatera Selatan
      • ►  Nov 19 (1)
        • Perubahan Sosial Dan Pendidikan Islam
      • ►  Nov 10 (1)
        • Geliat Prestasi Santri dalam Bidang Sains
      • ►  Nov 08 (1)
        • Pendidikan Islam Harus Beragam
    • ►  Oktober (10)
      • ►  Okt 30 (1)
        • Pembukaan Kembali Madrasah Aliyah Kejuruan: Antara...
      • ►  Okt 28 (2)
        • Pesantren: Pusat Kebajikan dan Pendidikan Karakter
        • Masih Banyak Pesantren dan Madrasah Yang Dipandang...
      • ►  Okt 27 (2)
        • Madrasah: Bukan Lembaga Kelas Dua dan Upaya Go Int...
        • Menyoal Kualitas Guru
      • ►  Okt 23 (3)
        • Prestasi Madrasah Ibtidaiyah, Perlu Ditingkatkan
        • Peguruan Tinggi Asing di Indonesia: Tantangan dan ...
        • Hanya 15% Pengajar Layak Disebut Dosen
      • ►  Okt 15 (1)
        • Pesantren dan Madrasah Benteng Pertahanan Moral Ba...
      • ►  Okt 01 (1)
        • Keunggulan Lulusan Madrasah
    • ►  September (1)
      • ►  Sep 29 (1)
        • STUDI KELAYAKAN DINIYAH FORMAL (REKONSTRUKSI MADRA...
    • ►  Agustus (1)
      • ►  Agu 03 (1)
        • 3,65 Juta Santri di Indonesia, Mau Dibawa ke Mana?
    • ►  Juli (4)
      • ►  Jul 31 (1)
        • KH Hasyim Muzadi: Pesantren tak Ajarkan Rakit Bom
      • ►  Jul 18 (1)
        • Pesantren Tidak Kebal Terorisme
      • ►  Jul 14 (1)
        • Nyai Ahmad Dahlan, Melawan Arus, Berdayakan Perempuan
      • ►  Jul 07 (1)
        • KH Ahmad wahid Hasyim: Reformasi Pendidikan Islam
    • ►  Juni (4)
      • ►  Jun 17 (1)
        • Standar Nasional Pendidikan (SNP) untuk Pendidikan...
      • ►  Jun 16 (1)
        • KH HASYIM ASY'ARI: ARSITEK SISTEM PENDIDIKAN PESAN...
      • ►  Jun 08 (1)
        • Madrasah atau Sekolah Gratis??? Mana Ada?? Jargon ...
      • ►  Jun 02 (1)
        • Pendidik Harus Mengawal Implementasi PBM demi Terc...
    • ►  Mei (4)
      • ►  Mei 23 (1)
        • Hirarki NIat Mencari Ilmu
      • ►  Mei 21 (1)
        • Pesantren dalam Kepustakaan
      • ►  Mei 20 (1)
      • ►  Mei 16 (1)
    • ►  April (3)
      • ►  Apr 25 (1)
      • ►  Apr 23 (1)
      • ►  Apr 22 (1)
    • ►  Maret (1)
      • ►  Mar 01 (1)
    • ►  Februari (2)
      • ►  Feb 07 (1)
      • ►  Feb 04 (1)
    • ►  Januari (2)
      • ►  Jan 23 (1)
      • ►  Jan 13 (1)
  • ►  2010 (16)
    • ►  Desember (3)
      • ►  Des 30 (1)
      • ►  Des 29 (1)
      • ►  Des 15 (1)
    • ►  November (4)
      • ►  Nov 21 (1)
      • ►  Nov 16 (1)
      • ►  Nov 08 (1)
      • ►  Nov 05 (1)
    • ►  Oktober (7)
      • ►  Okt 30 (1)
      • ►  Okt 29 (1)
      • ►  Okt 28 (1)
      • ►  Okt 24 (1)
      • ►  Okt 22 (1)
      • ►  Okt 14 (2)
    • ►  September (2)
      • ►  Sep 30 (1)
      • ►  Sep 29 (1)

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Daftar Blog

  • Critical Muslims
    Syrian Muslim intellectual and critic Muhammad Shahrur (Shahrour) (1938-2019)
  • EKSOTISME DUNIA ISLAM
    Islam Jadi Agama Terbesar Kedua di 20 Negara Bagian AS
  • SASTRA MUSLIM
    HARI YANG DIJANJIKAN: NAJIB KAILANI
  • STUDI AL-QUR'AN
    Keseimbangan Angka-angka Dalam Al Qur’an
  • SEMIOTIKA

Tulisan dan Karya Terbaru tentang Pesantren dan Madrasah

  • Manajemen Pesantren_ A. Halim dkk (Ed)
  • Masa Depan Pesantren_Dr. In'am Sulaiman, M.Pd

INFO LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

  • INFO PESANTREN DI INDONESIA

Meniti Harapan

Meniti Harapan
dadanrusmana2011. Diberdayakan oleh Blogger.